alfian mujani 240ADA tradisi yang hidup di masyarakat kita, yakni mengambil anak orang lain untuk di­asuh sebagai “pancin­gan” agar cepat diberi­kan keturunan. Banyak yang berhasil, walau ada yang gagal. Yang harus dicatat, adalah tidak punya keturunan itu bukanlah aib.

Ada satu cerita, enam tahun silam sepasang suami-istri mengambil anak dari panti asuhan. Anak itu berumur enam tahun. Dua tahun kemudian, pasangan itu dikarunia anak kembar laki-la­ki. Tahun berikutnya, dikembalikanlah anak asuh ini ke panti asuhan, karena di rumahn­ya sudah cukup ramai dengan dua anak kandungnya itu. Sang anak yatim piatu itu mengalami kehilangan yang kedua kalinya. Dia stress berat dan merasa dipermainkan kehidupan. Ingin sekali anak ini mati untuk menyusul kedua orang tua aslinya.

Pembaca, mungkin saja secara hukum kita dibenarkan mengembalikan anak itu ke panti asuhan. Namun dari sisi rasa dan etika sepertinya tidaklah pantas dilakukan. Hidup bukan hanya masalah hukum, melainkan juga masalah rasa dan etika.

============================================================
============================================================
============================================================