JAKARTA, TODAY — Aksi pencurian listrik diakui hingga kini masih marak terjadi. ModusÂnya dilakukan dengan sambungan liar, hingga manipulasi dengan mengubah meteran listrik.
Deputi Manajer Komunikasi dan Bina Lingkungan PT PLN (Persero) DistriÂbusi Jakarta Raya, Mambang Hertadi mengharapkan masyarakat ikut andil dalam pemberantasan pencurian lisÂtrik. Apalagi jika dilakukan oleh oknum petugas lapangan PLN. “Kalau masyarakat menemukan pencuriÂan listrik, atau ada petuÂgas yang menawarkan listrik dengan ngakalin meÂteran bisa langsung laporÂkan lewat telepon ke 123,†katanya, Kamis (11/2/2016). Lewat layanan bebas pulsa 24 jam tersebut, sambung Mambang, PLN akan langsung bergerak cepat mengecek dan segera menertibkan. “Bisa juga laporkan ke kantor area terdekat kita. Karena untuk berantas pencurian listrik kita butuh peran aktif masyarakat,†ujarnya.
Menurut Mambang, saat ini sudah cuÂkup banyak masyarakat yang memanfaatÂkan layanan pelaporan tersebut. Beberapa laporan masyarakat segera ditindaklanjuti dengan penertiban.
“Tahun ini Baru 3 kasus pencurian yang sampai ke proses pidana, seperti pencurian yang pabrik kardus di Tanggerang, kemuÂdian kedua ada pabrik plastik, ketiga saya tak ingat,†kata Mambang.
Sedangkan sepanjang tahun lalu, PLN Distribusi Jakarta Raya mencatat ada 41.851 pencurian listrik yang ditertibkan secara ruÂtin dalam sebulan sekali lewat Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL). Ke depan, PLN akan bertindak tegas jika terbukti ada yang mencuri listrik. “Makanya sekarang kita mau geser kalau yang sudah terbukti langsung pidana supaya ada efek jera. KaÂlau hanya bayar tagihan yang dicuri kan ngÂgak ada efek jeranya,†jelas Mambang.
Sanksi pidana yang dimaksud MamÂbang yakni pemberlakuan Pasa 51 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Regulasi terseÂbut menjelaskan, setiap orang yang mengÂgunakan tenaga listrik yang bukan haknya secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun, dan denda paling banyak Rp 2,5 miliar.
PT PLN (Persero) mengaku terus melakukan penertiban pada maraknya pencurian listrik, baik pada pelanggan listrik rumah tangga hingga pabrik. Pada pencuriÂan listrik di pabrik umumnya dilakukan denÂgan mengutak-atik meteran sehingga listrik yang terpakai tak tercatat pada meteran.
Mambang mengaku, ada sejumlah alasan pihaknya sulit membongkar prakÂtik pencurian listrik, paling umum adalah akses yang sulit pada petugas PLN saat melakukan pemeriksaan. “Ada yang meÂmang aksesnya sulit, ada yang memang dipersulit masuk. Karena rata-rata sangat tertutup. Itu yang membuat pengawasan jadi sulit,†kata Mambang.
Ia menuturkan, dalam proses menÂgungkap pencurian listrik, pembuktian dari alat meteran saja selama ini tidak cukup. Hal tersebut semakin sulit jika manipuÂlasi meteran dilakukan oleh oknum yang memang ahli mengutak-atik meteran. “Kalau pun kita sudah masuk, rata-rata ngÂgak ada yang mau ngaku, artinya kita haÂrus melakukan pembuktian lebih jauh lagi. Pembuktian ini yang kadang mentok. ApaÂlagi meteran sudah dibenerin lagi,†terang Mambang.
Dia mengakui, salah satu kesulitan pemÂberantasan maling listrik juga terjadi karena keterlibatan oknum petugas PLN di lapanÂgan. “Itu memang ada oknum dari perusaÂhaan alih daya yang suka tawarin listrik muÂrah (ilegal). Itu juga biasanya bukan petugas dari daerah bersangkutan,†tutupnya.
Lewat Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik (P2TL), PT PLN (Persero) sebenarnya terus melakukan penertiban pada penÂcurian listrik. Pencurian listrik yang paling sering terjaring penertiban salah satunya adalah sambungan-sambungan liar di pingÂgir jalan.
Mambang menegaskan, masifnya aksi pencurian listrik di pinggir terjadi karena sanksi pada pemakai ‘jasa’ sambungan liar tergolong ringan. “Sebenarnya kita ada denda. Tapi mereka kan bukan pelanggan PLN karena hitungannya liar, kalau pelangÂgan rumah tangga tinggal kita padamkan saja, panggil dan selesaikan secara adminÂistrasi (bayar tagihan dan denda), kalau ini nggak resmi,†kata dia. “Rata-rata di pingÂgir jalan kan sudah disampaikan, bahwa ini ada dendanya, tapi rata-rata mereka kan nggak respek. Kalau pun dipanggil nggak datang,†ujar Mambang.
Di kota besar seperti Jakarta, BoÂgor, Tangerang, Bekasi dan Depok, samÂbungnya, seharusnya Pemerintah Daerah (Pemda) yang melakukan penertiban pada sambungan liar mengingat hal tersebut menyangkut aspek keamanan dan ketertÂiban. “Ini kan menyangkut kesemrawutan, juga keamanan. Bagaimana kalau kebaÂkaran dan sebagainya. Makanya kalau penÂertiban rutin kita harapkan bisa lakukan saÂma-sama dengan Pemda,†kata Mambang.
Mambang menuturkan, selain oleh masyarakat yang memiliki keahlian memÂbuat sambungan liar, sejumlah oknum dari petugas layanan teknis (Yantek) juga kerap menjual jasa sambungan ilegal tersebut. “Itu kan dari outsourcing yang suka nawaÂrin. kita juga sulit awasi di lapangan,†tuÂtupnya.
(Yuska Apitya Aji)