GLOBALISASI adalah proses terjadinya perubahan di mana umat manusia menjadi satu, masyarakat dunia memiliki ketergantungan, dan saling mempengaruhi dalam segala bidang kehidupan, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta integrasi ekonomi melalui perdagangan dan penanaman modal asing. Liberalisasi diciptakan upaya untuk mewujudkan perubahan, dengan memberikan kebebasan yang luas dalam penataan dan pengendalian bidang pendidikan.
Oleh: SYARIFAH GUSTIAWATI MUKRI
Dosen Tetap Fakultas Agama Islam (FAI)Â Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor
Istilah Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) adalah pasar bebas Asia Tenggara yang terbentuk di kawasan Asia Tenggara pada akhir 2015. Tujuan dibentuknya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015, tiÂdak lain untuk meningkatkan staÂbilitas perekonomian di kawasan Asean, yang berdampak tercipÂtanya pasar bebas di bidang perÂmodalan, barang dan jasa, serta tenaga kerja. Sehingga MEA, diÂharapkan dapat bersaing, bahkan menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing. Berarti, penanaman modal asing sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningÂkatkan kesejahteraan.
Pendidikan Islam jika dikaitÂkan dengan isu Masyarakat EkoÂnomi Asean, menggambarkan bahwa tantangan persaingan ekonomi berpengaruh terhadap sistem pendidikan khususnya pendidikan Islam. Di era MEA ini, seharusnya bangsa Indonesia mulai mengembangkan sistem pendidikan yang mampu melaÂhirkan manusia-manusia unggul, yaitu manusia yang memiliki daya saing unggul ditingkat regional, bahkan tingkat global. Oleh kareÂna itu, sistem pendidikan Islam harus merespon perubahan zaÂman, dan siap menghadapi MEA dengan langkah-langkah strategis untuk mengaktualisasikan idenÂtitas Islam yang relevan di segala zaman, sehingga masuknya arus perdagangan barang atau jasa, bahkan tenaga kerja profesional asing tidak akan mempengaruhi sistem pendidikan Islam.
Dalam konfrensi Islam di Mekkah tahun 1977, dinyatakan bahwa pendidikan Islam bersifat holistik sistem, yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikoÂmotorik. Hal tersebut, menjadi barometer pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan era globalisasi. Hal di atas, sesÂuai dengan tujuan Sistem PenÂdidikan Nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta perÂadaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan keÂhidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreÂatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta berÂtanggung jawab.
Realitas kenyataan di lapanÂgan, berbagai masalah kerusakan alam, perilaku korupsi, pencuÂrian, tindak pidana kriminalitas terus meningkat, semua disebabÂkan karena lemahnya pendidikan. Oleh karena itu, kemajuan suatu bangsa disebabkan oleh pendidiÂkan dan kebaikan akhlak, karena akhlak merupakan simbol kemaÂsyarakatan.
Islam adalah agama yang semÂpurna, karena telah mengatur berbagai sistem kehidupan, anÂtara lain sistem pendidikan, budaÂya, ekonomi, sosial, dsb. Dalam sistem pendidikan ekonomi misÂalnya, Islam mengajarkan untuk memelihara harta dan memanÂfaatkannya dengan bijaksana, harta adalah bagian terpenting dari kehidupan manusia. Satu dari lima hal yang sangat pentÂing telah diatur dalam maqashid syariah, yaitu memelihara harta atau menggunakan harta sesuai dengan sistem syari’ah.
Oleh karena itu, memperÂsiapkan muslim yang bermutu di segala bidang kehidupan dengan dibentengi keimanan, akhlak, jasmani yang sehat, dan ekonomi yang baik, adalah keniscayaan. Karena Pendidikan Islam bertuÂjuan mempersiapkan seorang muslim dari berbagai aspek keÂhidupannya, dari lahir hingga dewasa untuk kehidupan dunia dan akhirat diberbagai aspek keÂhidupan.
Menurut Prof. Didin HafiddhuÂdin disampaikan pada seminar Internasional Pendidikan Islam dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), di UIKA Bogor, menjelaskan bahwa penÂdidikan Islam dalam menghadapi tantangan arus globalisasi, haÂrus memperkuat identitas umat Islam, dengan akhlak sebagai bingkainya. Identitas keislaman seorang muslim yang harus ditaÂnamkan yaitu kesadaran transenÂdental, dzikir, fikir, akhlak, serta kepedulian terhadap masyarakat dhuafa. Selain identitas yang koÂkoh, sistem pendidikan Islam tiÂdak mendikotomi antara Islamic science dan sekulerisasi pengetaÂhuan umum.
“Dengan integrasi pengetaÂhuan agama dan umum, tentu harus dapat memperkuat akiÂdah, sehingga dapat menyadarÂkan Tauhid dalam setiap individu. Sekaligus menyiapkan mereka, dengan memberikan kapita selekÂta atau materi-materi yang aktual dengan menghadirkan tantangan-tantangan agar tidak ketinggalan informasi untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berÂmutu,†ujar Didin saat berorasi di depan para peserta seminar penÂdidikan.
