BELUM lama ini Presiden Republik Ceko Milos Zeman melontarkan pernyataan yang kontroversial. Ia menyatakan bahwa integrasi muslim dengan masyarakat Eropa secara praktik mustahil diwujudkan. Ia juga mendesak anak-anak muda dari wilayah konflik untuk tidak datang ke Eropa serta fokus memerangi ISIS saja.
Oleh: Ali Mutasowifin
Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
Pernyataan presiden yang dikenal anti-imiÂÂgran ini memperoleh perhatian, terutama karena tahun lalu ErÂÂopa kebanjiran lebih dari sejuta imigran. Sayangnya, kebanyakan dari mereka, yang menurut PBB adalah pengungsi dari berbagai wilayah konflik, dipandang tidak mampu berintegrasi dengan penÂÂduduk di negara-negara tujuan.
Persepsi negatif tentang problema integrasi para imigran diperparah oleh insiden yang terjadi di beberapa negara Eropa yang diduga melibatkan imigran. Sebagaimana disampaikan Milos Zeman, perbedaan agama dan budaya antara pengungsi yang sebagian besar muslim dengan penduduk Eropa diduga menjadi kendala terbesar berlangsungnya integrasi yang diharapkan.
Akan tetapi, seperti bunyi seÂÂbuah idiom kondang, it takes two to tango. Apabila integrasi imiÂÂgran dari beragam kawasan konÂÂflik dengan penduduk di Eropa tidak berlangsung mulus, tidak seluruh kesalahan harus ditimpaÂÂkan kepada imigran.
Persepsi Keliru Jumlah Muslim
Salah satu penghalang mulusÂÂnya penerimaan imigran muslim oleh penduduk Eropa adalah perÂÂsepsi keliru yang dimiliki kebanÂÂyakan warga Eropa tentang baÂÂhaya dominasi muslim di negeri mereka. Banyak di antara mereka memendam rasa takut dan khaÂÂwatir bahwa penduduk muslim di negeri mereka akan menjadi sangat besar, mendominasi, serta mengubah tatanan yang selama ini berlaku.
Persepsi keliru tentang jumÂÂlah muslim ini sesuai analisis Ipsos Mori (2014), bahwa warga Eropa memiliki pandangan jumÂÂlah penduduk muslim di negeri mereka jauh lebih banyak dariÂÂpada jumlah yang sebenarnya, ternyata merupakan fenomena umum yang tersebar merata.
Penduduk Prancis, misalnya, berpikir 31 persen warga PranÂÂcis merupakan pemeluk Islam. Angka ini jauh melebihi jumlah sesungguhnya yang berkisar 4.710.000 jiwa atau hanya sekitar 7,5 persen dari seluruh penduduk Prancis.
Kondisi serupa terjadi di Jerman, di mana populasi musÂÂlim menurut persepsi publik mencapai 19 persen, sementara persentase sesungguhnya hanya 5,8 persen. Sementara di IngÂÂgris Raya, jumlah muslim hanya 4,8 persen, namun banyak penÂÂduduk mengira jumlahnya telah mencapai 21 persen.
Persepsi salah tentang jumlah penduduk muslim ini ternyata ditemukan merata di hampir seÂÂluruh daratan Eropa, yang diyaÂÂkini menyumbang kepada meninÂÂgkatnya ketakutan akan dominasi muslim atas budaya serta tatanan yang selama ini berlaku di negeri mereka.
Apalagi, beberapa kejadian terorisme, baik yang terjadi di daratan Eropa maupun di belaÂÂhan bumi lain yang sering diasoÂÂsiasikan dengan muslim, turut membentuk persepsi negatif publik terhadap pemeluk Islam. Beragam paranoia ini tentu tuÂÂrut mempengaruhi pandangan mereka tentang imigran yang berbondong-bondong datang ke negara mereka.
