Oleh: Marvi Yeremia Sinaga
Mahasiswa semester 3 di Université de Genève, Swiss, pada Fakultas Sciences économiques.
Lalu kita pun melanjut bertanya, apa sebetulÂnya kaitan neoliberalÂisme dan ‘kurikulum’ belajar ekonomi masa kini, semisal di Eropa? Dan sudah sejauh mana sekolah-sekolah ekoÂnomi di Eropa telah dipengaruhi oleh globalisasi neoliberalisme tersebut?
Serba Serbi Praktik Ekonomi Neoliberal

Pertama-tama, neoliberalisme tidak tampak secara langsung tapi dapat dipotret melalui berbagai langkah yang ditempuhnya. Ini bisa dipahami karena ekonomi itu seperti fisika, maksudnya: unÂtuk mengenal lebih dalam suatu keadaan riil, haruslah kita mengÂkondisikan terlebih dahulu keÂadaan itu, membuatnya bekerja sempurna. Dengan kata lain perlu diciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga teori atau gagasan ekonomi itu bisa bekerja sepenuhÂnya dan tanpa anomali.
Umumnya pemerintah memiÂliki tiga cara untuk mendapatkan uang: pajak, penjualan obligasi alias surat hutang, dan menerima hasil dari pasar eksport import. Dengan menjual obligasi maka pemerintah mendapat kesempaÂtan meraih uang dari masyarakat dan dari sejumlah bank, sementara dengan eksport pemerintah akan memiliki mata uang dari negara lain, seperti Dolar atau Euro.
Penganut neoliberalisme tamÂpaknya memiliki perhatian dan berniat mengotak-atik hal pajak di atas. Pajak memang dianggap sumber masukan untuk pemerÂintahan karena dengannya uang milik masyarakat akan dipakai unÂtuk membangun jalanan, rumah sakit, sekolah, atau apa saja yang menjadi kepentingan umum. PaÂjak tentu dapat diambil dari banÂyak sumber, mulai dari penjualan makanan sampai saham.
Terutama mengenai hal teraÂkhir ini pemikir ekonomi ModigliÂani dan Miller beranggapan bahwa pajak atas pasar saham menjadi tidak sempurna akibat tak terdugÂanya harga dan keuntungan yang bisa didapatkan darinya. Pajak atas saham ini menjadi gangguan atas teori yang mereka kembangÂkan. Di pihak lain, dalam derajat tertentu teori mereka mendorong masyarakat atau perusahaan agar terus meminjam uang; di sini pasar dianggap sempurna sebab kegiatan meminjam uang itu tiÂdak mempengaruhi nilai aset yang mereka miliki, tetapi malah akan menumbuhkan ekonomi masyaraÂkat.
Menurut saya, meski memang pajak atas saham adalah kendala dalam kesempurnaan ekonomi pasar kaum neoliberal, tetap saja pajak itu sangat vital untuk keÂhidupan suatu komunitas atau suatu negara. Tampaknya solusi yang mungkin ialah membuat pajak yang memadai demi memÂbiayai program pemerintahan, tetapi “cukup rendah†agar peruÂsahaan masih mampu menangÂgungnya. Tapi yang mau mereka tegaskan ialah agar pajak atas saÂham tidak menjadi sumber utama pemasukan negara.
Kita tahu juga bahwa neolibÂeralisme mengecam intervensi pemerintah dalam perekonomian negara. Artinya, semakin kecil pengaruh pemerintah dalam perÂekonomian negara, semakin baiÂklah perekonomian negara itu. Dalam mata pelajaran makro ekoÂnomi, terutama yang berkaitan dengan ekonomi terbuka, posisi pemerintah sangatlah rentan. KeÂtika pemerintah memiliki defisit di anggarannya, pemerintah harus menutupi kekurangan ini dengan mengambil sebagian dari dana segarnya yang dapat dialokasikan (loanable fund); tetapi hal itu bisa menyebabkan crowding out (akiÂbat pemerintah meminjam banÂyak dan memiliki banyak uang, maka suku bunga pinjaman akan meningkat yang berakibat pada lesunya aktivitas ekonomi).
Hebatnya lagi, crowding out ini bisa menyebabkan naiknya harga barang domestik.
Masalah seputar crowding out itu lebih dilihat sebagai alat pihak neoliberal untuk menekan pemerÂintah agar tidak terlalu agresif dalam aktivitas ekonominya. Jadi perusahaan swasta bisa bergerak sebebasnya di sini. Taruhannya cukup masuk akal: kalau inÂtervensi agresif negara ke pasar tersebut gagal, maka risiko pelarÂian modal swasta akan semakin meninggi dan ekonomi bisa menÂgalami kelesuan berkepanjangan. Jadi, lebih baik perusahaan swasta yang menjadi pemain utama di pasar tersebut.
