Oleh: FIRMAN WIJAYA, S.H.
Wakil Ketua DPD KNPI Kota Bogor Periode 2014-2017
Isunya mereka akan menuntut Presiden Jokowi mencabut Tap MPRS No. XXV/1966 dan mengembalikan nama baik PKI. Faktanya memang isu tersebut tidak benar atau hanya sekedar “hoax†di medsos saja, naÂmun masyarakat pantas khawatir akan bangkitnya kembali PKI atau komunisme di Indonesia.
Kekhawatiran tersebut beralaÂsan. Di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, masyarakat dikejutkan dengan adanya sekelompok pemuÂda dengan tidak ragu membawa atribut berlambang palu arit PKI pada karnaval HUT Kemerdekaan RI Ke-70. Selain itu di Jember, Jawa Timur juga ada coretan lambang palu arit di kampus Universitas Negeri Jember (lihat : “Ada PKI Ikut Pawai Kemerdekaanâ€, Bogor Today, 18/08/2015).
Sebelumnya, beberapa tahun lalu beredar buku teks sejarah untuk SMP-SMA/sederajat yang tidak mencantumkan kata PKI di belakang penyebutan Gerakan 30 September (G30S). Pasca reformaÂsi 1998 kesakralan peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap tangÂgal 1 Oktober memang semakin pudar. Terbukti tanggal 1 Oktober kini tidak lagi ditetapkan sebagai hari libur nasional. Bahkan penÂcabutan TAP MPRS No. XXV/1966 pernah diwacanakan Presiden KH. Abdurrahman Wahid, walauÂpun hingga saat ini upaya tersebut tidak terealisasi.
Pendulum Sejarah
Kejatuhan Rezim Soekarno dengan Politik Nasakom-nya (naÂsionalis, agama, dan komunis) tidak lepas dari Peristiwa G30S/ PKI tahun 1965 yang telah memakÂan korban enam orang Perwira Tinggi TNI Angkatan Darat dan lainnya. Jasad para korban terseÂbut ditemukan di sebuah sumur tua dikawasan Lubang Buaya, JaÂkarta Timur. Inilah yang memicu kemarahan rakyat terhadap PKI maupun underbouw-nya.
Pasca reformasi memang berÂmunculan banyak pertanyaan, sebenarnya siapa “intellectual dader†dibalik Peristiwa G30S/ PKI?. Banyaknya penerbitan buku yang mengangkat persoalan ini, baik karangan penulis asing maupun dalam negeri, pada intiÂnya membantah buku teks sejarah G30S/PKI versi Rezim Orde Baru, bahkan beberapa buku cenderÂung menyudutkan ormas Islam, dus pendulum sejarah kini sedang “mengayun kearah kiriâ€.
Terlepas dari polemik terseÂbut, sejarah mencatat bahwa PKI beberapa kali melakukan upaya pemberontakan, diantaranya taÂhun 1926 di Jakarta, tahun 1948 di Madiun yang dikenal dengan “Madiun Affair†dan G30S/PKI taÂhun 1965 di Jakarta. Arif Wibowo (2015) mencatat bahwa korban yang paling banyak dalam perisÂtiwa “Madiun Affair†adalah kaum santri, sebab para kyai dan kalangan pesantren dianggap sebagai penentang utama berdirinya “SoÂviet Republik Indonesiaâ€. Bahkan para pimpinan PKI saat itu mengÂkampanyekan slogan “Pondok BoÂbrok, Langgar Bubar, Santri Matiâ€.
