JAKARTA, TODAY — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) masih akan tertekan sepanjang tahun ini. Berbagai sentimen negatif dari pasar global ikut menekan laju rupiah.
Krisis Yunani membuat mata uang euro tertekan sehingga mendorong USD semakin perkasa. Imbasnya bisa membuat rupiah seÂmakin terpuruk. Sementara cadangan devisa Indonesia masih minim hanya USD 108 miliar, 13% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dandingkan dengan rasio cadangan devisa Filipina yang mencaÂpai 29% dari PDB meskipun nilainya hanya USD 80 miliar.
Cadangan devisa Malaysia tercatat USD 111 miliar atau 33% dari PDB, dan Thailand USD 148 miliar atau 40% dari PDB.
Kondisi rendahnya rasio cadangan devisa RI ini tidak bisa berkontribusi banyak untuk membendung meroÂketnya USD. Bank Indoensia (BI) tidak bisa melakukan intervensi lebih dalam ke pasar keuangan. Akibatnya, rupiah terus melemah.
‘’Jika tidak diantisipasi lebih agresif, tidak menutup kemungkinan posisi doÂlar AS akan berada di level Rp 13.800 di akhir tahun ini,’’ kata Ekonom UniversiÂtas Indonesia (UI) yang juga Analis AsoÂsiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) Budi Frensidy saat acara edukasi bersama wartawan di Gedung BEI, Jakarta, Rabu (8/7/2015)
“Persentase cadangan devisa mestiÂnya 30 persenan. Dari berbagai indikaÂtor, nilai tukar range Rp 13.000-13.800 di akhir tahun,†tandas Budi Frensidy.
Idealnya, 30 persen. Paling tidak, bisa untuk memenuhi kebutuhan imÂpor setahun. “Kalau 30% ya paling tidak ada cadangan devisa untuk setahun imÂpor. Kenapa BI perlu intervensi? Karena Rp 13.500 sudah mengkhawatirkan,†terang dia.
Budi mengungkapkan, sulit rasanÂya untuk bisa kembali membuat ruÂpiah berada di level aman di bawah Rp 13.000 per USD. Kondisi global cukup berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
“Mata uang kita masuk mata uang lemah. Indikator memburuk, rasio cadangan devisa RI paling rendah, nilai tukar sekarang Rp 13.300, sulit kembali di bawah Rp13.000, pasar komoditas lagi nggak bagus, di Agustus 2011 dolar AS di Rp 8.500, itu saat harga komodiÂtas tinggi,†jelas dia.
Untuk membantu rupiah tidak terÂjerembab begitu dalam, Budi menyeÂbutkan, berbagai hal perlu didorong salah satunya diperkuat dengan penerÂbitan global bond agar pasokan valas lebih banyak, namun risikonya rasio utang lebih tinggi.
“Diperkuat dengan emisi global bond, suplai diperkuat. FDI ditingkatÂkan, birokrasi dipangkas. Banyakin penerbitan surat utang valas untuk backup cadev kita tapi ada risiko neraca jasa dan rasio utang,†kata Budi.
Euro Makin Murah
Kalah terhadap USD, rupiah menÂguat terhadap euro. Pasalnya, nilai tukar euro memang melemah terhaÂdap mata uang beberapa negara. MeÂlemahnya mata uang Uni Eropa ini gara-gara krisis finansial Yunani yang makin panas.
Seperti dikutip dari data perdaganÂgan Reuters, euro turun cukup dalam ke kisaran Rp 14.640. Namun secara perlahan euro bisa sedikit naik hingga ke kisaran Rp 14.734.
Euro bergerak dalam rentang yang cukup lebar gara-gara krisis Yunani yang belum mereda. Euro sudah meÂlemah cukup dalam terhadap rupiah, awal tahun ini masih berada di kisaran Rp 15.054.
Krisis finansial di negeri para dewa membuat euro makin ‘murah’. Mata uang Uni Eropa yang tahun lalu sempat perkasa di Rp 16.322 itu sekarang diperÂdagangkan di kisaran Rp 14.600-an.
Padahal bulan lalu euro juga masih tinggi, ada di sekitar Rp 15.000-15.200. Dalam satu bulan terakhir ini euro terus mengalami koreksi.
(Alfian Mujani)