Oleh: RIDUAN SITUMORANG
Pendidik, pegiat sastra dan budaya, serta penggagas ‘Teater Z’Medan.
Sejarah mencatat secara ringkas begini, abad ke-16 fanatisme melaÂhirkan perang di antara Katolik dan Protestan; abad ke-1819 muncul kolonialÂisme dan rasisme; abad ke-20 ada komunisme, tetapi lahir pula ulÂtranasionalisme yang melahirkan perang dahsyat secara beruntun; dan abad ke-21 muncul perang identitas, ekonomi, dan ekstremÂisme seperti ISIS, belakangan ini.
Tentu saja semua hal di atas merupakan imbas dari kebebasan berpikir yang lalu ditingkatkan menjadi kebebasan bertindak. Karena kebebasan bersayap ini, mereka lalu memonopoli kebenaÂran atas pikiran dan tindakannya sendiri. Maka, untuk ke sekian kalinya, lahirlah dogma-dogma sempit yang diartikan dengan pikiran eksklusif. Agama tak luÂput dari pergunjingan, malah seringkali menjadi sumber peÂmikiran untuk kelak menjadi sumber peperangan.
Dalam hal ini, agama digubah menjadi objek kajian ilmu yang diperdebatkan dan diperhadapÂkan secara head to head. Sebagai hasilnya, dalam penyebaranÂnya, meski dia damai, seringkali malah menciptakan kericuhan, pembunuhan, penindasan, dan sebagainya. Maka, jadilah keÂkerasan dan pemaksaan menjadi ritual yang hampir wajib. Selain itu, agama juga sering menjadi bahan obralan sehingga ‘penjual’ memberinya kepada ‘pembeli’ tanpa bayaran apa pun. Malah, sekilas pandang, ‘penjualnyalah’ yang terkesan rugi karena harus melintasi samudera, benua, demi jualannya tanpa bayaran apa pun dari ‘pembeli’, kecuali masuk agama, itu pun tak terjamin.
Tetapi, belakangan, merÂeka tidak lagi mau rugi. Jualan tidak lagi diobral, tetapi harus laku. Nah, di sinilah kebebasan berpikir tadi kemudian berkemÂbang menjadi kebebasan bertinÂdak. Lantas akhirnya, mereka memberi ‘kewajiban’ bagi yang disodorkan, entah itu melalui pemaksaan dan cara-cara halus lainnya. Maka, ketika pada proses penjualannya mengalami tentanÂgan dan perlawanan, mereka tak segan-segan berperang. Di sini, mitos yang menganggap mati karena agama sebagai ‘mati suci’ menjadi kenyataan melalui wuÂjud martir dan jihad. Bahkan, ada kaum muda yang mendadak buta dan melakukan apa saja bagi agaÂma yang dipandangnya sebagai kebenaran mutlak.
Pada titik yang tak terduga, mereka kemudian bebas bertinÂdak sampai tak lagi memikirkan nasib orang lain. Mereka bebas menerjemahkan orang lain sebÂagai yang pantas di hadapan AlÂlah atau tidak. Yang tak pantas kemudian diperangi, sementara yang pantas dilindungi. Kita meÂnyebutnya sebagai ekstremisme, tetapi mereka mengartikannya sebagai perang suci di jalan TuÂhan. Maka, lahirlah istilah laskar-laskar Tuhan yang berperang atas nama Tuhan, dengan pekikan-pekikan nama Tuhan pula tanpa berpikir apakah yang diperangi itu juga ciptaan Tuhan. Ya, iniÂlah paradoks, mereka semakin bebas berpikir, tetapi kebebasan itu malah membatasi mereka pada pemikiran yang sempit dan eksklusif.
Akhirnya, bukan rasa bersaÂhabat yang dilahirkan, melainkan aroganisme sehingga dunia ini diÂerjemahkan pada dua kutub: saÂhabat atau musuh dan halal atau haram. Sahabat akan dilindungi untuk tidak berteman dengan musuh, sementara musuh akan dipaksa sepemikiran, jika tidak, dibunuh. Mereka sudah pasti tiÂdak akan merasa bersalah karena bagi mereka, perang seperti itu merupakan perang suci.
