JAKARTA, TODAY — Presiden Joko Widodo tetap optimis pertumbuhan ekonomi 2016 akan mencapai 5,5 persen. Targetkan tersebut sudah memperhiÂtungkan seluruh dinamika perekonomian global dan domestik, serta prospek perekonomian nasional.
Sementara, target pendapatan negara dinaiÂkkan menjadi Rp 1.848,1 triliun, dengan target penerimaan pajak sebesar Rp 1.565,8 triliun. Nilai ini naik 5,1 persen dari target APBNP 2015.
“Kondisi ekonomi global diproyeksikan memÂbaik sehingga kinerja ekspor-impor serta perminÂtaan global atas produk-produk Indonesia juga akan meningkat,†kata Presiden Jokowi, saat memÂbaca pidato RAPBN dan Nota Keuangan di DPR-DPD RI, Jumat(14/8/2015).
Jokowi mengatakan, pembangunan infrastruktur juga akan mendorong kinerja Pembentukan Modal Tetap Bruto dan konsumsi nasiÂonal. Sementara itu, peningkatan konekÂtivitas nasional dan realokasi belanja ke sektor-sektor produktif diharapkan mampu menggerakkan perekonomian nasional, menjaga daya beli masyarakat, dan mengendalikan laju inflasi.
Laju inflasi tahun 2016, kata Jokowi, diperkirakan mencapai 4,7 persen. InÂflasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perkembangan harga komoditas pangan dan energi dunia, pergerakan niÂlai tukar rupiah, serta perubahan iklim.
Untuk itu, menurut Jokowi, pemerÂintah akan terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan menggerakkan pemerintah daerah dalam rangka penÂgendalian inflasi nasional. “Tim PemanÂtauan dan Pengendalian Inflasi Daerah terus kita aktifkan,†katanya.
Pemerintah, kata dia, akan menjaga harga bahan pangan dan energi di pasar domestik dengan menyediakan alokasi anggaran dan dana cadangan dalam rangka ketahanan pangan nasional.
Jokowi memperkirakan nilai tukar rupiah sebesar Rp 13.400 per dolar Amerika Serikat. Perbaikan performa perekonomian global yang dimotori Amerika Serikat dan perlambatan perÂekonomian China, depresiasi yuan, serta pemulihan ekonomi Uni Eropa dan Jepang, kata Jokowi, diperkirakan akan berpengaruh pada nilai tukar rupiah taÂhun mendatang.
Sedangkan rata-rata suku bunga Surat Perbendaharaan Negara 3 bulan, pemerintah mengasumsikan berada pada tingkat 5,5 persen tahun depan. “Surat Utang Negara diharapkan tetap menarik bagi investor,†katanya.
Presiden Jokowi optimistis mampu melewati cobaan ekonomi yang tengah menerpa Indonesia. Ia mengatakan sikÂlus perekonomian baik global maupun domestik kurang menggembirakan. NaÂmun ia menyebut goncangan ekonomi seperti ini bukanlah yang pertama kali dirasakan Indonesia. “Kita akan meleÂwatinya dengan selamat,†kata Jokowi.
Meski optimistis, Jokowi mengakui masih banyak masalah mendasar yang harus diselesaikan. Kedaulatan panÂgan masih belum dapat tercapai karena rentannya gagal panen dan mudah diterpa ketidakstabilan harga pangan.Penjarahan Laut
Dari sisi infrastruktur, moda transÂportasi massal di tiap wilayah masih sangat kurang jumlahnya dan belum terÂintegrasi. Bidang maritim masih diterpa illegal fishing, pencurian ikan, dan penÂjarahan sumber daya laut. “Ini menyeÂbabkan kerugian negara yang sangat beÂsar,†kata dia.
Tak hanya itu, ia juga menerangkan dari sektor energi, ketersediaan tenaga listrik masih belum terpenuhi untuk seluruh masyarakat dan pembangunan ekonomi. Ditambah lagi produksi bahan bakar minyak masih defisit sekitar 600 ribu barel per hari.
Untuk mengatasi seluruh persoalan-persoalan tersebut Jokowi meminta seluÂruh pihak tetap utuh dan bekerja sama. “Tidak boleh terpecah belah oleh perÂtentangan politik dan kepentingan jangÂka pendek,†kata dia. Dengan begitu, keÂdaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan dapat terwujud.
Selain itu, Jokowi mengatakan perombakan kabinet yang baru ia lakuÂkan Rabu(12/8/2015) adalah untuk memÂperkuat kinerja pemerintah.
Ada delapan kebijakan ekonomi dalam menerapkan Anggaran PendapaÂtan dan Belanja Negara 2016 kelak. Jokowi mengatakan RAPBN disusun berdasarkan kebijakan fiskal yang diÂarahkan pada pendapatan, belanja, dan pembiayaan. “Pemberian insentif fiskal ditujukan untuk kegiatan ekonomi stratÂegis guna mendukung iklim investasi dan dunia usaha,†tandasnya.