Soal soal di atas inilah yang tengah menjadi pemikiran dan praktik ekonomi neoliberal akhir akhir ini, yang kurang lebih telah pula menjadi pokok studi para mahasiswa Eropa masa kini. Dengan kata lain belajar ekonomi menjadi kegiatan mempersoalkan praktik ekonomi yang senyatanya terjadi di ruang global.
Meskipun sudah banyak pihak yang mendorong untuk berpikir bahwa neoliberalisme itu terbukti bekerja baik, janganlah diabaikan penerapan prinsip sosio-demokraÂsi di Eropa. Di Jenewa misalkan, hampir semua sekolah, rumah sakit dan transportasi umum diÂmiliki oleh pemerintah.
Memang betul asuransi kesÂehatan wajib dimiliki setiap orang menurut undang-undang Swiss, tapi jelaslah menggratiskan biaya pembelajaran dan biaya kesehatÂan seperti sebentuk sikap yang mau menolak pemikiran neoÂliberalisme. Kita juga mengenal bahwa berbagai negara di Eropa sudah menegaskan batas gaji dan bonus (wage cap), yang membuat meritokrasi (di mana gaji akan didasarkan pada kecakapan atau jasa baik) tidak berlaku. Selain itu, dengan tersingkapnya rahasia bank yang selama ini begitu dijaga di Swiss, tidak akan terjadi lagi keÂadaan dimana bank-bank menjadi too big to fall.
Belajar Ekonomi
Pengaruh praktik dan pemikiÂran neoliberalisme di atas bisa dilÂihat dari rumus-rumus ekonomi yang kini diajarkan di universitas di banyak negeri di Eropa;, tamÂpaknya hal ini juga terjadi di InÂdonesia. Di atas telah disinggung rumus Modigliani-Miller yang bermula dari para Gurubesar ekoÂnomi di Universitas Chicago.
Kita semua tahu bahwa UniÂversitas Chicago inilah yang menÂdukung neoliberalisme. Dan berÂdasarkan pengalaman studi saya di Eropa, kini ekonomi sudah semakin menjadi seperti matemaÂtika; artinya ekonomi yang kita kira adalah interaksi antara penÂjual dan pembeli dengan berbagai dinamikanya itu telah menjadi ruÂmus matematika yang mengarah pada kepastian. Ekonomi semakin menjauh dari aspek sosialnya, dan telah mendekat menjadi sains. Ini tentu bertentangan dengan apa yang Keynes pikirkan. Meski Keynes memiliki diploma matemaÂtika, dia malah terjun ke dunia filosofi untuk memperdalam peÂmikirannya mengenai ekonomi.
Namun demikian, meskipun neoliberalisme sudah dipraktikÂkan cukup merata secara mondiÂal, fakta bahwa peran pemerintah masih penting tidak bisa ditolak. Sering dikutip, terutama di peÂlajaran makro ekonomi, bahwa setiap kali ada kejanggalan dalam perekonomian suatu negara, kita selalu meminta bantuan pemerinÂtah mengintervensi. Jadi tetap ada semacam ketegangan dalam studi ekonomi tentang ruang lingkup yang tepat bagi pemerintah dan swasta dalam ekonomi di sebuah negara.
Secara teoritik di kampus-kampus memang masih dipelajari terus “konflik†antara pendekatan Keynes dan Friedman. TampakÂnya belajar ekonomi di Eropa itu seperti mau menjembatani kedÂua pilar ekonomi itu. Walaupun Keynes mampu membangkitkan perekonomian pasca “Great DeÂpressionâ€, harus diakui bahwa kita condong ke ekonomi neoliberalÂisme karena teori Keynes gagal di tahun 70an. Dan dengan corak globalisasi yang semakin bersifat komersial semenjak datangnya perusahaan besar seperti “Apple, Microsoft, dan lainnya, maka seÂmakin deraslah arus neoliberalÂisme tersebut.
Soalnya ialah apakah memang tak terhentikan lagi poses neolibÂeralisme ini? Belajar ekonomi di Eropa menjadi asyik karena soal-soal di atas dan pertanyaan ini. Tentu ihwal sedemikian juga berÂlangsung di Indonesia, barangkali pergulatan ekonomi kerakyatan vs ekonomi pasar bebas memiliki kemiripan dengan debat yang berÂlangsung di universitas universitas di Eropa.
Sumber: satuharapan.com