Berpijak pada ketentuan hukum positip yang diatur dalam KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) istilah zina merupakan terjemahan langsung dari bahasa aslinya (Belanda) overspel. Secara sederhana zina dimaknai sebagai hubungan seperti layaknya suami istri antara pria dan wanita dimana salah satu atau keduanya masih terikat tali perkawinan yang sah dengan orang lain. Istilah lain untuk zina adalah mukah atau gendhak.
BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM
Menurut Pasal 284 KUHP, zina hanÂya dimungkinkan dilakukan oleh : a. Laki-laki yang telah beristri, sedangkan diketaÂhuinya bahwa Pasal 27 Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang- Undang Hukum Perdata berlaku baginya b. perempuan yang telah bersuami. Berdasarkan ketentuan di atas, maka seorang pria dapat didakwa melakukan zina apabila telah memenuhi unsur : a. pria tersebut telah menikah; b. pria tersebut telah mengetahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya. Seorang wanita dikatakan berzina bila ia telah bersuami dan berÂhubungan sebagaimana layakanya suami istri dengan pria yang buÂkan suaminya. Ancaman pidana bagi pelakunya adalah 9 bulan.
Pasal 27 BW yang dijadikan salah satu pijakan dari tindak pidana perzinaan itu merumuskan : “Pada saat yang sama, seorang pria hanya dapat terikat oleh suatu perkawinan dengan seorang wanita, dan seorang wanita hanya dapat terikat oleh suatu perkawiÂnan dengan seorang priaâ€. NaÂmun demikian bila pria itu telah menikah tetapi tidak tunduk pada Pasal 27 BW, ia dapat dijerat denÂgan ketentuan Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a KUHP, yakni jika pria tersebut memang mengetaÂhui bahwa wanita yang berzina dengan dirinya itu telah terikat perkawinan dengan pria lain.
Bila mencermati pemahaman di atas, ternyata KUHP terlalu sempit dalam memberikan pemakÂnaan tentang zina. Pembentuk UU (KUHP) memandang zina hanya terÂbatas sebagai penistaan terhadap ikatan suci perkawinan. Sehingga bila perbuatan itu dilakukan pria dan wanita yang keduanya belum terikat tali perkawinan atau sama-sama masih lajang bukanlah zina, karena belum ada ikatan suci tadi. Perbuatan yang dilakukan oleh paÂsangan sejenis (gay, lesbian, homoÂsex) sekalipun salah satu atau kedÂuanya terikat tali perkawinan juga bukan zina, karena zina mensyaratÂkan hubungan antara pria dan wanita. Zina juga baru dapat ditinÂdak secara pidana bila ada pengadÂuan dari suami atau istri pelaku.
Tentunya rumusan di atas lain dengan norma susila dan agama yang dianut oleh warga masyarakat. Karena itu, dalam memahami zina sebaiknya jangan hanya dari sudut pandang hukum positip, namun juga ketentuan adat, norma susila dan agama yang tumbuh dan dianut oleh maÂsyarakat kita. Karena ternyata norÂma-norma tersebut memberikan pemahaman yang lebih luas tenÂtang zina dan memberikan sanksi yang tegas kepada pelakunya. (*)