LANGKAH kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berusaha mengkebiri dan membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat perlawanan. Para pimpinan KPK, Rabu (7/10/2015) menggelar konferensi pers dan mengeluarkan sikap.
YUSKA APITIYA AJI ISWANTO
[email protected]
Para pimpinan KPK menganggap peÂrubahan dalam beberapa pasal di RUU KPK, akan mereduksi kewenanÂgan KPK. Salah satunya Pasal 73 menÂgenai batasan usia KPK maksimal 12 tahun sejak undang-undang KPK disahkan.
“Pasal 73 mengenai usia 12 tahun, pengerÂtian ad hoc itu lain dengan lembaga ad inÂterm. Ad hoc itu sama sekali tidak berbasis durasi tapi untuk maksud dan kondisi,†kata Plt Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji dalam konferensi pers di KPK, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (7/10/2015).
“Makanya kalau pengertian ad hoc itu lembaga-lembaga trigger, selalu terÂkait the principal danger lembaga ad hoc tidak terikat durasi tapi bisa dihenÂtikan durasi kalau maksud clear presÂence danger sudah terjadi,†lanjutnya.
Seperti diberitakan harian ini, keÂinginan kalangan DPR untuk memÂbubarkan KPK sudah semakin nyata. Para wakil rakyat tak sungkan-sungÂkan lagi mengutak-atik revisi Undang Undang Anti Korupsi yang tujuannya adalah untuk mengkebiri kewenangan KPK, yang bermuara pada pembubaÂran lembaga anti rasuah itu. (baca BoÂgor Today Rabu,7/10/2015)
Menurut Indriyanto, KPK merupakÂan trigger mechanism, yaitu lembaga yang berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi. KPK bisa ditutup jika korupsi bisa benar-benar telah hilang dari Indonesia.
“Sekarang KPK bisa ditutup kalau korupsi bersih sama sekali. Kalau beÂlum, harus tetap hidup dan inilah KPK. Kalau pasal-pasal ini (pasal 73) tetap ada, lebih baik KPK dibubarkan saja, jangan sekali-sekali lembaga trigger ini diamputasi. Kita akan menempuh langkah-langkah yang secara hukum dibenarkan,†jelas Indriyanto.
KPK menolak tegas rencana revisi UU KPK yang disampaikan DPR. Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki lanÂtas menyampaikan 6 poin pernyataan sikap KPK terhadap rencana revisi yang dianggap akan melemahkan tersebut.
“Saya akan bacakan saja tanggapan resmi dari KPK terkait revisi UU30 taÂhun 2002 tentang KPK yang di-lauchÂing tadi pagi oleh DPR,†kata Ruki saat menggelar jumpa pers di KPK, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (7/15/2015).
Berikut enam poin pernyataan siÂkap KPK:
Tidak perlu dilakukan pembatasan masa kerja KPK yang disebutkan di situ paling lama 12 tahun, karena sesuai Pasal 2 angka 2 TAP MPR No 8/2001, menyatakan bahwa MPR mengamanatÂkan pembentukkan KPK dan dalam TAP MPR tersebut tidak disebutkan adÂanya pembatasan waktu.
Tidak perlu dihapuskan keÂwenangan penuntutan karena proses penuntutan yang dilakukan oleh KPK merupakan salah satu bagian tidak terpisahkan dari proses penanganan perkara secara terintegrasi. Selama 12 tahun ini KPK telah mampu membuktiÂkan adanya kerja sama yang baik antara penyelidik, penyidik, penuntut umum yang dibuktikan dengan dikabulkannya seluruh tuntutan oleh majelis hakim tipikor, 100 percent convictional rate.
Pembatasan penanganan perkara oleh KPK harus di atas Rp 50 miliar adalah tidak mendasar, karena KPK fokus kepada subjek hukum, bukan keÂpada kerugian negara, yaitu subjek huÂkumnya adalah penyelenggara negara sesuai dengan TAP MPR 11/1999 dan UU nomor 28/1999 tentang penyelenggaraÂan negara yang bersih dan bebas KKN.