Pasca G30S/PKI dan mulai rapuhnya Rezim Soekarno, JenÂderal TNI Soeharto yang mengÂklaim dilegitimasi “Supersemar†melakukan penangkapan terhaÂdap anggota maupun simpatisan PKI, ratusan bahkan mungkin riÂbuan dieksekusi (lihat : Soe Hok Gie (1966), dalam “Di Sekitar PemÂbunuhan Besar-Besaran Di Pulau Baliâ€). Reaksi Rezim Orde Baru ini memang sangat berlebihan, kareÂna faktanya diantara mereka banÂyak yang dieksekusi tanpa melalui proses peradilan. H. Abdul Mun’im DZ. (2014) dalam “Benturan NU dan PKI 1948-1965â€, menyebutkan kalau di tahun 1948, PKI sempat menang dan membantai para kyai dan santri tapi pada pemberonÂtakan tahun 1965 mereka menjadi pihak yang kalah, sehingga korban terbanyak justru dari kalangan PKI. Meskipun PKI mengalami kekalahan pada tahun 1965, bukan berarti umat Islam tidak menderiÂta kerugian. Euforia menyambut Rezim Orde Baru yang menggusur PKI dan komunisme, juga diikuti dengan penggusuran aspirasi poliÂtik Islam di Indonesia.
Kuntowijoyo (2006) pernah mengingatkan agar kaum Muslim Indonesia memberikan respon yang tepat dalam menghadapi tantangan realitas. Khususnya menyikapi realitas kaum marjiÂnal. Jika tidak maka pihak lain akan mengambil kesempatan itu. Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa SI Merah lebih populer dibanding SI Putih, dan PKI lebih popular dari partai-partai Islam dikalangan buruh tani dan buÂruh industri karena umat Islam tidak sensitif dengan munculnya proletarianisasi di pedesaan dan perkotaan. Sehingga selain respon intelektual dalam membangun keÂsadaran sejarahnya, umat Islam perlu meningkatkan kohesivitas sosialnya dalam mengatasi perÂsoalan kaum marjinal.
Makna Kesaktian Pancasila
Ditengah terpaan globalisasi dan neoliberalisme, kita seharusÂnya menguatkan dan membenÂtengi diri agar tidak terjebak pada hedonism dan vested interest asÂing. Salah satu untuk membendÂungnya adalah dengan menggali kembali nilai-nilai yang terkandÂung dalam Pancasila. Nilai-nilai itÂulah yang kemudian kita maknai sebagai energi untuk membanÂgun kembali jati diri bangsa ini. Bangsa ini bisa berdiri tegak jika mau kembali menghidupkan dan sekaligus mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila.
Perdebatan sejarah terkait peristiwa G30S/PKI hendaknya tiÂdak mengubah rasa memiliki kita terhadap Pancasila sebagai simbol pemersatu bangsa. Berbagai peristiÂwa yang pernah terjadi sejak ProklaÂmasi 17 Agustus 1945 hingga saat ini, yang pada akhirnya tidak mengÂgoyahkan Pancasila sebagai dasar negara merupakan bukti Kesaktian Pancasila. Kesaktian disini bukan diÂartikan Pancasila secara aktif mamÂpu melakukan sesuatu, melainkan pandangan serta nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila mampu ditranformasikan oleh komponen bangsa dalam berkehidupan keÂbangsaan dan bernegara.
Sebagai dasar negara, PancasiÂla tidak hanya merupakan sumber perundang-undangan. Melainkan juga Pancasila dapat dikatakan seÂbagai sumber moralitas terutama dalam hubungan dengan legitimaÂsi kekuasaan, hukum, dan berbÂagai kebijakan dalam pelaksanaan serta penyelenggaraan negara. Selain moralitas, Pancasila juga mengandung berbagai makna lain, diantaranya, kemanusiaan, keadiÂlan, persatuan dan demokrasi.
“History repeat itselfâ€, mungÂkin adagium ini yang menyebabÂkan masyarakat “phobia†terÂhadap kebangkitan PKI. Secara struktur mustahil PKI bangkit kembali, namun secara kultur mungkin saja dapat hidup kemÂbali. Para penganut komunisme mungkin saja berdiaspora denÂgan masuk kedalam infrastruktur maupun suprasturktur negara. Sehingga menjadi “fardhu a’in†hukumnya bagi kita untuk selalu waspada terhadap bahaya laten komunisme. (*)