BOGOR, TODAYÂ – PT Prayoga PertambanÂgan dan Energi (PPE) Kabupaten Bogor menandatangi nota kesepahaman (MoU) dengan perusahaan asal Tiongkok, Runh Power Corp, ltd untuk menciptakan PemÂbangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Tak tanggung-tanggung, investasi yang harus dikeluarkan PPE untuk memÂproduksi listrik 40 megawatt itu sebesar 100 juta dolar AS atau setara dengan Rp 1,7 triliun.
Semua jenis sampah yang berasal dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga menjadi sumber PLTSa ini.
“Ini tanpa APBD lho ya. Ini murni inÂvestasi PPE dengan mengambil pinjaman ke bank. Kami pun optimis investasi ini berhasil dan bisa balik modal pada delaÂpan hingga sepuluh tahun mendatang,†ujar Direktur Utama PPE, Radjab TampuÂbolon, Kamis (10/9/2015).
Ia menambahkan, Runh Power Corp menyediakan mesin thermal yang diguÂnakan untuk membakar sampah.
Sedangkan untuk membangun tempat pengolahan sampah sebagai penghasil tenaga listrik dibutuhkan area seluas 5 hektar.
“Jadi nanti sampah itu dibakar dan uaÂpnya yang menggerakkan turbin hinggan menghasilkan listrik. Intinya, nanti KabuÂpaten Bogor bersih dari sampah. Nggak ada polusi dan minim limbah, sebab asap hasil pembakaran dialirkan lewat bunker. Limbah abunya pun bisa untuk produksi batako. Paling nanti kita bangun IPAL unÂtuk masalah limbahnya,†tegas Radjab.
“PLTSa ini merupakan terobosan unÂtuk mengendalikan sampah. Kita memÂbeli sampah-sampah yang berasal dari Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Depok untuk dikonversi menjadi energi listrik. Nantinya, listrik yang dihasilkan dijual ke PLN melalui mekanisme PPA (Power PurÂchasing Agreement),” tambah dia.
Dikesempatan yang sama, General Manager (GM) Runh Power Corp, Mei Ping An mengungkapkan jika perusaÂhaannya telah mampu menyulap samÂpah di negaranya menjadi energi listrik yang bermanfaat bagi warga Tiongkok dan menjadi pelopor pembangkit listrik tenaga sampah.
“Dari 2.000 ton sampah yang dihasilÂkan disini setiap hari, sedikitnya mampu menerangi 800 rumah per harinya. Jadi kedepannya tidak lagi ada sampah yang bertumpuk di Kabupaten Bogor,†ujar Mei Ping An.
Indonesia Representative PT Runh Power atau Trans Power, Doso Pribadi mengungkapkan, untuk tahap pertama sesuai dengan nota kesepahaman, untuk memproduksi 40 megawatt membutuhÂkan waktu 24 bulan. “Ya setidaknya 24 bulan untuk 2×20 megawatt ini,†kata Doso.
Doso juga mengungkapkan, PPE tidak mengeluarkan uang selama masa produkÂsi. “Mereka nanti bayarnya kalau listrik itu sudah bisa dijual dan menghasilkan uang,†lanjut Doso.
Ia melanjutkan, ketimbang sampah yang dibiarkan menumpuk tanpa dilakuÂkan tindakan apapun, justru lebih memiÂliki dampak buruk bagi lingkungan.
“Iya dong, jauh lebih buruk dari samÂpah yang dibuang terus tapi tanpa ada olahan kembali. Baunya saja sudah tidak enak, banyak penyakit juga kan,†terang Doso.
Pria berlogat Jawa ini pun meyakinkan jika investasi yang harus dikeluarkan tiÂdak sedikit, PLTS ini juga mampu menÂjaga pelestarian lingkungan sehingga teknologi ini banyak dipakai negara maju yang peduli lingkungan.
“Investasi ini memang mahal karena untuk membangun PLTS dengan produkÂsi 1 megawatt butuh dana 2,7 juta doÂlar AS, namun selain ramah lingkungan, teknologi ini bisa berusia puluhan hingga ratusan tahun. Jadi kesimpulannya, biaya itu murah dibandingkan manfaat yang diÂperoleh dari teknologi ini,†tuturnya.
Doso merekomendasikan perusaÂhaan tersebut dibangun di TPA Galuga ketimbang TPA Nambo yang relatif baru. Menurutnya, kondisi eksisting jumlah sampah di TPAS tersebut bisa digunakan hingga 15 tahun kedepan.
“Kita hanya butuh sekitar 4 hektare kaÂlau kita gunakan 2 modul dan permodul 500 ton kita bisa hasilkan 12 megawatt. Kalau kita pakai 100 ton itu bisa 24 megaÂwatt,†katanya.
(Rishad Noviansyah)