Untitled-13JAKARTA, TODAY — Aksi pencurian listrik diakui hingga kini masih marak terjadi. Modus­nya dilakukan dengan sambungan liar, hingga manipulasi dengan mengubah meteran listrik.

Deputi Manajer Komunikasi dan Bina Lingkungan PT PLN (Persero) Distri­busi Jakarta Raya, Mambang Hertadi mengharapkan masyarakat ikut andil dalam pemberantasan pencurian lis­trik. Apalagi jika dilakukan oleh oknum petugas lapangan PLN. “Kalau masyarakat menemukan pencuri­an listrik, atau ada petu­gas yang menawarkan listrik dengan ngakalin me­teran bisa langsung lapor­kan lewat telepon ke 123,” katanya, Kamis (11/2/2016). Lewat layanan bebas pulsa 24 jam tersebut, sambung Mambang, PLN akan langsung bergerak cepat mengecek dan segera menertibkan. “Bisa juga laporkan ke kantor area terdekat kita. Karena untuk berantas pencurian listrik kita butuh peran aktif masyarakat,” ujarnya.

Menurut Mambang, saat ini sudah cu­kup banyak masyarakat yang memanfaat­kan layanan pelaporan tersebut. Beberapa laporan masyarakat segera ditindaklanjuti dengan penertiban.

“Tahun ini Baru 3 kasus pencurian yang sampai ke proses pidana, seperti pencurian yang pabrik kardus di Tanggerang, kemu­dian kedua ada pabrik plastik, ketiga saya tak ingat,” kata Mambang.

Sedangkan sepanjang tahun lalu, PLN Distribusi Jakarta Raya mencatat ada 41.851 pencurian listrik yang ditertibkan secara ru­tin dalam sebulan sekali lewat Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL). Ke depan, PLN akan bertindak tegas jika terbukti ada yang mencuri listrik. “Makanya sekarang kita mau geser kalau yang sudah terbukti langsung pidana supaya ada efek jera. Ka­lau hanya bayar tagihan yang dicuri kan ng­gak ada efek jeranya,” jelas Mambang.

BACA JUGA :  Diduga Balas Dendam, Keponakan di Bangkalan Bacok Paman hingga Tewas

Sanksi pidana yang dimaksud Mam­bang yakni pemberlakuan Pasa 51 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Regulasi terse­but menjelaskan, setiap orang yang meng­gunakan tenaga listrik yang bukan haknya secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun, dan denda paling banyak Rp 2,5 miliar.

PT PLN (Persero) mengaku terus melakukan penertiban pada maraknya pencurian listrik, baik pada pelanggan listrik rumah tangga hingga pabrik. Pada pencuri­an listrik di pabrik umumnya dilakukan den­gan mengutak-atik meteran sehingga listrik yang terpakai tak tercatat pada meteran.

Mambang mengaku, ada sejumlah alasan pihaknya sulit membongkar prak­tik pencurian listrik, paling umum adalah akses yang sulit pada petugas PLN saat melakukan pemeriksaan. “Ada yang me­mang aksesnya sulit, ada yang memang dipersulit masuk. Karena rata-rata sangat tertutup. Itu yang membuat pengawasan jadi sulit,” kata Mambang.

Ia menuturkan, dalam proses men­gungkap pencurian listrik, pembuktian dari alat meteran saja selama ini tidak cukup. Hal tersebut semakin sulit jika manipu­lasi meteran dilakukan oleh oknum yang memang ahli mengutak-atik meteran. “Kalau pun kita sudah masuk, rata-rata ng­gak ada yang mau ngaku, artinya kita ha­rus melakukan pembuktian lebih jauh lagi. Pembuktian ini yang kadang mentok. Apa­lagi meteran sudah dibenerin lagi,” terang Mambang.

Dia mengakui, salah satu kesulitan pem­berantasan maling listrik juga terjadi karena keterlibatan oknum petugas PLN di lapan­gan. “Itu memang ada oknum dari perusa­haan alih daya yang suka tawarin listrik mu­rah (ilegal). Itu juga biasanya bukan petugas dari daerah bersangkutan,” tutupnya.

BACA JUGA :  Sarapan Sehat dan Bergizi dengan Tumis Udang Sayuran yang Simple dan Lezat

Lewat Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL), PT PLN (Persero) sebenarnya terus melakukan penertiban pada pen­curian listrik. Pencurian listrik yang paling sering terjaring penertiban salah satunya adalah sambungan-sambungan liar di ping­gir jalan.

Mambang menegaskan, masifnya aksi pencurian listrik di pinggir terjadi karena sanksi pada pemakai ‘jasa’ sambungan liar tergolong ringan. “Sebenarnya kita ada denda. Tapi mereka kan bukan pelanggan PLN karena hitungannya liar, kalau pelang­gan rumah tangga tinggal kita padamkan saja, panggil dan selesaikan secara admin­istrasi (bayar tagihan dan denda), kalau ini nggak resmi,” kata dia. “Rata-rata di ping­gir jalan kan sudah disampaikan, bahwa ini ada dendanya, tapi rata-rata mereka kan nggak respek. Kalau pun dipanggil nggak datang,” ujar Mambang.

Di kota besar seperti Jakarta, Bo­gor, Tangerang, Bekasi dan Depok, sam­bungnya, seharusnya Pemerintah Daerah (Pemda) yang melakukan penertiban pada sambungan liar mengingat hal tersebut menyangkut aspek keamanan dan ketert­iban. “Ini kan menyangkut kesemrawutan, juga keamanan. Bagaimana kalau keba­karan dan sebagainya. Makanya kalau pen­ertiban rutin kita harapkan bisa lakukan sa­ma-sama dengan Pemda,” kata Mambang.

Mambang menuturkan, selain oleh masyarakat yang memiliki keahlian mem­buat sambungan liar, sejumlah oknum dari petugas layanan teknis (Yantek) juga kerap menjual jasa sambungan ilegal tersebut. “Itu kan dari outsourcing yang suka nawa­rin. kita juga sulit awasi di lapangan,” tu­tupnya.

(Yuska Apitya Aji)

============================================================
============================================================
============================================================