KPK memperkuat akuntabilitas dalam pelaksanaan kewenangan peÂnyadapan. Berdasarkan putusan MK tahun 2003, MK menyatakan bahwa kewenangan penyadapan KPK tidak melanggar konstitusi sehingga perlu diÂpertahankan. Selama ini kewenangan penyadapan sangat mendukung keberÂhasilan KPK dalam pemberantasan koÂrupsi. Apabila dicabut, akan melemahÂkan upaya-upaya pemberantasan korupsi. Kedua berwenangan melakuÂkan penyadapan berdasarkan UU, ini adalah legal by regulated, bukan court order, bukan atas izin pengadilan.
KPK tetap tidak memiliki SP3 keÂcuali secara limitatif disebutkan: 1) Apabila tersangka/terdakwa meninÂggal dunia, kalau meninggal mau tidak mau penydiikan harus dihentikan. KaÂlau ada proses perdata itu persoalan lain 2) Kedua tersangka tidak layak diperikÂsa di pengadilan, unfit to stand trial.
KPK harus diberikan kewenangan untuk melakukan rekrutmen pegawai secara mandiri termasuk mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum, yang diangkat langusng pimpiÂnan KPK berdasarkan kompetensinya. Bukan berdasarkan statusnya sebagai polisi atau jaksa, tapi berdasarkan komÂpetensi yang dimilikinya.
“Demikian enam pernyataan dari pimpinan KPK sebagai respon atas pengajuan DPR, dan KPK setuju dan sependapat dengan pendapat presiden untuk menolak revisi UU KPK, itu yang bisa disampaikan,†pungkas Ruki.
Ruki menilai UU KPK saat ini justru masih harus disempurnakan, bukan dilemahkan. “Saya kira UU KPK saat ini belum baik, harus disempurnakan buÂkan dilemahkan. Belum baik saja tapi KPK sudah menjadi benchmark,†kata Ruki, “Kami menerima tamu tiap bulan dari luar negeri, mereka belajar ke sini. Betapa sesungguhnya di luar negeri KPK diberi penghargaan,†lanjutnya.
Ruki menambahkan, indeks korupÂsi Indonesia saat ini sudah mulai memÂbaik. Ia pun meminta semua pihak unÂtuk membantu dan memperkuat KPK ke depannya. “Indeks korupsi kita juga membaik meskipun belum memuasÂkan. Mari kita perkuat KPK,†ujar Ruki.
KPK sependapat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar pembaÂhasan dan revisi UU KPK urung dilakuÂkan. KPK tidak bisa menyebut rencana revisi merupakan upaya koruptor untuk melakukan perlawanan, tapi jelas bahwa revisi bertujuan untuk meÂlemahkan KPK.
“Apakah ini merupakan korupÂtor fight back atau bagaimana?†tanya wartawan. “Silakan diterjemahkan sendÂiri, tapi substansinya melemahkan kinÂerja KPK yang akan datang,†jawab Ruki.
Indriyanto Seno Adji menambahÂkan, UU KPK saat ini sudah cukup baik. Hanya saja menurut DPR belum baik dan perlu direvisi. “Tidak bagus menuÂrut DPR, tapi kalau menurut saya dan Pak Ruki dan tim pakar sudah sangat baik. Kalau ada yang perlu direvisi buÂkan hal-hal esensial,†ujar Indriyanto.
“Kalau mengenai pasal-pasalnya saya ikut meneliti itu pasal, dikaitkan dengan RUU KPK yang menjadi inisiÂatif DPR, memang RUU yang berubah ini pasal-pasal untuk mengamputasi kewenangan KPK,†imbuh Indriyanto.
