Oleh: AHMAD AGUS FITRIAWAN
Guru MTs. Yamanka Kec. Rancabungur Kab. Bogor
Meski penetapannya menuai pro-kontra di kalangan organÂisasi masyarakat dan umat Islam sendiri, namun kiranya ada hal yang patut menjadi spirit berÂsama untuk meneguhkan peran pesantren di era globalisasi saat ini sebagai mesin pencetak santri-santri yang memiliki bekal penÂgetahuan akhirat dan dunia yang seimbang dan berdaya saing.
Di era globalisasi dan modÂernisasi saat ini, peran pesantren semakin penting sebagai lembaga pendidikan yang mengembangkan tradisi spiritual kepada santrinya. Era modern adalah era teknologi, era mesin, era efisiensi, serta era percepatan. Semua itu berujung pada birokrasi yang rigide dengan asas hubungan organik yang luar biasa. Para era inilah, dunia semaÂkin mengecil dan segalanya dilamÂpaui dengan serba cepat. Tidak ada jarak lagi, tidak ada ruang dan tiak juga waktu. Apa yang telah diÂhasilkan oleh kamajuan teknologi seperti mesen, handphone, televiÂsi, komputer dan internet, benar-benar telah banyak mengubah cara pandang manusia terhadap dunia.
Pada era inilah, manusia kemÂbali dirindukan dengan siraman spiritual dengan aspek religius untuk mendapatkan ketenangan batin dalam dunia yang telah poÂrak-poranda ini. Jika masyarakat modern telah mengalami keterÂlemparan sisi-sisi kemanusiaanÂnya dan mulai merindukan nilai-nilai spiritualitasnya.
Jalan yang bisa ditempuh unÂtuk menjawab dan memilih kedua realitas tersebut adalah dengan mengambil posisi tengah yang akan kita coba bawa ke dalam dunia pesantren, karenanya nilai-nilai pendidikan dalam pesantren harus dilandasi semangat pemÂbangunan dan dilandasi penyadaÂran akan nilai-nilai spiritualitas. Keseimbangan antara keduanya berada pada posisi-posisi yang ditengah-tengah (tawazun), meruÂpakan langkan solutif yang maju yang harus diambil perannya oleh pesantren.
Dengan demikian maka makÂna ibadah tidak semata-mata dipaÂhami sebatas ritual belaka, namun juga mencari kehidupan yang lebih manusiawi, sejahtera, adil dan merata. Berjuang di dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, membangun indusÂtri yang kokoh dan menegakkan pilar-pilar ekonomi rakyat juga merupakan aktivitas menegakÂkan panji-panji spiritualitas dalam pembangunan. Dengan kata lain, hasil belajar di pesantren tidak hanya tafaqquh fi al-din semata, akan tetapi perku dikembangkan menjadi tafaqquh fi al-din wa al-dunya adalah pilihan terbaik utuk dijadikan landasan filosoÂfis semangat pembelajaran di pesantren, sehingga pesantren akan memiliki daya saing yang tiÂdak dapat disaingi oleh lembaga pendidikan lainnya. Sebaba daya saing utama pesantren yang patut diunggulkan adalah kelebihannya dalam pembelajaran spiritualitas.
Keunggulan inilah yang diÂmiliki pesantren sehingga hari ini pesantren masih tetap eksis. Eksistensi pesantren di tengah maÂsyarakat tidak lepas dari keduduÂkan pesantren sebagai sub kultur. Hal ini sebagaimana apa yang diÂkatakan oleh Gus Dus (dalam RaÂhardjo, 2004 :iv), bahwa ada tiga elemen dasar yang mampu memÂbertuk pesantren sebagai sebuah sub kultur. Pertama, pola kepeÂmimpinan pesantren yang manÂdiri tidak terkooptasi oleh negara. Kedua, kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbÂagai abad. Ketiga, sistem nilai (valÂue system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas.
Persoalan mendasar dan makÂro yang menjadi tanggungjawab pesantren adalah bagaimana mengubah dan mengembangkan tata pikir dan perilaku masyaraÂkat sekitarnya sesuai dengan tantangan perubahan masyaraÂkat. Bagaimana mereka harus mengembangkan dirinya agar mampu mengemban tanggungÂjawab tersebut sebagai agen peÂrubahan (agent of change) dan sekaligus sebagai agen pewarisan budaya (agent of conservative).
Gagasan utama pendidikan kepesantrenan pada masa menÂdatang adalah terletak pada panÂdangan bahwa setiap manusia mempunyai nilai positif tentang kecerdasan, daya kreatif dan keÂluhuran budi. Peran pendidikan pesantren ialah bagaimana nilai positif ini tumbuh menguat. Jika tidak tepat maka bisa tumbuh sifat negatifnya berupa perilaku kasar, tidak toleran, tidak peduli sesama, dan seterusnya. Oleh karena itu, output yang diharapkan dari hasil pendidikan pesantren adalah tumÂbuhnya pribadi pintar, kreatif, dan berbudi luhur. Orang yang cerdas selalu bisa menggunakan nalarnya secara benar dan obyektif. Orang kreatif mempunyai banyak piliÂhan dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupnya. Orang arif dan luhur budi bisa menentuÂkan opsi yang tepat dan menolak cara-cara yang kasar, dan kurang cerdas. Kecerdasan dan kearifan bersumber dari daya kritis dan kesadaran atas nilai dan sosial, seÂhingga tumbuh kepedulian pada sesama.
Atas dasar itulah, kedudukan pendidikan pesantren adalah penting dalam rangka membanÂgun kesadaran sistem belajar yang mampu menumbuhkan daya kritis dan kreatif, melahirkan pribadi yang cerdas yang mampu merentangkan jangkauan kesadaÂrannya ke tingkat wilayah sosial dan kemanusiaan. Oleh karena itu fokus pendidikan pesantren bukan semata kemampuan ritual dan keyakinan tauhid semata, meÂlainkan lebih dari itu juga etika soÂsial dan kemanusiaan. PembelajaÂran di pesantren perlu dibebaskan dari sekedar mempelajari doktrin baik-buruk, benar-salah yang mekanistik, tetapi penumbuhan pengalaman kebertuhanan dalam realitas kehidupan yang multikulÂtural dalam timbangan hidup yang dinamis. Watak integratif seperti itulah yang hendak dicari dan diÂandaikan pengintegrasian sistem pendidikan di pesantren.
Bagi pesantren sendiri dengan fungsinya sebagai agen perubahan (agent of change) dan sekaligus sebagai agen pewarisan budaya (agent of conservative) akan lebih mudah mengimplementasikan visinya di tengah perubahan maÂsyatakat. Apalagi kependidikan pesantren mempunyai filosofis tersendiri dalam menghadapi peÂrubahan, yaitu: “al-muhafadzah ‘ala qadim al-shalih wa al-akhdzu bil al-jadid al-ashlahâ€, memperÂtahankan tradisi lama yang masih relevan dan mengambil ide baru yang konstruktif dan prospektif. Filosofis ini masih relevan dijaÂdikan pegangan bagi pesantren dalam menghadapi tantangan peÂrubahan. Wallahu’alam. (*)