Kedatangan banyak imigran tahun silam dan dalam waktu yang bersamaan memang menÂÂgagetkan, sehingga tampaknya banyak pemerintah negara-negÂÂara tujuan yang tidak cukup siap menampungnya. Akibatnya, timÂÂbul beberapa ekses negatif yang memberi dan menguatkan kesan ketidakmampuan imigran dalam mengintegrasikan dirinya ke dalam masyarakat Eropa.
Menanggapi beberapa perkembangan yang belakangan terjadi, beberapa negara mulai membuat langkah-langkah peÂÂnyesuaian. Jerman, misalnya, memperketat UU Suaka, yang memunculkan kekhawatiran di kalangan imigran tentang keÂÂmungkinan deportasi. Padahal, selama ini Jerman adalah salah satu negara yang paling terbuka dan menerima banyak imigran.
Beberapa pemerintah negara lain pun mendapatkan desakan kuat dari warga negaranya unÂÂtuk memperketat penerimaan imigran, sebagian malah telah menyatakan akan memulangkan ribuan imigran kembali ke negara asalnya.
Memperkuat Integrasi
Beragam perkembangan keÂÂbijakan tersebut dikhawatirkan membawa dampak negatif, tidak saja bagi para imigran dan calon imigran, namun juga bagi proses integrasi yang tengah berlangÂÂsung. Pengetatan aturan peneriÂÂmaan imigran, misalnya, akan semakin mengukuhkan persepsi masyarakat tentang lebarnya juÂÂrang perbedaan antara imigran dan penduduk Eropa sehingga tidak memungkinkan terjalinnya integrasi antara para pendatang dengan tuan rumah.
Apalagi, menurut proyeksi Laporan Changing Religion, Changing Economies (2015), pada 2050 peta penganut agama di duÂÂnia akan berubah drastis dibandÂÂingkan kondisi saat ini. Saat ini, dari delapan negara anggota G8, tujuh negara di antaranya berÂÂpenduduk mayoritas Kristen. Namun, pada 2050, hanya satu negara dengan ekonomi maju yang mayoritas penduduknya memeluk Kristen, yakni Amerika Serikat.
Pada saat itu, daftar negara dengan perekonomian maju juga akan mencakup negara dengan mayoritas penduduk beragama Hindu (India) dan Islam (IndoÂÂnesia), serta dua negara dengan tingkat keberagaman agama yang tinggi (Tiongkok dan Jepang). PerÂÂtambahan penganut Islam juga diperkirakan paling cepat dibandÂÂingkan penganut agama lain, seÂÂhingga jumlahnya diproyeksikan menjadi hampir dua kali lipat anÂÂtara 2010 hingga 2050.
Dengan proyeksi seperti itu, negara-negara Eropa perlu menerapkan kebijakan yang tepat. Alih-alih mencurigai imiÂÂgran dan menyusun aturan baru yang memperketat masuknya imigran, negara-negara Eropa perlu menginisiasi program unÂÂtuk mengurangi persepsi negatif yang sering dimiliki masyarakat tentang muslim, serta membantu imigran agar lebih mudah menÂÂjalani proses integrasi.
Di sisi lain, para pengungsi yang bermigrasi ke Eropa pun dapat mempercepat proses inteÂÂgrasi dengan melakukan adaptasi dengan budaya setempat, tanpa harus mengorbankan keyakinan atau melakukan hal-hal yang diÂÂyakini merupakan larangan.
Pengungsi juga dapat menunÂÂjukkan bahwa mereka bukan beÂÂban dan mampu berkontribusi bagi kemajuan Eropa. Pengungsi di Jerman, misalnya, terbukti meningkatkan jumlah wirausaha di saat warga Jerman asli enggan mengambil risiko dan lebih terÂÂtarik bekerja pada perusahaan-perusahaan besar. KfW, bank pembangunan milik pemerintah Jerman, melaporkan bahwa 1 dari 5 usaha baru pada beberapa tahun terakhir didirikan oleh imigran.
Dengan demikian, diharapÂÂkan perbenturan budaya antara imigran dengan penduduk Eropa dapat dihindari dan integrasi anÂÂtara keduanya pun dapat lebih mudah terbangun. (*)