ahmad-agusPembicaraan mengenai pemilihan kepala daerah atau pilkada sudah menjadi trand topic di banyak media massa baik elektronik maupun cetak. Karena bangsa ini akan menghadapi sebuah hajatan kolektif yaitu pemilihan kepala daerah serentak Desember nanti.

Oleh: AHMAD AGUS FITRIAWAN
(Guru MTs. Yamanka Kec. Rancabungur Kab. Bogor)

Disamping Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi membuka loket pendaftaran calon kepala daerah yang mau berta­rung. Jadwal pendaftaran itu ber­langsung sejak 26 Juli hingga 28 Juli. Sebanyak 269 daerah baik itu tingkat provinsi, kabupaten mau­pun kota akan memilih pemimpin barunya pada tahun ini.

Berbicara masalah memilih pemimpin dan kepemimpinan, ajaran Islam sangat detil ketika membincangkan tentang pemili­han pemimpin. Berbagai persyarat pun digariskan oleh Islam terkait calon pemimpin yang dianggap layak untuk memimpin komuni­tas, organisasi, daerah, hingga lev­el negara, antara lain adalah shid­diq (benar), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan kepada umat), dan fathanah (cerdas). Keempat syarat kepemimpinan tersebut sesungguhnya mengacu pada karakter kepemimpinan Ra­sulullah SAW yang terbukti mam­pu menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan penuh dengan barakah serta keridhaan Allah.

Pertama; Kata shiddiq dapat diartikan sebagai jujur dan benar, dan benar ini berarti tidak salah, tidak dusta, tidak keliru, sesuai dan juga cocok. Menurut Iman Al-Ghazali, kata Shiddiq jika di­hubungkan dengan perbuatan manusia adalah kesesuaian antara hati dan lidah, lahir dan juga ba­tin. Pemimpin yang shiddiq tidak hanya berbicara dengan kata-kata, tapi juga dengan perbuatan dan keteladanan. Ucapan yang keluar dari mulutnya selalu konsisten. Tidak ada perbedaan antara kata dan perbuatan.

Dalam hal kejujuran pasti­nya ada khabar yang menjelaskan tentang seruan Nabi saw. kepada ummatnya untuk berlaku jujur disetiap keadaan, dimanapun dan kapanpun itu. Abdullah bin Mas’ud r.a. menuturkan, Rasu­lullah saw. bersabda ,”hendaklah kalian bersikap jujur. Kejujuran mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkannya kepada surga. Dan senantiasa se­seorang bersikap jujur dan terus berupaya menjaga kejujurannya sampai dengan dicatat disisi Al­lah bahwa ia adalah seorang yang jujur. Janganlah sekali-kali kalian berdusta. Sebab, berdusta akan mengantarkan kepada perbua­tan maksiat , dan perilaku mak­siat akan mengantarkan kepada neraka. Sesungguhnya, seseorang yang berlaku dusta, dan terus in­gin berlaku dusta sehinnga disisi Allah ia dicatat seorang pendus­ta”. HR. Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi.

Jujur menjauhkan seseorang dari prasangka buruk, jauh dari kecurigaan, tanpa adanya beban diawal maupun di kemudian hari. Rumusnya sederhana, “Jujur akan mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan mengantar­kannya kepada surga”. Dengan kejujuran yang dilandasi sikap istiqamah, seseorang pemimpin akan mampu melewati badai yang selalu menghadang gerak dan langkahnya. Sehingga, meno­lak kebenaran dan meremehkan orang lain adalah bentuk dari ke­sombongan yang tampak di per­mukaan.

Hal nyata untuk mengindi­kasikan pemimpin yang shiddiq adalah ia mesti melakukan upaya-upaya Good Governance, seperti transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas atas aktifitas opera­sional institusi yang dipimpinnya.

Kedua, kata Amanah, istilah ini ditinjau dari aspek yang lebih sempit, diartikan sebagai meme­lihara titipan yang akan dikem­balikan dalam bentuknya seperti sediakala. Dalam tinjauan yang diperluas, amanah mempunyai cakupan yang lebih luas, seperti memelihara amanah orang lain, menjaga kehormatan orang lain, atau menjaga kehormatan dirinya. Dengan memiliki sifat amanah, pemimpin akan senantiasa men­jaga kepercayaan masyarakat yang telah diserahkan di atas pun­daknya. Kepercayaan masyarakat berupa penyerahan segala macam urusan kepada pemimpin agar dikelola dengan baik dan untuk kemaslahatan bersama.