Kritik Pengamat
Pengamat politik, Igor Dirgantara, mengkritik pidato kenegaraan Jokowi yang dianggapnya tidak spesifik. SehaÂrusnya, Jokowi menjelaskan alasan dirinÂya melakukan perombakan kabinet.
“Dalam pidatonya, Presiden Jokowi hanya sedikit dan tidak spesifik dalam menjelaskan alasan. Misalnya mengapa melakukan reshuffle kabinet yang pada dasarnya untuk meningkatkan kinerja pemerintahnya. Presiden juga hanya memuji kinerja lembaga negara, tanpa ada kritik satu pun juga dan ini di luar ekspektasi publik,†kata Igor.
Igor mengatakan, publik sejatinya ingin lebih memahami secara jelas terÂkait alasan Presiden melakukan reshuffle kabinet serta ihwal kenetralan pemerinÂtah dalam kisruh partai politik.
“Misalnya kenapa Presiden meyaÂkinkan kenetralan pemerintah terkait kisÂruh yang terjadi di Golkar, PPP, dan PSSI tetapi tidak mencegah kegaduhan politik yang terjadi. Jika program pemerintah pro-rakyat (nawacita), kenapa implemenÂtasinya justru sebaliknya,†ujar Igor.
Selain itu, kata dia, berkaitan peromÂbakan kabinet, apabila dimaksudkan untuk fokus kepada pemulihan ekonomi yang tengah lesu, lalu mengapa stabilitas dan kerukunan politik justru tidak dijaga oleh kementerian teknis terkait. “Serta bagaimana dengan sinyalemen pelemahÂan KPK yang justru memburuk sekarang dibandingkan periode pemerintahan seÂbelumnya. Lalu ke mana janji-janji kamÂpanyenya dulu yang banyak memberiÂkan harapan pada wong cilik,†kata dia.
Tak Ada yang Spesial
Sementara, pengamat ekonomi YanÂuar Rizky melihat tidak ada yang spesial dari kebijakan ekonomi yang dibuat oleh para pembantu Jokowi. Ia bahkan meÂnyebut beberapa kebijakan yang diambil pemerintah tidak rasional.
Semangat pemerintahan Jokowi menjadi ‘pembeda’ dari rezim sebelÂumnya dengan melakukan perbaikan fundamental ekonomi secara agresif dan memasang target-target ambisius dinilai Yanuar sebagai langkah yang kurang teÂpat di tengah kondisi eksternal maupun internal yang tengah bergolak. “Ibarat memainkan partitur lagu dangdut dalam sebuah orchestra. Kebijakan yang diamÂbil tidak cocok dengan keadaan yang terÂjadi,†ujar Yanuar.
Dalam berbagai kesempatan, pemerÂintah kerap menuding gejolak ekonomi global sebagai penyebab ekonomi doÂmestik mengalami kontraksi. Menurut Yanuar, itu merupakan fakta yang saat ini terjadi, di mana fundamental ekonoÂmi Indonesia selama ini selalu dipengaÂruhi oleh permasalahan eksternal.
Namun, lanjutnya, solusi yang seÂharusnya diutamakan untuk diambil pemerintah adalah melakukan mitigasi risiko ketimbang menunjukkan sikap keberanian melakukan perubahan. Ia mencontohkan salah satu kebijakan yang kurang tepat waktu penerapannya adalah dengan mencabut subsidi dan membanÂgun proyek-proyek infrastruktur.
Seharusnya, kata Yanuar, tim ekoÂnomi Jokowi tidak tutup mata terhadap kondisi eksternal yang terjadi dengan memberikan masukan kebijakan yang mengedepankan skala prioritas kepada majikannya. “Situasi dan kondisinya berÂbeda dengan dulu. Jangan terjebak kareÂna hanya ingin jadi pembeda,†katanya.
Dalam APBNP 2015, sejumlah asumsi makro ekonomi yang ditetapÂkan pemerintah terbukti sampai saat ini banyak yang meleset. Pertumbuhan ekonomi yang diidamkan setinggi 5,7 persen, sampai semester I tercatat hanya mencapai 4,7 persen. Nilai tukar rupiah yang dipatok Rp 12.500 per dolar, sudah anjlok lebih dalam bahkan sempat meÂnyentuh Rp 13.800.
Kemudian harga minyak yang diÂharapkan bisa menyentuh USD 60 per barel, nyatanya lebih nyaman berada di posisi USD 50 per barel atau bahkan lebih rendah. Akibatnya, lifting minyak yang diinstruksikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said bisa mencapai 825 ribu barel per hari (bph), baru bisa direalisasikan 763.600 bph hingga 30 Juni 2015.
Sementara besaran lifting gas bumi hingga semester I baru mencapai 6.587 juta kaki kubik per hari (mmscfd) atau sekiÂtar 96,4 persen dari targetan yang dipatok dalam pagu APBNP 2015.
(Yuska Apitya Aji)