Dalam kesempatan itu pula, pria yang menjadi direktur pasca sarjana UIKA Bogor ini menyamÂpaikan, bahwa selain hal tersebut di atas, pendidikan Islam harus menguatkan sikap mental keÂmandirian individu, bukan sekaÂdar pelatihan life skill, tetapi melÂatih jiwanya agar memiliki mental yang kuat dalam menghadapi tantangan kehidupan. Rasulullah bersabda: “Pekerjaan apa yang paling baik? Pekerjaan seorang lelaki dengan tangannya sendiri.â€
Dalam seminar yang sama, Prof. Rosnani menjelaskan bahwa pendidikan Islam dalam menghaÂdapi tantangan Masyarakat EkoÂnomi Asean harus menyiapkan tenaga yang mahir atau profeÂsional, yang dilakukan sesuai denÂgan standar kelayakan. Tetapi ia berpendapat, bahwa masyarakat Asean belum siap menghadapi arus globalisasi, melihat masih banyak tantangan yang dihadapi, antara lain latar belakang profil keluarga anggota negara-negara Asean yang masih membangun ekonominya, status sosio ekoÂnomi dan pendidikan yang masih rendah, dengan pembiayaan dan ongkos yang tinggi, korupsi dan politik yang tidak stabil.
Menurut perempuan yang juga dosen di Islamic thought of Malaysia ini menyatakan bahwa Asean Economic Community (AEC) adalah bentuk penjajahan baru fase ekonomi, yang berdamÂpak pada dehumanisasi sehingÂga nilai manusia, karakter dan agama tidak menjadi hal penting dalam fase tersebut, bahkan hanÂya untuk corporate interest atau kepentingan perusahaan semata. Meskipun demikian, menurutÂnya tetap saja reaktualisasi penÂdidikan Islam menjadi sebuah keniscayaan, karena pendidikan Islam itu adalah action, producÂtion knowledge bukan reproduce saja, yaitu menjadi ulil albab yang menghasilkan sesuatu atau social justice.
Hal yang sama diungkapkan oleh Rasheed seorang cendikiÂawan muslim Mesir bahwa sistem ekonomi global adalah bentuk dari neoimprealisme atau penjaÂjahan baru, sehingga isu pendiÂdikan selalu dibenturkan dengan tantangan persaingan ekonomi, yang merupakan bagian dari era globalisasi di dalam berbagai biÂdang kehidupan. Akan tetapi, hal tersebut tidak menjadi penghamÂbat dalam mengaktualisasikan sistem pendidikan Islam yang bermutu.
Menurut Bahrul Hayat Phd menjelaskan bahwa MEA not competition but colaboration, dalam hal ini peranan pendidikan Islam dalam menghadapi tanÂtangan Masyarakat Asean harus mengedepankan one vision, one identity, and one community, sehingga hasilnya akan memÂperkuat kolaborasi dalam bidang pendidikan Islam bukan memperÂtajam kompetisi. MEA adalah unÂtuk rakyat Asean sehingga dapat mengatasi masalah sosial kemaÂsyarakatan seperti kemiskinan, keadilan dan kesejahteraan sosial.
Menurut Bahrul hayat seorang pria yang aktif di diktis kemenag pusat mengatakan, ada beberaÂpa hal yang menjadi tantangan utama pendidikan Islam adalah development divide yaitu pemÂbangunan yang beragam antar negara, no quality, rendahnya mutu pendidikan Islam, Asimetri mobilitas, dan hegemoni negara maju.
Dengan demikian, peluang yang dapat dilakukan oleh negara anggota Asean adalah membanÂgun pendidikan Islam yang maju dan berdaya saing serta berperÂadaban. Adapun, aliansi strategi pendidikan Islam Asean adalah membangun identitas Asean, menciptakan rasa memiliki, mengembangkan model pendidiÂkan Islam yang bermutu, memÂbangun pusat unggulan studi Islam, kerangka kualifikasi dan kompetensi Asean, dan Mutual recognation.
Model pendidikan Islam yang ideal harus membangun paraÂdigma integratif connected, memÂbangun pusat unggulan Islam, membangun pusat studi Islam, socio culture, sehingga negara Asean menjadi pasar, tenaga kerÂja, dan menjadi kualifikasi Islamic economic. Misalnya dalam hal halal food dan sertifikat wakaf, yang harus diakui sertifikatnya atau ijazahnya, mutual rocognize, dengan belajar dari pengalaman manajemen wakaf di singapura, kolaborasi dan networking. SeÂhingga besar harapan tantangan Masyarakat Ekonomi Asean menÂjadi peluang sistem pendidikan Islam dalam membangun sumber daya manusia (SDM) yang berperÂadaban. Wallahu A’lam (*)