INDONESIA di ambang krisis beras. Badan Pusat Statistik (BPS) meragukan kualitas data luas panen pangan sebagai basis penghitungan produksi pangan yang dikumpulkan Kementerian Pertanian dan dinas pertanian di daerah-daerah.
RISHAD NOVIANSYAH|YUSKA APITYA
[email protected]
Konflik kepentingan muncul kareÂna data yang dikumpulkan menÂjadi justifikasi keberhasilan proÂgram oleh institusi pengumpul data. Hal itu terungkap dalam loÂkakarya wartawan dalam rangka peningkatan pemahaman data pangan oleh BPS, di Jakarta Rabu (25/11/2015). Lokakarya itu bertema â€Data Pangan sebagai Pijakan Pengambilan Kebijakanâ€.
Keraguan itu sudah diungkapkan sejak lama oleh beberapa kalangan. Dua bulan lalu, Wakil Presiden M Jusuf Kalla mempertanÂyakan hasil angka ramalan I produksi beras yang mencapai 75,55 juta ton gabah kering giling. Angka ini dinilai terlalu tinggi.
Kepala BPS Suryamin mengungkapÂkan, untuk mendapatkan kualitas data produksi padi yang lebih akurat, BPS pada 2015 ini tengah melakukan survei penghitungan luas panen, stok beras, dan citra satelit atau menggunakan foto udara. “Kami mengklaim, data yang diÂpaparkan Kementan berbeda jauh denÂgan hasil survei kami,’’ katanya.
Lonjakan impor beras dalam seÂtahun terakhir memang sangat gila-gilaan. ‘’Boleh dibilang, negara kita unÂtuk lima atau sepuluh tahun ke depan terancam krisis pangan (beras),†kata Suryamin.
Salah satu komponen bahan panÂgan pokok yang masih diimpor hingga sekarang adalah beras. Namun, bukan beras umum (medium) yang sering dikonsumsi masyarakat luas, melainÂkan beras khusus yang ditujukan untuk restoran dan industri olahan lainnya.
BPS mencatatm, beras khusus yang diimpor pada Oktober 2015 mencapai 21.092 ton atau senilai USD 10,5 juta. Angka impor tersebut, naik hingga 360% dari bulan sebelumnya yang hanya sebesar 4.582 ton atau USD 2,02 juta. Secara akumulasi dari Januari-Oktober impor beras khusus mencapai 250.703 ton atau USD 110,3 juta.
Beberapa waktu lalu, Wapres JK meminta evaluasi soal data proyeksi atau angka ramalan (aram) produksi padi 2015 yang dirilis BPS. Pada Aram I, BPS mencatat produksi beras menÂcapai 75,55 juta ton gabah kering giling (GKG), pada Aram II, BPS merevisinys menjadi 74,9 juta ton GKG atau turun karena dampak El Nino.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Hasil Sembiring membantah soal data produksi beras yang dirilis BPS terseÂbut, tidak dihitung dengan akurat. KeÂmentan menegaskan tahun ini produkÂsi beras tetap surplus.
Bahkan bila tak ada upaya khusus dari Kementerian Pertanian (KemenÂtan), maka impor beras akan sangat besar sampai 9 juta ton beras. Namun faktanya impor beras hanya sekitar 1 juta ton dari Vietnam. “Bahwa produkÂsi padi pada Aram II sudah dirilis 2 NoÂvember lalu. Di situ Aram II 2015 padi produksi diperkirakan sekitar 74,9 juta ton dalam gabah kering giling (GKG). Kita katakan juga bahwa produksi padi Oktober 2014 sampai Oktober 2015 suÂdah surplus, bisa dilihat dimana tak ada impor beras umum sampai OktoÂber,†kata Hasil saat konferensi pers di kantor Kementan, Ragunan, Jakarta, Kamis (26/11/2015).
Selain itu, Hasil mengungkapkan, hitung-hitungan Kementan, realitas produksi beras di lapangan memang surplus meski ada kekeringan panÂjang akibat El Nino. “Indikasi bahwa produksi beras kita benar. Bukti kinerja tahun 2015 betul-betul lebih tinggi dari 2014. Bisa dibayangkan tahun 1998 ada El Nino kuat intensitasnya 1,9% kita imÂpor 7 juta ton beras dengan penduduk 200 juta jiwa. El Nino sekarang 2,4% tambahan penduduk 50 juta jiwa,†terang Hasil.
Hasil melanjutkan, Kementan tak pernah menghitung data produksi beÂras nasional. Data dari BPS tersebut dihitung langsung oleh pegawai BPS sampai di tingkat kecamatan dan kabuÂpaten/kota.
“Banyak orang heran produksi beÂras kita sebesar itu tahun ini. Kita hanÂya tugas produksi. Bukan kita hitung sendiri, itu ada koordinatornya dari BPS sampai di kecamatan, nggak ada data dari Ragunan. Artinya saya kita tak pernah intervensi data dari BPS,†tegas Hasil.
Bogor Gagal Panen
Survei BPS memang bisa dibenarÂkan, produksi beras di lumbung panÂgan Jawa Barat juga mengalami penuÂrunan. Di Bogor, dari 40 ribu hektare, sawah dengan target produksi 6,3 ton gabah kering per hektare, hanya 33.313 hektare yang berhasil dipanen.
Kepala Dinas Pertanian dan KehutaÂnan (Distanhut) Kabupaten Bogor, Siti Nuryanti, mengatakan, data itu tercatat untuk musim tanam April hingga SepÂtember 2015. “Hasil produksinya cuma tercapai 83,37 persen. Saya prediksi, hingga akhir musim tanam, produksi padi bisa mencapai 88,89 persen di akhÂir tahun,†kata Siti beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, hingga saat ini produksi gabah kering baru mencapai 84.625 ton dari target 95.200 ton. “Ini karena musim kemarau berkepanjanÂgan sejak Juni lalu. Makanya tidak menÂcapai target,†katanya.
Setidaknya, kata Siti, terdapat 4.264 hektare sawah dalam kondisi kesulitan air ringan, sedang, berat di lebih dari 20 kecamatan. Sebanyak 4.203,8 hekÂtare sawah gagal panen, di antaranya 1.496 hektare di Cariu, 1.400 hektare di Jonggol, 1.241 hektare di Tanjungsari, Sukamakmur 53,8 hektare dan 13 hekÂtare di Leuwisadeng. (*)