artidjo-alkostarSIKAP keragu-raguan pemerintah untuk mengeksekusi mati gembong narkoba dijawab tegas oleh Mahkamah Agung (MA). Sebagai penanggung jawab fungsi transendental bangsa, MA menyerukan bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM.

YUSKA APITYA AJI ISWANTO
[email protected]

Mengeksekusi mati pelaku tindak pidana sama seka­li tidak melanggar UUD 1945, kon­stitusi maupun HAM sepanjang didasarkan pada putusan pen­gadilan yang mempunyai kekua­tan hukum mengikat,” demikian pertimbangan MA dalam putusan peninjauan kembali (PK) warga Prancis Serge Atlaoui yang dilans­ir website MA, Kamis (25/2/2016).

Pertimbangan itu dibuat oleh Ketua Majelis Hakim Agung Dr Artidjo Alkostar dengan Anggota Hakim Agung Prof Dr Surya Jaya dan Hakim Agung Dr Suhadi. Menurut ketiganya, yang melang­gar HAM adalah apabila yang menghukum mati orang yang ti­dak bersalah, baik dilakukan oleh negara atau perorangan.

“Sebaliknya, setiap orang yang telah dinyatakan bersalah ber­dasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap hak hidupnya dapat dikurangi atau hak hidupnya diakhiri karena ter­bukti melakukan tindak pidana serius yang diancam pidana mati,” cetus majelis hakim dengan suara bulat.

Seperti diketahui, Serge mengajukan PK bersama WN Belanda Nicolas Gar­nick Josephus Garardus. Mereka berdua dengan 7 orang lainnya dihukum mati karena membangun pabrik narkoba ter­besar ketiga di Asia di Tangerang pada 2005. Lokasi pabrik ini sempat ditinjau langsung oleh Presiden SBY dengan bukti ribuan ton bahan baku dan 128 kg sabu siap pakai.

Benny yang juga Ketua ‘Tangerang Nine’ tidak kapok meski dihukum mati. Ia di LP Pasir Putih, Nusakambangan, tetap leluasa mengendalikan pembangu­nan pabrik narkoba di Pamulang, Cianjur dan Tamansari. Ia memanfaatkan dua anaknya yang masih bebas. Benny lalu di­adili lagi oleh pengadilan dan karena su­dah dihukum mati maka ia divonis nihil.

Serge sempat akan dieksekusi mati pada 2015 tetapi tiba-tiba Jaksa Agung Prasetyo menundanya. Setelah proses ek­sekusi mati April 2015, Prasetyo tidak lagi melakukan eksekusi mati. Padahal pulu­han gembong narkoba masuk dalam daftar terpidana mati, di antaranya malah men­gendalikan narkoba dari dalam penjara.

Saat ditemui usai rapat dengan Pres­iden Jokowi (25/2/2016), Prasetyo ber­dalih saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengeksekusi mereka. “Kita lihat nanti. Sekarang kan masih banyak hal lain yang diprioritaskan, misalnya ekono­mi,” kata Prasetyo.

BACA JUGA :  Polisi Amankan 29 Remaja di Semarang Bawa Cerulit, Diduga akan Tawuran

Prasetyo mengatakan, pelaksanaan hukuman mati perlu melihat situasi ne­gara yang kondusif, hal itu karena perlu mempertimbangkan banyak hal. Seba­gaimana diketahui eksekusi mati jilid I dan II menuai pro-kontra dan protes dari negara sahabat lantaran warganya tu­rut dieksekusi. “Nanti kita lihat apakah sudah saatnya kita nilai kondusif untuk melaksanakan eksekusi mati. Ya kita lihat waktunya,” ujar Prasetyo. “Presiden juga sampaikan bahwa kita harus menunjuk­kan kesan tetap keras dan tegas, kompre­hensif, masif dan terpadu. Tapi tentunya penanganan terhadap narkoba ini men­jadi keterpaduan lintas sektoral,” imbuh kader NasDem itu.

Prasetyo menambahkan, daftar ter­dakwa yang akan dieksekusi mati san­gat banyak. Namun Kejaksaan Agung memprioritaskan terpidana mati untuk kasus narkoba lebih dulu. Sehingga jika direalisasikan, ini menjadi eksekusi mati gelombang III. “Saya lupa angka persis­nya (terpidana yang sudah inkrah), ka­rena untuk pidana mati kita tentu harus perhatikan apakah semua hak hukumnya terpenuhi atau belum. Ada satu saja hak hukumnya belum terpenuhi dan masih perlu disikapi oleh yang bersangkutan, kita tunggu dulu. Terutama masalah PK (Peninjauan Kembali),” papar Prasetyo.

