BOGOR, TODAY — Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ngotot tak mau melaksanakan rekomendasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK). BKKBN tetap berkampanye dan menggaungkan usia minimal perkawinan pada perempuan yakni 21 tahun. Pertimbangannya pun tidak hanya soal kesiapan mental dan kematangan alat reproduksi, tetapi kesiapan intelektual.
Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty, mengatakan, jika menikah di bawah usia 21 taÂhun, misalnya 18 taÂhun, maka si wanita baru tamat SMA.
 Ketika berusia minimal 21 tahun, si wanita bisa sudah mendapat gelar sarÂjana muda. “Wanita itu harus pintar, itu penting karena wanita berperan utama untuk mendidikan anak. Apalagi, di rumah, ibu adalah pendidik pertama dan utama,†kata Surya di kantor YayasÂan Kesehatan Perempuan, Kalibata, JaÂkarta Selatan, Rabu (12/8/2015).
Selain itu, lanjut Surya, di usia 21 taÂhun, kematangan alat reproduksi pun suÂdah cukup, begitu juga kematangan menÂtalnya. Secara fisik, sel-sel leher rahim dan organ reproduksi sudah matang. Jika belum siap mental, kawin muda akan mengakibatkan banyak kejadian kawin-cerai, belum lagi jika tiap menikah kemÂbali si wanita punya anak lagi.
Untuk itu, Surya mengatakan BKKÂBN selalu menggaungkan usia minimal perkawinan pada perempuan 21 tahun. Salah satunya, dengan membina kemiÂtraan bersama seluruh komponen maÂsyarakat dan tinggal menunggu pihak mana yang merespons. “Masalahnya barangkali di daerah fasilitas pendidiÂkan kurang, saat kita mau sentuh tingkat pendidikan pun sulit. Wanita di desa mau sekolah dari SD ke SMP sulit, sehingga lebÂih baik dinikahkan saja. Jadi jangan melulu kita salahkan wanita di desa. Meski di kota pun di pinggiran banyak pernikahan dini. Artinya sosialisasi kurang,†terang Surya.
Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan mengubah batas usia minimal perkawiÂnan. Meski demikian, Badan KepenÂdudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tetap berupaya menÂgampanyekan usia perkawinan minimal 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. “Buktinya peringatan Harganas kemarin 22 ribu remaja di Tangsel ikrar untuk meningkatkan usia perkawinan. Meningkat atau tidak nantiÂnya, minimal kita sudah meningkatkan kesadaran mereka,†lanjut Surya.
Sementara, melalui jalur hukum beÂrarti harus ditempuh cara politis. Jika melalui DPR, peningkatan minimal usia perkawinan menurut Surya bisa dilakuÂkan lewat revisi UU. Selain itu, peningkaÂtan usia minimal perkawinan juga diusaÂhakan melalui peraturan daerah (perda) dan peraturan gubernur (pergub).
Meski demikian, implementasi penÂingkatan minimal usia perkawinan buÂkan tak mungkin menghadapi hambatan yang cukup kompleks. Sebut saja, tidak ada kegiatan yang didukung fasilitas sekolah guna mensosialisasikan minimal usia perkawinan.
“Anggapan bahwa meningkatkan usia minimal perkawinan memperbesar peluang perzinaan, padahal itu nggak ada kaitannya. Selama ini saya bertemu dengan beberapa kepala daerah merÂeka setuju jika usia minimal perkawinan ditingkatkan karena banyak yang nikah muda, angka perceraian pun meningÂkat,†tutur Surya.
Terpisah, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana (BPMKB) Kota Bogor, Fetty Qondarsyah, mengaku setuju dengan edaran BKKBN. “Saya lebih setuju kalau usia nikah wanita dibatasi 21 tahun. Kalau nikah terlalu muda, angka perceraian tinggi. Kota boÂgor ini termasuk zona janda,†tandasnya.
(Guntur Eko Wicaksono |Yuska Apitya)