Logika perang seperti inilah yang sudah menemani peradaban manusia dan kemanusiaan, teruÂtama dalam penyebaran agama. Maka, lihatlah, sekalipun ada, misalnya, genosida, atas dasar politik, sudah pasti lebih banyak atas dasar logika agama eksklusif. Kalaupun pula ada genosida atas dasar politik, sudah pasti embel-embel agama melekat di dalamÂnya. Dengan begitu, genosida seÂmakin dipahami sebagai perang suci. Contoh teranyarnya ada pada perebutan kursi RI-1 ketika karena kebebasan berpikir, seorang pinÂtar yang dikenal cendekiawan bahkan reformis menyebut PeÂmilu lalu sebagai Perang Badar, maksudnya perang suci.
Begitulah agama. Kita bebas menganut dan mengaguminya, tetapi di pihak lain, ada pula okÂnum yang merasa bebas memakÂsa, meluruskan jalan yang diangÂgapnya sebagai yang bengkok. Lagi-lagi, kata mereka, itu perang suci.
Sebagai perang suci, tentu saja mereka menerjemahkan bahwa Allah pernah mengirimÂkan pedang pembebasan dan pedang itu diwariskan kepada mereka. Dengan pedang itu, teÂbasan demi tebasan merupakan ritual agama. Maka, kembali, perang semakin bergejolak. PemÂbantaian atas nama pembelaan kemurnian agama pun lagi-lagi menjadi keniscayaan. Darah dari korban tidak lagi dipandang seÂbagai dosa, melainkan sebagai pemurnian agama yang dipahami secara bebas sehingga tanpa disÂadari, agama rupa-rupanya menÂjadi mesin jagal yang paling efekÂtif, dan itu dilegitimasi.
Di babak modern, terutama di awal tahun baru, apakah kita maÂsih akan membiarkan kebebasan berpikir dan bertindak menjadi alat untuk menjagal? Apakah kita akan tetap melegitimasi darah seÂbagai simbol pemurnian agama? Tentunya tidak, bukan? Kalau demikian, bagaimana kita akan berlaku?
Kita harus berani keluar dari pemikiran sempit. Ubah logika berpikir bebas menjadi membeÂbaskan pemikiran. Buat dan perÂlakukan sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan. Lebih penting lagi, perluas cakupan persaudaÂraan. Hal itu sangat membantu karena disadari atau tidak, perÂtemanan yang cenderung sejenis akan membawa kita pada pemikiÂran bahwa yang berbeda dari kita sebagai yang bukan sesama.
Dalam penelitian Muzafir Sherif, psikolog Amerika tahun 1950-an, misalnya, dinyatakan bahwa konflik dan kebencian terjadi justru karena interaksi sesama kelompok, bukan pada pribadi lepas pribadi. Interaksi inilah kemudian menimbulkan fanatisme akut sehingga melahirÂkan kebencian kepada yang lain. Artinya, persaudaraan sempit seperti hal-hal tampak sepele, katakanlah itu, misalnya, seperti organisisai keagamaan, kedaeÂrahan, kesukuan akan melahirÂkan kecintaan berlebihan pada sesama yang sejenis. Imbasnya, mereka sibuk merayakan persaÂmaan sehingga lupa merawat perbedaan.
Padahal, perbedaan merupakÂan keniscayaan. Tetapi, bagaimaÂna mungkin perbedaan akan terawat manakala kita sibuk berÂinteraksi dengan yang cenderung sesuku, seagama, dan sepaham dengan kita? Intinya, menghalau ekstremisme bukan lagi sekadar bagaimana beragama, bersekoÂlah, dan bertata laku, melainkan bagaimana keluar ke daerah yang lebih luas dengan manusia dari beÂragam spektrum. Dengan begitu, kita akan melebur dengan orang lain sehingga primordialisme, etÂnosentrisme, dan egosentrisme akan menemui kiamatnya. ***
sumber: suarakarya.id