Oleh: HENDRI TEJA
Sekjen PB Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo)

Setiap unjuk rasa selalu melalui proses panjang dan rumit, yang pasti akan menyedot banyak energi. Mulai dari rapat, konsolidasi, sampai penggalan­gan dana dan perizinan.

Jika boleh memilih, buruh pun ingin bekerja tenang. Tapi, dalam banyak kasus, unjuk rasa dan mogok terbukti lebih jitu se­bagai instrumen pemenuhan hak-hak buruh.

Keampuhan unjuk rasa ter­gambar dari data upah minimum periode 2010-2015 yang naik sig­nifikan. Grafiknya eksponensial. Rata-rata pertumbuhan upah minimum di Indonesia pas­ca-2010 selalu di atas 15 persen.

Bahkan pada 2013, DKI Ja­karta, Kabupaten Bogor, dan Ka­bupaten Pasuruan naik masing-masing 43,9 persen, 60,9 persen, dan 37,4 persen. Namun, perlu pula dicatat pertumbuhan itu tetap membuat upah minimum Indonesia masih berada di bawah Malaysia, Thailand, Cina, Filipi­na, dan Singapura.

Lentingan pertumbuhan upah minimum adalah sesuatu yang wajar. Sebab, setelah seki­an lama, pemerintahan Orde Baru mengeksploitasi kaum bu­ruh. Ibarat pegas, semakin kuat penekanan semakin kuat pula tingkat lontarannya.

Namun, harus diakui bahwa lentingan tersebut membuat peru­sahaan tidak stabil. Pengusaha ke­sulitan untuk memprediksi besa­ran upah minimum tahun depan.

Kesepakatan yang terjadi an­tara pengusaha-buruh via Dewan Pengupahan sejatinya adalah kesepakatan sama-sama kalah. Target besaran upah yang diru­muskan buruh dan pengusaha sama-sama tidak tercapai.

Pemerintah Jokowi-Jusuf Kal­la mencoba menjadi mediator. PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengu­pahan adalah instrumen untuk mengharmoniskan kepentingan buruh dan pengusaha.

Prediksi besaran upah buruh akan memudahkan perusahaan untuk membuat penganggaran tahun depan. Rencana pengem­bangan perusahaan dalam Rapat Umum Pemegang Saham bisa lebih dijamin realisasinya.

Sebaliknya, buruh memiliki jaminan bahwa upah minimum akan naik setiap tahun. Upah minimum tahun depan adalah upah minimum berjalan, dit­ambah upah minimum tahun berjalan dikalikan inflasi tahu­nan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Tingkat inflasi menjadi simbol pengaman kenaikan ba­rang dan jasa tahun berjalan. Se­dangkan, “bagi hasil” atas kinerja perusahaan disimbolkan dengan pertumbuhan ekonomi.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Pada titik ini bisa dipahami iktikad baik pemerintah dalam konteks mendorong pertumbu­han ekonomi nasional.

Karenanya, secara makro meskipun dengan beberapa catatan, PP Pengupahan cukup diterima serikat buruh. Sayang­nya, sebelum catatan tersebut sempat dibahas bersama, secara sepihak pemerintah mengetuk pemberlakuannya pada 23 Okto­ber 2015.

Dari banyak catatan, setida­knya ada tiga catatan penting atas PP Pengupahan. Pertama, upah minimum yang menjadi startup. Pemerintah tidak memberi ruang untuk mengkritisi apakah upah minimum 2015 sudah sesuai ke­butuhan hidup layak (KHL).

Padahal, data Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indone­sia (KSPI) menunjukkan, pada 2015 terdapat 23 provinsi yang pengupahannya di bawah KHL.

Jika upah minimum yang di­jadikan startup sudah di bawah KHL, kemungkinan besar hasil rumusan PP Pengupahan akan kembali di bawah KHL. Ambil contoh KHL Jakarta versi buruh Rp 3,3 juta, tetapi upah mini­mum 2015 cuma Rp 2,7 juta. Ada kesenjangan Rp 600 ribu atau 22,23 persen. Padahal, UMP Ja­karta 2016 cuma naik 11,5 persen karena inflasi 2015 sebesar 6,83 persen dan pertumbuhan eko­nomi DKI 4,67 persen.

Kedua, degradasi peran de­wan pengupahan dari wadah be­runding menjadi tukang hitung rumus. Tidak ada lagi survei la­pangan. Cukup mengambil data inflasi dan pertumbuhan ekono­mi dari BPS. Permasalahannya, kenaikan harga barang acap lebih tinggi dari tingkat inflasi.

Ambil contoh, data BPS 2014 mencatat harga eceran nasional susu kental kaleng 385 ml dan minyak goreng mengalami kenai­kan 13,9 persen dan 8,82 persen dari 2013. Padahal, inflasi tahu­nan 2014 hanya 7,26 persen.

Rumusan ini akan lebih ka­cau jika diturunkan ke level kota/ kabupaten. Ditemukan rata-rata harga eceran beras di pasar tradisional pada 11 kota dari 33 kota mengalami kenaikan di atas nilai inflasi 2014.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Empat kota kenaikannya sam­pai dua digit, dengan pemuncak Kota Palembang dan Kota Beng­kulu yang mencapai 15,29 persen dan 16,23 persen.

Kondisi ini menggambarkan bahwa penggunaan tingkat inflasi nasional tidak serta-merta bisa mengejar kenaikan harga di level nasional, apalagi lokal.

Lantas siapa yang harus menanggung kesenjangan ini? Layakkah menutupnya dengan bagian upah minimum dari per­tumbuhan ekonomi? Jika demiki­an, bukankah artinya kembali bu­ruh yang dikorbankan?

Jika pun hendak dipaksakan, perusahaan hendaknya memberi subsidi upah jika ternyata besa­ran upah minimum rumusan PP tidak sesuai dengan realitas la­pangan.

Di sinilah peran dewan pen­gupahan dibutuhkan, yaitu mer­ekomendasikan besaran subsidi upah. Besarannya berdasarkan pada survei lapangan di masing-masing daerah sebagai pemband­ing data BPS.

Ketiga, rendahnya kepatuhan pengusaha. ILO Indonesia men­catat 51,7 persen pekerja tetap memperoleh upah di bawah upah terendah yang diwajibkan pada Februari 2015.

Ironisnya, kepatuhan ini ternyata memiliki siklus tahunan. Tingkat kepatuhan terendah ter­jadi pada Februari dan tertinggi pada Agustus.

Ada rentang waktu khusus yang dibutuhkan perusahaan un­tuk melakukan penyesuaian upah. Butuh beberapa bulan pascadiu­mumkan, baru para buruh bisa menikmati peningkatan upah.

Hal ini tentu merugikan kalan­gan buruh. Karena itu, dibutuh­kan pengawasan dan ketegasan pemerintah untuk memastikan pengusaha merealisasikan kebi­jakan itu dengan tepat dan cepat.

Intinya, iktikad baik pemer­intah yang terkandung dalam PP Pengupahan patut diapresiasi. Sayangnya, pemerintah terlalu tergesa-gesa menerbitkan per­aturan itu ketika pokok-pokok substansinya masih perlu dibahas lebih lanjut.

Akibatnya, PP Pengupahan mirip instrumen politik upah mu­rah yang dulu diimplementasikan oleh pemerintahan Orde Baru. PP Pengupahan justru kontradiktif dengan visi trilayak buruh yang digembar-gemborkan Jokowi sewaktu pilpres.

Sumber: Republika online

============================================================
============================================================
============================================================