Selasa (16/2/16) kemarin, saya memenuhi undangan seorang teman, menghadiri peluncuran buku seorang pengusaha Jepang, Yasuo Furukawa, pemilik Furukawa Shell.Co., Ltd. Buku itu ditulis oleh Lisman Suryanegara dan Zeni Zaelani, serta penulis pendamping sekaligus penyunting Bambang Trim.
Bang Sem Haesy
BUKU bertajuk “Hidup Tak Henti Memberi Arti,†itu meÂmang menarik, karena memÂbahas korelasi Nalar, Naluri, dan Rasa dalam konteks bisÂnis. Termasuk dalam hal menentukan sikap untuk berkompetensi, termasuk konsistensi dalam memeÂnangkan cita-cita, renjana (passion), dan berbagai strategi pencapaian bisÂnis. Yang menarik perÂhatian saya, buku ini mengungkap bagaimaÂna mengelola karyawan (termasuk memberi reÂward dan punishment) dengan kedalaman hati (kebajikan dan kebijakan).
Sekjend Partai Hanura – Berliana Kartakusuma., KomÂjen Pol (P) Nanan Soekarna, dan mantan deputi Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) Achmad Kurniadi, yang duduk di sebelah saya – termasuk saya sendiri – menyimak takzim apa yang disampaikan Yasuo. Ketika menyimak itulah, terbayang kembali nilai-nilai yang dikemukakan Prabu Siliwangi dan Prabu SurawisÂesa yang hendak dihidupkan kembali oleh Suryakancana. Mengelola masyarakat berbasis nalar, nurani, dan rasa.
Saya juga menyimak, ketika Berliana mengundang Yasuo untuk bicara di hadapan kader Partai Hanura untuk mentransfer pengalaman hidupnya. Terutama mereka yang beroleh kesempatan sebagai anggota DPRD Kabupaten / Kota / Provinsi dan DPR RI.
Ketika diberi kesempatan bicara, saya sampaikan, hampir semua yang disampaikan Yasuo, relevan dalam konteks ke kinian Indonesia. Dan semua itu, pernah diÂungkapkan dan dijalankan oleh Prabu Siliwangi dan PraÂbu Surawisesa.
Tentang kesiapan berkompetisi berbasis nurani, etika dan moralitas bisnis, misalnya. Nilai yang diwarÂiskan Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa jelas memÂberikan indikasi yang sangat kuat: Sinatria pilih tanding (Satria yang siap berkompetisi), andap asor pamakena (akhlak – etika sandangannya), tara jail – tara sirik pidik – tara hasad hasud najan kana musuh (tidak usil, tidak iri, dan tidak buruk hati, meskipun kepada lawan), paÂgeuh keupeul lega awur (efektif dan efisien), ulah inggis ka linduan ulah geudag kaanginan (tidak mudah limbung karena guncangan dan tidak pula menantang cobaan), nete taraje nincak hambalan (penuh perhitungan dalam bersikap), carincing pageuh kancing – saringset pageuh iket (waspada), dan banyak lagi.
Dalam hal menjalankan hidup bahagia, sehingga mampu menyintai pekerjaan dan keluarga, saya kemukaÂkan, berlaku prinsip kagunturan madu, kaurugan menÂyan putih. Hidup harus bahagia dengan prinsip enjoyable life dan happynomic, kebahagiaan bernilai ekonomi. DeÂmikian juga dalam memperlakukan punishment dan reÂward atas karyawan atau staf, yang menurut Yasuo harus dilakukan karena cinta dan kasih sayang. Nilai yang ditÂinggalkan Prabu Surawisesa jelas : teuas peureup lemes usap.
Tentang komitmen bisnis dalam menjaga keperÂcayaan mitra bisnis dan pelanggan sebagai passion koleÂktif, juga jelas tergambar dalam prinsip : sacangreud pageuh, sagolek pangkek. Berbasis komitmen, menepati janji, dan konsisten dalam menjalankan visi.
Seketika ball room hotel JW Marriot – Kuningan ramai oleh gelak, ketika saya sampaikan, jangan-jangan Yasuo lahir di Pakuan, tetapi lebih empat dasawarsa membanÂgun bisnisnya di Jepang, kemudian jatuh cinta lagi pada Indonesia. Mereka terdiam, ketika saya sampaikan: kita punya nilai yang juga dimiliki bangsa lain sebagai enerÂgi kemajuan. Sayang, seperti ungkap Kang Nanan, kita mengabaikan apa yang kita punya.