Dalam menanggung ama­nah kepemimpinan Rasulullah sangat melarang kepada semua pemimpin untuk mengambil se­gala sesuatu yang bukan haknya. Terbukti, lima belas abad yang lalu Nabi Muhammad saw. sudah mengingatkan kepada kita bahwa praktik korupsi bukanlah perkara kecil dan sepele. Hal ini terbukti dari kisah yang dikisahkan oleh Abu Hurairah: Nabi Muhammad saw. berdiri bersama kami (Abu Hurairah), lalu beliau menyebut perkara korupsi ( ghulul). Beliau mengatakan perkara tersebut san­galah besar dan amat besar.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Dan juga dari hadits yang diki­sahkan oleh Abdullah bin Burai­dah r.a. yang bersumber dari Ayahnya sebagai berikut: Nabi Mu­hammad saw. bersabda “Barang siapa yang memperkerjakan, lalu kami beri suatu rezeki, maka yang diambil diluar itu adalah suatu perbuatan korupsi”. HR. Imam Abu Dawud

Dengan demikian, amanah menjalankan tugas dan fungsi ja­batan kepemimpinannya, yang dalam standar paling dekat har­uslah adil dalam penegakan hu­kum dan tidak korupsi di tengah-tengah masa jabatannya. Prasarat itulah yang menjadi ukuran dasar bagi seorang pemimpin yang dig­ariskan Islam.

Ketiga, kata Tabligh yang merupakan sifat Rasul yang ke­tiga. Sifat Ini adalah sebuah sifat Rasul untuk mengkomunikasikan dan tidak menyembunyikan in­formasi yang benar apalagi untuk kepentingan umat dan agama. Be­liau tidak pernah sekalipun meny­impan informasi berharga hanya untuk dirinya sendiri.

Salah satu ciri kekuatan komu­nikasi seorang pemimpin adalah keberaniannya menyatakan ke­benaran meskipun konsekwensin­ya berat. Beliau sangat tegas pada orang yang melanggar hukum Allah, namun sangat lembut dan memaafkan bila ada kesalahan yang menyangkut dirinya sendiri. Dalam istilah Arab dikenal ung­kapan, “kul al-haq walau kaana murran”, katakanlah atau sampai­kanlah kebenaran meskipun pahit rasanya.

Keempat, kata Fathanah meru­pakan sifat rasul yang keempat, yaitu akalnya panjang sangat cer­das sebagai pemimpin yang selalu berwibawa. Selain itu, Seorang pemimpin juga harus memiliki emosi yang stabil, tidak gampang berubah dalam dua keadaan, baik itu dimasa keemasan dan dalam keadaan terpuruk sekalipun itu. Menyelesaikan masalah dengan tangkas dan bijaksana. Sifat Pe­mimpin adalah cerdas dan men­getahui dengan jelas apa akar per­masalahan yang dia hadapi serta tindakan apa yang harus dia ambil untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada umat. Sang pe­mimpin harus mampu memahami betul apa saja bagian-bagian dalam sistem suatu organisasi/lembaga tersebut, kemudian ia menyelar­askan bagian-bagian tersebut agar sesuai dengan strategi untuk men­capai sisi yang telah digariskan. Seorang pemimpin harus mema­hami sifat pekerjaan atau tugas yang diembannya. Serta mampu memberikan keputusan secara te­pat dan benar.

Menurut Marshall G. Hodgson, ahli sejarah (konsentrasi) perada­ban Islam, sebagaimana yang di­kutip Dr. Nurkholish Madjid dalam salah satu tulisannya, bahwa kesuk­sesan kepemimpinan Nabi Muham­mad dalam menaklukkan manusia adalah demi membebaskan mer­eka dari belenggu kebodohan dan kegelapan dengan landasan cinta kasih, keimanan, dan niat tulus.

Dari keempat sifat Rasulullah yang disampaikan di atas, nam­pak jelas bahwa kesemua kriteria tersebut merupakan satu hal yang mutlak dimiliki oleh seorang calon pemimpin, sehingga mampu dian­dalkan dalam membawa peruba­han yang baik bagi kehidupan ma­syarakat.

Selanjutnya, apa saja yang per­lu dipersiapkan sejak awal untuk mengenal, mempersiapkan, dan memilih pemimpin yang sesuai dengan keteladanan Rasul? Rasu­lullah SAW setidaknya telah mem­berikan contoh terbaik, termasuk kriteria bagi seorang pemimpin, antara lain:

Pertama, ia tidak terlalu be­rambisi merengkuh jabatan itu, apalagi sampai menghalalkan segala cara. Dalam sebuah Hadis sahih dari Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah r bersabda: “‘Demi Allah, aku tidak akan menyerah­kan suatu jabatan kepada orang yang memintanya atau berambisi mendapatkannya”.’ (HR Muslim).

Memberikan amanah (hak pilih) kepada yang meminta saja tidak boleh, apalagi ketika se­seorang sampai menghalalkan segala cara untuk memperoleh suatu jabatan. Bisa dipastikan, sosok pemimpin seperti ini akan sulit berlaku amanah. Alih-alih diharapkan berkorban untuk ke­sejahteraan rakyat, ia justru akan sibuk mengembalikan modal yang pernah dikeluarkannya, mem­perkaya diri, dan mencari pres­tise lewat jabatan yang diemban.

Kriteria Kedua yang diajar­kan Rasulullah dalam memotret pemimpin dan calon pemimpin adalah, ia taat beribadah dan me­miliki relasi sosial yang baik. Ketika Umar bin Khattab ra mengangkat Nafi’ bin al-Harits sebagai guber­nur Makkah, Nafi’ memilih Ibnu Abza untuk mengepalai masyara­kat yang tinggal di daerah lembah dekat Makkah, padahal semua tahu Ibnu Abza hanyalah bekas bu­dak di komunitas tersebut.

