JAKARTA, TODAY — Namanya doang tempe, tapi bahan bakunya impor. Setiap tahun kedeÂlai impor untuk memenuhi kebutuhan indusÂtri tempe dan tahu cukup besar. Ada 90% keÂdelai impor dari Amerika Serikat dipakai oleh perajin tahu tempe di seluruh Indonesia yang mencapai kurang lebih 1 juta orang. Masih besarnya kedelai imÂpor untuk bahan baku tempe dan tahu ini menjadi salah satu poin curhatan yang disampaikan Ketua Gabungan Koperasi Perajin Tempe Tahu Indonesia Aip Syarifuddin ketika menemui Menperin Saleh Husin di Kementerian PerindustriÂan, Senin (31/8/2015) siang.
“Impor kedelai sesuai data di perdagangan tahun lalu kurang lebih 2 juta ton. Kebutuhan nasionÂal 2,5 juta ton. Perajin tahu tempe butuh 1,8 juta ton (90%) kedelai setiap tahun,†kata Aip.
Saat bertemu Menperin, GaÂkoptindo kembali menanyakan terkait Perpres Nomor 32 Tahun 2013 tentang penugasan Bulog unÂtuk tataniaga dan stabilisasi harga kedelai supaya kedelai lokal bisa terserap dengan harga yang baÂgus. Sebab perajin tahu tempe siap memakai kedelai lokal selama paÂsokan bisa mencukupi kebutuhan.
Harga kedelai lokal di tingkat petani saat ini, Syarifuddin menilai masih jauh dari harga dasar yang ditetapkan Kementerian PerdaÂgangan. “Harga kedelai lokal saat ini di tingkat petani hanya laku Rp 5.500-6.500/kg. Padahal harga di SK Dirjen Perdagangan Dalam NegÂeri itu Rp 7.700/kg. Nah sedangkan kedelai impor itu harganya lebih kurang Rp 7.000/kg,†jelasnya.
Meski harga kedelai lokal lebih murah dibanding impor, pasokanÂnya yang terbatas membuat kedeÂlai impor menjadi dominan dipakai oleh perajin tempe tahu. “Kami siap serap kedelai lokal. Kalau keÂdelai lokal ada 2 juta ton kita nggak perlu impor. Kita mau pake kedelai lokal. Kalau dibikin tahu, kedelai loÂkal lebih bagus,†imbuhnya.
Alat Produksi Modern
Salah satu agenda kedatangan Aip Syarifuddin di kantor KemenÂterian Perindustrian,untuk meÂnyampaikan aspirasi anggotanya yaitu para perajin tahu tempe yang mencapai 1 juta orang lebih supaya dibantu alat produksi modern dan membuat sentra produksi modern tahu tempe di 21 provinsi.
“Kami menghadap Menteri Perindustrian. Kami mohon dukunÂgan selama ini sudah sekian ratus tahun kalau bikin tempe atau tahu maaf, biasanya kan nggak pake kolor, nggak pake baju dan pake keringet baru itu tempe dan tahuÂnya jadi legit. Menghadapi MEA harus lebih profesional. Jadi untuk itu kita butuh bantuan peralatan yang higienis dan produktif sehingÂga bikin tempe tahu itu akan jauh lebih baik,†ungkap Aip.
Gakoptindo mengusulkan ada 21 provinsi yang masing-masing ada 1 sentra sebagai pilot project akan dibantu alat modern. Ia mengusulÂkan dibuat semacam pilot project, lokasi-lokasi akan ditetapkan dibuat sebagai Industri pembuatan tempe atau tahu sebagai percontohan sekaligus pendidikan. Tujuan sentra modern ini agar bisa produksi temÂpe tahu lebih baik dan higienis.
“Nanti Menteri melalui dirjen IKM dan dirjen agro, akan beriÂkan bantuan, tapi akan diseleksi terlebih dulu dimana lokasi-lokasi yang diberikan,†katanya.
Dengan alat modern di sentra percontohan, menurut Syarifuddin untuk mengenalkan teknologi ke perajin. Selain itu, perajin bisa meÂningkatkan produksi. “Alat modern itu bisa menghasilkan produksi yang lebih tinggi dan biayanya juga murah, kan akhirnya cost produkÂsinya juga turun,†imbuhnya.
Ia mengatakan sedikitnya jumÂlah perajin tempe tahu mencapai 1 juta orang. Ditambah dengan keÂluarga bisa mencapai 5 juta orang yang hidup dari usaha tahu tempe.
Bantuan alat yang diinginkan yaitu untuk mengganti alat tradisÂional seperti drum bekas yang dipakai untuk merebus kedelai diÂganti dengan tangki stainless.
“Alatnya yang dipakai perajin kan sederhana. Sekarang kan kita bikin tempe atau tahu pakai drum bekas oli atau drum bekas cat. Nah itu kita minta tolong dibuatkan dari stainÂless. Itu juga harganya murah. LengÂkap peralatan itu satu paket hanya 10 macam alat untuk satu sentra biayanya Rp 250-500 juta bisa untuk kapasitas 2-3 ton kedelai per hari,†katanya.
Dengan bantuan alat, perajin bisa meningkatkan produksi yang semula hanya 50-100 kg lalu berÂgabung antarperajin untuk memÂproduksi lebih banyak dengan biÂaya lebih murah. “Jadi bisa gabung produksi lebih banyak, biaya lebih murah, cepat dan lebih higienis,†tambahnya.
(Alfian Mujani|net)