JAKARTA, Today – MeÂmasuki semester II-2015, bankir masih was-was. SeÂlain permintaan kredit yang seret, bank kini berpotensi menghadapi kembali pengÂetatan likuiditas, sama seperti tahun lalu. Bankir khawatir, niat pemerinÂtah menggenjot proyek inÂfrastruktur bakal menyerap habis stok likuiditas bank.
“Potensi pengetaÂtan likuiditas bisa terÂjadi jika pemerintah meÂmaksakan kemampuan bank dalam menyalurkan kredit infrastruktur,†ujar Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA).
Faktor lain yang berpoÂtensi mengetatkan likuiditas adalah kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS). Agar terhindar dari paceklik likuiditas, BCA bakal giat memacu dana pihak ketiga (DPK), khususnya dana murah. SeÂbagai gambaran, rasio pinÂjaman terhadap DPK (LDR) BCA 75,7% per Juni 2015.

Direktur Keuangan Bank Negara Indonesia (BNI), Rico Rizal Budidarmo menÂgungkapkan, agar sangÂgup membiayai proyek infrastruktur, pihaknya menggodok penerbitan suÂrat berharga jangka panÂjang semisal negotiable certificate of deposit (NCD) sekitar Rp 3 triliun-Rp 5 triliun. BNI memproyekÂsikan, dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 10%-12%. “Ini guna mendukung pembiÂayaan tersebut,†kata Rico.
Haru Koesmahargyo, Direktur Keuangan Bank Rakyat Indonesia (BRI), menimpali, pihaknya bakal mendanai kredit infrastrukÂtur dengan cara mencairkan dana simpanan (secondary reserve) di Bank IndoneÂsia (BI). BRI juga bersiap mengerek bunga deposito demi memupuk likuidiÂtas. “Kalau kira-kira kredit tumbuh, BRI masih bisa terbitkan NCD,†kata Haru.
Direktur Utama Bank PerÂmata, Roy Arfandy optimisÂtis likuiditas untuk proyek infrastruktur masih encer. Sebab, permintaan kredit di semester I masih sepi. Di bulan Juni 2015 lalu, poÂsisi LDR bank sebesar 90%.
Senada, Direktur Utama Bank OCBC NISP Parwati Surjaudaja mengatakan, kondisi likuditas masih cukup kondusif. Sebab, pebÂisnis masih cenderung berÂsikap wait and see dan meÂmilih opsi memarkir dana.
(Adil | net)