Oleh: RIFKY SETIADI
[email protected]
Banyak patung yang kita jumpai di sudut kota, ruas jalan, taman kota, atau ruang publik lainÂnya. Diantara sekian patung yang ada, (seharusnya) keberadaanya tidak sekedar hanya sebuah estetika sebuah kota belaka, ataupun latah seÂbagai formalitas pelengkap identitas kota besar. Di beberapa kota besar baik di dalam ataupun –terutama – di luar negeri terdapat suatu patung atau monumen, yang biasa dipakai sebagai penanda ataupun penegasan perjalaÂnan sejarah bangsa yang harus dikeÂnang. Di masa kini, wajah ruang kota memang menuntut kehadiran karya seni visual sebagai suatu kebutuhan (batin) dalam kehidupan dan keseharÂian kota. Karya di ruang publik itu kini tak bisa hanya dijadikan hiasan, bukan sekadar pajangan asesorik-kosmetik, baik bagi penghuninya, dan lebih-lebih bagi tetamu pengunjungnya.

Tak bisa dipungkiri, Kota Bogor saat ini masih dikepung berbagai ornaÂmen luar ruang yang bentuk, ukuran, desain, dan penempatannya tidak mengindahkan ‘estetika kota’ dan abai terhadap hak-hak publik atas ruang viÂsual terbuka. Oleh Sumbo Tinarbuko, kondisi ini disebutnya sebagai ‘samÂpah visual’. Di sisi lain, kehadiran ‘seni papan reklame’ (seni rupa terapan) yang tak terkendali telah membawa bumerangbagi citra seni rupa. Harkat seni rupa telah diperalat untuk menÂjadi bukan pengindah ruang publik melainkan lebih menjadi periuh kesÂimpangsiuran sajian pandang (visual performing) kota. Bogor, nyaris jadi kota tanpa selera seni rupa di ruang-ruang publik. Sejatinya, ruang publik wilayah hak penikmatannya ada pada masyarakat.
Gagasan untuk membangun taÂman-taman kota sesungguhnya sudah mengintroduksi secara bermakna keÂhadiran seni rupa luar ruang dalam kota, menjadi pendorong kuat berkemÂbangnya kesadaran pemerintah kota dan masyarakat akan arti penting karya seni rupa di ruang publik. HaÂrapan lebihjauh, muncul karya-karya rupa yang mampu menciptakan esÂtetika ruang publik. Ini tentu bukan soal sekedar pemasangan huruf-huruf besar yang dipasang di sudut-sudut taman kota, tetapi juga kemungkinan elemen estetis lain seperti patung atau tugu yang seharusnya mulai menjadi bagian dari kehidupan estetika sebuah kota.
Memang, ini perlu langkah strategisyang terstruktur. Pertama, adanya pemetaan titik-titik lokasi kota yang pantas ditempatkan karya seni rupa luar ruang. Proses pemetaan menjadi kewenangan pemerintah dengan memÂperhatikan sungguh-sungguh pertimÂbangan estetika dari pihak kompeten, disamping pertimbangan konstruksifisik, keselamatan mobilitas pengguna fasilitas publik, keselamatan infraÂstruktur jaringan pelayanan publikdan tentu saja pembiayaan pengadaan dan perawatannya. Peta tersebut juga perlu selalu dikoreksi sesuai situasi perkemÂbangan kota. Kedua, adanya tim indeÂpenden dan kompeten untuk kurasi karya dan perupa. Pemerintah kota haÂrus memiliki tim kurasi yang merekoÂmendasikan karya layak pajang dan perupa potensial yang pantas mengÂhadirkan karya. Proses kurasi bersifat terbuka dengan mempertimbangkan kaidah seni bukan menggunakan kaiÂdah transaksi semacam tender proyek. Tim kurasi bekerja secara ad hoc dan menyampaikan pertanggungjawaban kurasi kepada publik. Adanya tim kurasi yang kompeten akan mengÂhindarkan dari adanya karya yang tiÂdak berkualitas. Akhirnya, tidak akan terjadi karya seni rupa luar ruang yang terjerembab menjadi ‘sampah visual’ seperti dikeluhkan Sumbo.
Ketiga, adanya aturan main (regulaÂsi) yang mengatur relasi perupa penyaji dengan pemerintah sebagai penyedia layanan publik. Regulasi itu mengatur, di antaranya, (1) Pemerintah menentuÂkan titik-titik lokasi dan memilih karya serta perupa berdasar rekomendasi tim kurasi; (2) pola hubungan pemerintah dan perupa penampil, bersifat kerja sama berbatas waktu. Karya dan peruÂpa secara periodik silih berganti tampil; (3) pemerintah memfasilitasi perawatan dan pengamanan karya. Kiranya, masih banyak hal yang perlu dibicarakan.
