Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menunjuk Kabupaten Bogor sebagai pilot project Eliminasi Kaki Gajah (FilariaÂsis) di Indonesia pada 2020 mendatang. Hingga 2014 lalu, masih ada 14.934 kasus filariasis kronis di Indonesia.
Oleh : (Rishad Noviansyah)
MENURUT Kemenkes, Jawa Barat menduduki peringkat kelima tertÂinggi penyakit kaki gajah kronis dengan 811 kasus yang beruÂjung dengan cacat permanen.
Untuk itu, Pemerintah PuÂsat lewat Kemenkes merapatÂkan barisan dengan Dinas KesÂehatan Kabupaten Bogor dalam mengampanyekan Bulan Eliminasi Kaki GaÂjah (Belkaga) yang dimulai pada 1 Oktober 2015 denÂgan diresmikan langsung oleh Presiden Joko WidoÂdo ( Jokowi) di Lapangan Tegar Beriman.
Nantinya, dalam kampanye terseÂbut, Kemenkes akan melakukan PembeÂrian Obat Pencegahan Massal (POPM) FilaÂriasis di Kabupaten/Kota endemis filariasis serentak dengan menÂyasar masyarakat usia 2 hingga 70 tahun.
Direktur Pengendalian Penyakit BersumÂber Binatang Kemenkes RI, Vensya Sitohang mengungkapkan jika penyakit filariasis terÂus mengalami peningkatkan dan membawa ancaman serius bagi masyarakat. “Strategi yang dilakukan supaya Indonesi bebas filaÂriasis adalah dengan memutus mata rantai penularan filariasis dengan POPM di daerah endemi. Nantinya, obat Albendazole 400 mg dan Diethycarbamazine 100 mg akan diberikan kepada semua masyarakat setiap bulan Oktober,†ujarnya, di sela sosialisasi Belkaga Kementerian Kesehatan di Gedung Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten BoÂgor, Kamis (13/8/2015).
Ia melanjutkan, pemberian obat ini berÂlangsung selama lima tahun rutin setiap buÂlan Oktober hingga 2020 mendatang. “Jadi bukan setiap bulan orang minum obat itu. Tapi cuma setahun sekali kok. Tapi rutin seÂlama liam tahun,†lanjutnya.
Vensya menambahkan, tahap awal gejaÂla yang dirasakan penderita filariasis diantaÂranya demam berulang satu hingga dua kali dalam sebulan terutama jika melakukan pekerjaan berat. Namun demam itu bisa hilang dengan sendirinya tanpa diobati. “Selain itu juga timbul benjolan dan terasa nyeri pada lipat paha atau ketiak tanpa ada luka. Nah, pada tahap lanjut, adanya pemÂbesaran yang hilang timbul pada kaki, tanÂgan, kantong buah zakar, payudara dan alat kelamin wanita. Tapi jika dibiarkan maka akan menjadi cacat menetap,†tegasnya.
Sementara itu, Komisi Ahli (Komli) Pengobatan Filariasis Kemenkes RI, Agnes Kurniawan menerangkan, pemberian obat filariasis secara massal ini untuk meningÂkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya minum obat untuk mencegah penyakit yang dibawa oleh nyamuk itu. “SeÂlain itu juga menghapus kekhawatiran terÂhadap reaksi setelah minum obat itu. Ada dua reaksinya, yakni yang disebabkan efek samping obat dan reaksi alergi terhadap obat. Biasanya itu mual, pusing, demam atau alergi gatal,†ujarnya.
Namun, menurut Agnes, efek samping itu menandakan jika di dalam tubuh pemÂinum obat terdapat cacing filaria yang merÂupakan biang keladi penyakit mengerikan itu. “Itu karena cacing filaria di dalam tuÂbuh mati. Jadi itu bukan efek samping. Tapi reaksi obat terhadap penyakit,†urainya.
Ditempat yang sama, Kepala Bidang Pemberantasan Penyakit dan Kesehatan Lingkungan (P2KL) Dinkes Kabupaten BoÂgor, Kusnadi mengungkapkan, di Bumi Tegar Beriman sendiri tercatat ada 55 kasus filariasis dalam kurun waktu 10 tahun hingÂga dinyatakan endemis penyakit kaki gajah.
Kondisi lingkungan yang kumuh menÂjadi alasan mengapa filariasis cukup banyak di Kabupaten Bogor ini. “Sampai 2015, ada 55 kasus yang tersebar di 22 kecamatan dan Mei hingga Juni kemarin ada tambahan juga 7 kasus,†ujar kusnadi.
Kusnadi melanjutkan, jumlah tersebut diperoleh hanya dari laporan warga. “KaÂrena kebanyakan warga menganggap penÂyakit ini aib hingga enggan membawa si penderita untuk berobat,†lanjut Kusnadi.
Ia mengungkapkan telah menunjuk petugas puskesmas, puskesmas pembanÂtu dan para kader posyandu sudah kami siapkan dan akan kami sebar di seluruh wilayah Kabupaten Bogor. “Pelaksanaan akan kami bagi menjadi empat zona yang akan dilaksanakan selama satu bulan peÂnuh dimulai pada tanggal 1 Oktober 2015 mendatang,†jelasnya.
Kusnadi melanjutkan, untuk warga yang tinggal di pelosok, puskesmas bisa mendatangi lokasi tersebut. Karena untuk menjamah seluruh warga di 40 kecamaÂtan, Dinkes membagi wilayah kerja menÂjadi empat titik, yang dikerjakan selama satu minggu. Karena jumlah petugas medis yang bekerja di puskesmas rata-rata hanya 30 orang berbanding 50-100 posyandu per kecamatan.