salakanagaraMASA surut Pajajaran hendak dibangkitkan kembali oleh penerusnya, Suryakan­cana. Yang menarik, upaya itu dilakukan di Pulasari, yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan Banten. Batu palangka atau watugilang yang terbuat dari andesit berukuran 200x160x20 cm telah diboyong ke Surosowan, dan kini dapat disaksi­kan di Banten Lama.

Bang Sem Haesy

SAYA menduga, Suryakancana yang semula mengikuti Nilaken­dra, mencoba menarik garis na­sab dengan Dewawarman I yang pertamakali mendirikan kerajaan di Sunda bercorak Hindu. Seperti yang pernah dilakukan Raja Galuh, Jayaningrat di Talaga.

Bisa jadi, hal tersebut merupa­kan bagian dari strategi Suryakan­cana untuk unjuk gigi, dan beru­saha menghidupkan kembali Pa jajaran dan bersiasat menaklukkan Banten. Dalam konteks Dewawar­man yang berbasis di Teluk Lada – Pandeglang, Suryakancana men­unjukkan intuitive reason untuk mendapatkan commitment point dalam melakukan revans. Apalagi, garis Salakanagara masih tertam­pak jelas di Pandeglang. Bahkan hingga kini, dalam konteks bahasa dan budaya, Pandeglang terkesan lebih Sunda katimbang Banten sendiri. Tapi niat itu tak kesa­mpaian, karena Suryakancana, mangkat pada tahun 1579.

Merujuk pada pandangan Wangsakerta dan Pleyte, saya bisa sangat memahami, bagaimana Suryakancana berusaha mengi­barkan kembali panji kejayaan Pajajaran. Terutama, karena Pa­jajaran sebagaimana halnya Sal­akanagara, menarik dua jalan ke­hidupan, yaitu: bhaktimarga dan jnanamarga. Jalan pengabdian kepada negara sampai tuntas seb­agai ekspresi kemuliaan manusia, dan jalan ilmu pengetahuan seb­agai cara menjalani bakti negara. Artinya, Suryakancana bertekad kembali ke asal, Tarumanagara, sebelum terpecah menjadi Galuh (di Timur) dan Sunda (di Barat).

BACA JUGA :  Menu Makan Malam dengan Nasi Goreng Jamur yang Lezat dan Bikin Nagih

Petanya adalah Na Mo Si Wa Ya. Yaitu, Iswara, Brahma, Mahadewa, Wisnu dan Siwa. Pergerakan ma­nusia tengah yang harus member­dayakan rakyat (manusia di bawah), sebagai puncak pengabdian kepada dewa (Bataraguru) di atas.

Suryakancana memandang, membangkitkan kembali Pajajaran dengan memadukan sifat Na Mo Si Wa Ya, dalam fungsi-fungsi ideator, kreator, inovator, inventor, kustodi­an, dan keeper merupakan pilihan. Tapi, secara kondisional, pemikiran itu tak relevan dengan realitas.

Suryakancana tak mempunyai cukup orang untuk menerjemah­kan pemikirannya dalam waktu yang singkat di ‘pengasingan.’ Dia tak lagi mampu mewujudkan pan­caaksara guru-guru ning janma, lima aksara sebagai guru manusia, sesuatu yang tak akan ikut sirna. Suryakancana tak lagi mempunyai pengikut yang berperan sebagai dyani, pemikir untuk mengem­bangkan gagasannya. Akhirnya, pandangan dia tentang buana panca tengah dan opat kalima pancer, menjadi dubieus: samar dan pudar. Konon pandangannya, justru abadi dalam jurus silat Ci­mande: Tepak Hiji sebagai mani­festasi dari opat kalima pancer.

BACA JUGA :  Kecelakaan Maut, KA Siliwangi Tabrak Motor di Sukabumi, Pasutri Tewas

Berbagai gagasan Suryakancana, seirama dengan prinsip-prinsip dasamarga (sepuluh jalan kemuliaan), dasa sila (sepuluh pokok ajaran kehidupan), dasain­driya (sepuluh cara mengelola diri), dan dasakerta (sepuluh jalan mencapai kesejahteraan).

Yang menarik bagi saya adalah, ketelitian Suryakancana dalam menyeleksi informasi, dan kemudian secara turun menurun menjadi rapalan paraji: ceuli ulah barang denge no ma nu sieup didenge, kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala na lu­nas papa prhara, hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama ti pangreungeu. (Telinga jangan sembarang mendengarkan hal yang tak layak didengar, karena itulah pintu bencana, penyebab kita mendapatkan celaka di dasar kenistaan huruhara, tetapi bila telinga digunakan untuk kebaikan, kita akan mendapat kemuliaan dari pendengaran).

============================================================
============================================================
============================================================