Perlu dicatat, munculnya karya-karya dan elemen kota yang seadanya bukanlah bagian dari kesadaran itu. Pemerintah harus mulai menyadari pentingnya karya-karya monumen yang bersifat pengingat, penanda dan bagian dari edukasi nilai bagi masyarakat. Sehingga, kehadiran paÂtung-patung seperti rusa tutul, hariÂmau kumbang di depan Kantor Polisi, dan lain-lain, sudah selayaknya dihadirkan dalam proporsi yang benar sebagai karya seni. Karya seni patung yang tidak proporsional ini tidak bisa dijadikan sebagai jalan arus seni kontemporer, tapi jusÂtru hanya menggambarÂkan kemiskinan akan pengetahuan estetika sebuah kota. Lihat saja patung dan proporsi Tugu Anti Narkoba atau Tugu Pemuda di pertiÂgaan Kedung Halang, Bogor. Prinsip dasar kajian mengenai tubuh, anatomi dan gesture yang seharusnya, sirna hanya oleh sebuah keÂhadiran karya yang tiÂdak proporsional. Kita tahu teknik dan perkemÂbangan dalam media ikut memengaruhi perÂtumbuhan dan perkemÂbangan seni patung dari satu ke masa berikutnya. Para pematung memerÂlukan waktu yang cuÂkup untuk memahami dan mempelajari teknik, sifat dan karakter mateÂrial baru tersebut, seÂbelum dipakai untuk mewujudkannya dalam bentuk-bentuk trimatra. Namun, percayalah, buÂkan berarti Kota Bogor tidak memiliki seniman dan patung yang luar biasa paham soal itu. Sebut saja Yana WS, pematung handal di Kota Bogor yang saat ini tak ada yang menandingi.
Tanpa mengurangi nilai terhadap pembuat patung, kondisi karya rupa ruang kota itu seolah menjadi bagian dari pola pikir asal-asalan. Kita seolah digerus oleh arus besar yang salah. Arus besar itu sudah tak terbendung lagi, memenuhi hilir seni rupa denganmenumpang kendaraan seni konÂtemporer. Ia dirayakan dengan gegap gempita dan belakangan oleh mereka yang percaya atau sekadar ikut-ikutan dihadirkan dengan prinsip “apa saja okeâ€. Fakta itu, terlihat dari kondisi karya rupa di jalanan Kota Bogor sepertihalnya patung rusa, harimau atau sosok lain, yang jika dibandingkan dengan karya-karya rupa berkualitas koleksi Istana Bogor, sungguh kontraÂdiksi. Kenyataan itu, seolah-olah memÂperlihatkan aspek utama dan tradisi ratusan tahun yang memuliakan ketÂerampilan teknik dan pertukangan, diÂgusur sejauh-jauhnya, diganti dengan barang-barang temuan, barang jadi yang disediakan sejadi-jadinya oleh dunia industri. Nilai komersial menjadi lebih dominan dan prinsip karya seni menjadi lupa dihadirkan.
Perlu ditinjau, praktik patung-mematung harus melibatkan pelbagaipihak dan masalah, bukan hanya pematungnya sendiri. Nyoman Nuartabisa menjadi contoh menarik dalam hal mengembangkan organisasi dan negosiasi dengan pelbagai pihak, hingga mampu membangun patung lebih besar dengan teknologi canggih, menyerap dana besar dan merekrut banyakpekerja. Proyek pembangunan sebagaimana dunia arsitektur yang sanÂgat berselit-belit itu, rupanya memecahperhatian para pematung pada banyak hal. Mereka mengide, meriset, mengÂorganisasi orang, merencanakan dan membangun. Tak dapat disangkal, beban yang begitu berat itu membuat tradisi patung bergerak lambat, tak dapat mengejar kelincahan gerak seni lukis. Tapi, sungguh, ini bisa menghasilÂkan kualitas seni patung yang hadir di ruang kota menjadi lebih berkualitas.
Kondisi karya-karya rupa publik yang asal-asalan seolah telah membuatÂkan sebuah jalan pengesahan bahwa siapa saja bisa membuat patung, apa saja adalah patung, pembuatnya tak perlu memahami prinsip-prinsip anaÂtomi, sejarah, teknik, skala, ruang, sebagaimana konvensi seni patung. Siapa saja—terutama pesohor di bidang lain—cukup mengonsep atau menuangÂkan ide-idenya di atas secarik kertas bungkus rokok, selanjutnya serahkan saja ke pihak lain, entah itu artisan, tukang, pabrik atau industri. Sim salÂabim, jadilah karya. Tanpa dimengerti bahwa karya patung itu seharusnya bicara dan memiliki nilai bagi sebuah kota. Padahal, mereka tidak seharusÂnya bisu. Bukankah ini sebuah gejala dekadensi yang, sebagaimana pernah dikhawatirkanoleh Rosalind E. Krauss, akan mengancam dan bisa meruntuhÂkan bangunan seni patung itu sendiri?