Saat Umar bin Khattab ra mengonfirmasi hal itu, Nafi’ menjawab, “‘Ia memang bekas budak, tetapi ia hafal Al-Quran, paham masalah faraidl (waris), dan sering memutuskan persoa­lan masyarakat dengan adil.’’ (HR Ahmad). Maka, Umar pun memuji pilihan Nafi’ karena melihat kapa­bilitas dan tingkat akseptabilitas Ibnu Abza.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Ketiga, ia adalah pribadi yang sederhana dalam kesehariannya. Sebab, hanya pejabat dengan gaya hidup yang sederhanalah yang bisa imun (tahan) dari godaan ke­mewahan dunia. Sebaliknya, gaya hidup mewah sangat potensial menjerumuskan seorang pejabat untuk melakukan korupsi walau­pun telah dimanjakan dengan gaji yang lebih dari cukup. Padahal, Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa pejabat yang curang dan korup tidak akan pernah menci­um wangi surga.

Tiga kriteria dasar tersebut di atas, setidaknya telah mem­beri gambaran bagaimana sosok pemimpin dan calon pemimpin yang sebenarnya perlu diberikan amanah kepadanya. Sayangnya, keteladanan pemimpin seperti itu di negeri ini seolah sulit dicari. Memang, sulit bukan berarti tidak ada sama sekali. Oleh karena itu­lah, rakyat yang cerdas akan men­carinya sampai ketemu.

Meski indikasi keteladanan pe­mimpin di negeri ini berada pada puncak kepurbaan yang langka, jangalah membuat kita berputus asa untuk mencarinya. Sekali lagi, seseorang dapat dikatakan pe­mimpin panutan yang layak dite­ladani apabila melakukan kebaji­kan yang patut diteladani karena dirinya memantulkan laku baik dan benar. Baik untuk diri sendiri dan kelompoknya, baik bagi se­luruh rakyat dan warga yang ia pimpin, juga benar dalam menja­ga dan menjalankan amanah yang rakyat titipkan kepadanya.

Kita patut prihatin, keban­yakan dari pemimpin yang ada sekarang terlalu mementingkan pribadi dan golongannya. Kerap­kali kebijakan yang dibuat sangat dipaksakan demi kepentingannya sendiri, sementara kepentingan rakyat atau masyarakat diabai­kan. Meski sering dinasehati me­lalui pendekatan pribadi maupun pendekatan sosial seperti demon­strasi, tetap saja tak bergeming. Asal tujuannya tercapai itu sudah lebih dari cukup bagi Sang Pe­mimpin ini. Orang-orang inilah yang sering disebut pemimpin ti­dak amanah. Pemimpin seperti ini tidak mengerti artinya memimpin.

Pemimpin yang beriman dan paham akan arti sebuah kepe­mimpinan yang amanah, akan sangat ketakutan untuk tidak bertindak amanah pada setiap kebijakan yang ia kerjakan. Dan bagi manusia beriman, kepe­mimpinan merupakan amanah dari Allah SAW. Apapun bentuk yang ia pimpin. Apakah itu rumah tangga, pemerintahan, BUMN atau BUMD, perusahaan swasta atau memimpin dalam komunitas kecil sekalipun, amanah haruslah menjadi dasar dalam menjalankan roda kepemimpinan.

Pemimpin yang amanah, seti­daknya akan selalu meresapi apa yang menjadi pesan Allah I, se­bagaimana di firmankan dalam al-Qurâan surat Al-Hasyr,18. “Hai orang-orang yang beriman, ber­takwalah kepada Allah dan hen­daklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya un­tuk hari esok (akhirat); dan ber­takwalah kepada Allah, sesung­guhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Sebagai umat muslim, kita juga harus mau belajar pada masa lalu, kreatif dengan masa yang seka­rang ada, guna mendapatkan hari esok yang lebih baik. Memang, kita juga menyadari bahwa menun­aikan amanah bukanlah peker­jaan ringan. Bahkan langit, bumi dan gunung pun tidak mampu mengembannya. Manusia diberi beban amanah karena ia memiliki kemampuan berbeda dengan ben­da-benda padat. Manusia memiliki hati dan akal pikiran, keimanan, perasaan kasih sayang, empati ke­pada sesama yang mendukungnya menunaikan amanah.

Karena amanah menentukan nasib sebuah bangsa dan daerah. Jika setiap orang, baik mereka yang memimpin dan kita yang me­milih pemimpin bisa menjalankan tugas masing-masing dengan penuh amanah dan tanggung jawab, maka selamatlah bangsa kita. Sebaliknya jika diseleweng­kan maka hancurlah sebuah bangsa dan daerah itu. Sehingga Rasulullah r mengingatkan dalam sebuah sabdanya, “Bila ama­nah disia-siakan, maka tunggu­lah kehancurannya”. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaan­nya?. Beliau bersabda, “Bila per­soalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (Bukhari dan Muslim).

Semoga kita sentiasa bisa mempersiapkan diri dalam segala hal guna menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik, di du­nia dan akhirat. Amin. (*)

============================================================
============================================================
============================================================