Upaya DPR untuk mengkebiri KPK antara lain mengusulkan pembentuÂkan Dewan Kehormatan (DK) KPK yang dicantumkan dalam draf RUU KPK. Padahal selama ini KPK juga memiliki kedeputian pengawasan internal denÂgan tugas yang sama.
“Kalau dibentuk (DK KPK), siapa yang membentuk? Apakah melalui DPR atau Presiden? Ini pertanyaan yang belum diÂjawab secara tegas,†kata Plt Pimpinan KPK Johan Budi di KPK, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (7/10/2015).
“Dewan apapun itu, yang seleksinÂya juga menurut DPR ada tanda tanya juga bagaimana independensi dewan pengawas terhadap pimpinan KPK, harus dilihat proporsinya. Selama ini kan KPK dikatakan tidak diawasi, tapi selama KPK berdiri banyak hal dengan mudahnya pimpinan KPK jadi tersangÂka dan ganggu ritme pekerjaan KPK,†jelas Johan.
Merujuk pada Pasal 39 ayat 2 dalam draft RUU KPK yang diajukan DPR, sebagaimana dikutip pada Rabu (7/10/2015), Dewan Kehormatan KPK berwenang untuk melakukan pemerÂiksaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan pegawai dan komisÂioner KPK. Dewan Kehormatan berangÂgotakan 9 orang yang terdiri dari unsur pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat.
“Dewan Kehormatan diberi weÂwenang untuk memeriksa dan meÂmutuskan dugaan terjadinya pelangÂgaran penggunaan wewenang yang tidak memenuhi standar penggunaan wewenang yang telah ditetapkan dan menjatuhkan sanksi administrasi dalam bentuk teguran lisan dan tertulis, pemÂberhentian sementara dan pemberhenÂtian dari pegawai pada Komisi PemberÂantasan Korupsi dan pelaporan tindak pidana yang dilakukan oleh komisioner KPK dan pegawai pada KPK,†demikian bunyi pasal tersebut.
Jokowi Dukung KPK
Sementara itu, Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki memastikan Presiden Jokowi masih berkomitmen dalam pemberantasan korupsi. MenuÂrut dia, dalam memberantas korupsi diperlukan lembaga penegak hukum yang kuat, bukan Komisi PemberanÂtasan Korupsi yang lemah.
“Presiden Jokowi sangat commit dengan agenda pemberantasan koÂrupsi. Apalagi beliau sedang gencar menggenjot pembangunan infrastrukÂtur. Itu betul-betul butuh KPK yang kuat, yang bisa mengawasi pembanguÂnan,†kata Teten di Kompleks Istana, Rabu (7/10/2015).
Menurut dia, untuk meminimaliÂsir peluang terjadinya korupsi dalam pembangunan, Presiden Jokowi menÂginginkan semua lembaga penegak huÂkum dapat berperan dengan maksimal. “Presiden mengkehendaki KPK yang kuat, polisi yang kuat, dan jaksa yang kuat. Jadi komitmen presiden dalam pemberantasan korupsi tidak usah diÂragukan,†katanya.
Mengenai RUU pengampunan naÂsional yang tengah dibahas di DPR, Teten mengaku belum mengetahui keÂberadaan RUU itu. “Tidak benar ada RUU pengampunan koruptor. Saya baru dengar, itu datang dari mana,†katanya.
Terpisah, Menteri Sekretaris NegÂara Pratikno mengatakan bahwa sikap Presiden Jokowi mengenai rencana amandemen Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi tak berubah. Jokowi menolak merevisi UU KPK. “Masih merujuk pada pernyataan yang lama,†kata Pratikno di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (7/10/2015) kemarin.
Pratikno mengatakan untuk menÂgetahui lebih jauh mengenai rencana itu dia akan segera berkomunikasi denÂgan Menteri Hukum dan Hak Asasi MaÂnusia Yasonna Laoly. “Kami akan cek ke Menkumham mengenai pernyataan Presiden. Saya akan coba tanyakan lagi nanti ke beliau,†kata dia. (*)