DALAM Hukum Waris Islam harta yang ditinggalkan seorang yang telah berpulang dibedakan menjadi dua, yakni harta peninggalan (tarkih) dan harta warisan (mauruts). Harta peninggalan adalah semua harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, belum diperhitungkan / dibersihkan dengan biaya perawatan jenazah (tajhiz), pelunasan hutang-hutang, dan pelaksanaan wasiat (yang besarnya tidak melebihi sepertiga). Terhadap harta peninggalan ini tidak boleh langsung dibagi kepada para ahli waris (Al-Waris). Harta peninggalan baru menjadi harta warisan setelah dikurangi oleh tiga komponen biaya di atas.
BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM
Agar diperoleh keadiÂlan sesuai ketentuan dan ketetapan HuÂkum Waris Islam, maka sebelum memÂbagi perlu diperhatikan langkah sebagai berikut : 1) Siapa yang terhalang (mahjub), 2) Siapa saja yang mendapat sisa (ashobah), 3) Kecermatan penghitungan bagian warisan sesuai ketentuan
Dalam Kompilasi Hukum IsÂlam di Indonesia (KHI), pembagian warisan kepada para ahli waris telah ditentukan menjadi 6 bilanÂgan pecahan, yakni : ½,1/3,1/4, 1/6, 1/8, dan 2/3, serta sisa (ashobah).
Tentang siapa yang terhalang untuk mendapatkan harta warisan dibedakan menjadi dua, yakni : 1) Karena sifat, seperti: budak, pemÂbunuh pewaris dan berbeda agaÂma. 2) Terhalang dengan orang. Artinya, ahli waris-ahli waris terÂtentu menjadi terkurangi bagiÂannya atau tidak jadi mendapatÂkan harta warisan dikarenakan keberadaan ahli waris lain yang lebih berhak. (vide Pasal 171 huruf a, b, dan c KHI).
Namun demikian, dalam PutuÂsan Mahkamah Agung No. 368.K/ AG/1995, yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan telah menjadi yurisprudensi mengenai harta warisan pewaris Islam bagi anak-anaknya yang beragama Islam dan bukan Islam menyatakan, bahÂwa ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris yang beragama IsÂlam tetap mendapatkan warisan.
Demikian pula, dalam PuÂtusan Mahkamah Agung RI No: 51K/AG/1999, tanggal 29 SeptemÂber 1999 yang pada intinya meÂnyatakan bahwa ahli waris yang beragama bukan Islam tetap bisa mendapat harta dari pewaris yang beragama Islam berdasarkan WaÂsiat Wajibah yang bagiannya sama dengan bagian anak perempuan sebagai ahli waris. Wasiat Wajibah adalah wasiat yang walaupun tiÂdak dibuat secara tertulis atau lisan namun tetap wajib diberikan kepada yang berhak atas warisan dari pewaris.
Wasiat Wajibah dalam pasal 209 KHI pada awalnya diperguÂnakan untuk menyelesaikan perÂmasalahan antara pewaris dengan anak angkatnya dan sebaliknya anak angkat selaku pewaris denÂgan orang tua angkatnya. Namun demikian dalam perkembanganÂnya oleh Mahkamah Agung diperÂgunakan pula sebagai dasar untuk memutuskan perkara kewarisan Islam dimana ahli warisnya bukan beragama Islam. (*)