Lalu apakah mungkin dalam waktu dekat ini dilakukan eksekusi mati? “Bisa dekat, bisa enggak,” jawab Prasetyo santai.

Harga Mati Perangi Narkotika

Presiden Joko Widodo (Jokowi) me­merintahkan bawahannya untuk melaku­kan pertempuran melawan narkoba. Di sisi lain, Indonesia mengantongi puluhan hukuman mati gembong narkoba narko­ba yang belum diekskusi mati.

Sesuai UU, eksekusi ini adalah tang­gung jawab Jaksa Agung HM Prasetyo. Tapi Prasetyo berdalih saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengeksekusi mereka. Padahal, Jokowi telah menya­takan perang besar terhadap narkoba. Perang ini akan dilakukan tidak hanya dalam hitungan bulan, tepai dalam jang­ka waktu yang lama.

“Presiden telah memerintahkan BNN, Polri, TNI, BIN serta kementerian lembaga untuk memulai pertempuran atau peperangan terhadap narkoba. Per­tempuran ini harus besar dan tegas untuk memberikan efek jera bagi pelaku yang menyebabkan dampak yang cukup luas bagi generasi kita di masa datang,” kata Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, Kamis (26/2/2016).

Presiden Jokowi menyatakan, negara akan berperang memberantas narkoba. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti akan memerintahkan jajarannya melakukan operasi di semua pintu masuk narkoba.

BACA JUGA :  Sah jadi WNI, Maarten Paes Target Main di Piala Dunia 2026

Badrodin mengatakan, ada tiga hal yang harus dilakukan untuk memberan­tas peredaran narkoba. Pertama, harus di­lakukan pencegahan. “Pencegahan harus tetap dilakukan. Seluruh kementerian dan lembaga secara internal juga penga­wasan. Pencegahan dan mengurangi de­mand,” kata Badrodin, kemarin.

Langkah kedua yakni melakukan penegakan hukum yang tegas. Ancaman maksimal harus diterapkan. Bahkan, lan­jut Badrodin, selain hukuman maksimal (eksekusi mati), para bandar dan penge­dar narkoba bisa dimiskinkan.

“Artinya, dari sisi penerapan hu­kuman, ancaman hukuman bisa dihu­kum seberat-beratnya dan pengedar bisa dimiskinkan dengan menggunakan (undang-undang) TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang),” tegas Badrodin. “Operasi ini harus memberi dampak yang signifikan dalam upaya pencegahan dan edukasi masyarakat. Termasuk efek jera pada masyarakat. Operasi ini dikemas dalam satuan tugas gabungan, ada BNN, POLRI, TNI, Bea dan Cukai, dan unsur-unsur yang terkait ini semua,” tambah Badrodin.

Terakhir, lanjut Badrodin, pintu mas­uk barang haram ini harus ditutup rapat. Selain itu, penjagaan dan pengawasan per­edaran narkoba di lembaga pemasyaraka­tan dan tempat hiburan, harus dilakukan secara ketat. “Bagaimana menutup ruang-ruang tempat beredar narkoba baik yang resmi dan non resmi. Ke wilayah kita. Banyak yang masih kendalikan dalam lapas termasuk tempat-tempat hiburan. Semua pintu masuk (narkoba) kita laku­kan operasi,” ujar Badrodin. “Tidak kalah penting rehabilitasi untuk kurangi de­mand. Ini tanggung jawab BNN, Kemen­sos dan Kemenkes,” tambahnya.

Sebelumnya, TNI melakukan peng­gerebekan di Perumahan Kostrad terkait kasus narkoba. Kepala BNN Komjen Budi Waseso pun meminta agar publik tidak menjustifikasi kasus ini berdasar­kan insitusi. Hal tersebut lantaran dari pengembangan kasus tersebut, sejumlah oknum dari berbagai instansi turut terli­bat. Yakni dari TNI, Polri, dan bahkan dari pelaku sipil, terdapat salah satunya adalah anggota DPR RI.

Meski begitu, pria yang akrab disapa Buwas ini menilai tindakan oknum-ok­num itu merupakan pelanggaran profesi. Sebab untuk pengedaran, transaksi, mau­pun penggunaan narkoba merupakan sebuah pelanggaran aturan. “Di sisi lain itu jika kita lihat profesi sebagai anggota DPR saya pikir itu pengkhianatan profesi. Misal saya ini aparat penegak hukum di bidang narkotika, tiba-tiba melanggar peraturan, itu artinya pengkhianatan profesi. Itu pelanggaran berat maka hu­kumannya harus berat,” beber Buwas. (*)

============================================================
============================================================
============================================================