BELUM genap berselang dua bulan, dua pesawat militer jatuh. Itu belum ketemu musuh..
Oleh: Wisnu Tanggap Prabowo
Pengasuh kolom Boarding Gate di situs berita penerbangan
Premis seperti ini menggelitik, inspiratif dan terkesan empiris. Memang pesawat miÂliter dirancang untuk misi strategis seperti intai, penceÂgatan, dogfight, pendukung paÂsukan darat dan pengeboman. Sehingga, stigma “layak†jatuh terhormat saat misi kombat tidak sepenuhnya salah, meski belum bulat sempurna.
Sejak 20 Desember 2015, dua kecelakaan pesawat milik TNI AU menambah catatan tragedi dirgantara Tanah Air. Acap kali terjadi peristiwa kecelakaan peÂsawat, terlebih yang merenggut korban jiwa, keprihatinan kita sering terintepretasi melalui perÂtanyaan menggebu seputar apa pemicunya, siapa yang bertangÂgung jawab. Apakah pesawat suÂdah uzur? Apakah inkompetensi pilot? Apakah manufaktur yang abal-abal? Atau ditembak musuh?
Musuh Dari Dalam
Meski misi kombat dapat menjadi malapetaka bagi sebuah pesawat militer, ancaman yang lebih sering dihadapi operasional penerbangan ternyata muncul dari spektrum yang lebih komÂpleks; mencakup faktor mekanis, alam, dan manusia.
Lamanya waktu yang dibuÂtuhkan pihak berwenang dalam merilis laporan penyelidikan kerap membuat kita lupa betapa mustahilnya menarik kesimpuÂlan instan. Momentum bad news is good news memang memicu gairah berekspresi. Letak permaÂsalahannya adalah jika spekulasi prematur bermuara pada konkluÂsi ad hominem aspek tunggal. Fenomena ini kerap bertaburan di ruang publik (hanya) dalam hiÂtungan hari pasca-tragedi.
Kepedulian publik dan meÂdia di saat kemalangan menimpa negeri tentunya harus diapresiasi. Akan tetapi jika kesimpulan komÂpulsif berujung pada pendangkaÂlan pelik dan panjangnya proses penyelidikan kecelakaan udara, maka kontra produktif dengan proses panjang penyelidikan.
Setelah jatuhnya pesawat jet kategori advanced trainer KAI T- 50i Golden Eagle pada bulan DeÂsember 2015 silam, langit IndoneÂsia kembali dirundung mendung saat tragedi serupa menimpa pesawat Embraer EMB-314 Super Tucano pada 10 Februari 2016 kemarin . Belum genap dua purÂnama, empat enam putra-putri Pertiwi gugur.
Ranah Mumet Aviasi
Berbeda dengan eksperimen terbang Ibnu Firnas Al Andalusia (810-887 M) yang hanya menganÂdalkan sayap rakitan, angin, dan keberanian – memasuki Perang Dunia II, aviasi berada dalam raÂnah precision engineering yang kompleks. Aktifitas penerbangan, sipil maupun militer, melibatkan keterkaitan level operasional yang beragam dan keterpautan antara satu sistem dan lainnya. Sehingga, sebuah kecelakaan pesawat merupakan kombinasi peristiwa yang tidak selalu dapat diprediksi (Reason J. Safety in the operating theatre – Human error and organizational failure, 2005).
Meski terdapat faktor penyeÂbab utama, namun contributing factor tidak pernah tunggal (erÂror chain). Penyebab umum keÂcelakaan pesawat terbang dapat dipicu dari cacatnya asumsi dalam perawatan, human error, masalah pada struktur dan meÂsin, alam (cuaca, abu vulkanik, unggas), kendala manajemen lalu-lintas udara, dan kombinasi seluruh variabel di atas (ImprovÂing the Continued Airwirthiness of Civil Aircraft- hal. 24).
Untuk menarik kesimpulan, tim penyelidik sekelas badan otoÂritas keselamatan transportasi AS (NTSB) pun membutuhkan bulanan bahkan tahunan untuk menyimpulkan sejumlah pemicu suatu kecelakaan. Ketika laporan dirilis, pihak otoritas tidak perÂnah mengklaim telah mendapatÂkan kebenaran absolut. TermiÂnologi yang digunakan dalam laporan tersebut adalah probable cause, atau kemungkinan pemicu kecelakaan, bukan “Eureka!â€
Sebab, tidak jarang setelah beÂberapa waktu berselang, muncul sudut pandang baru yang memÂperkaya analisa sebuah kasus. BahÂkan, terdapat kasus yang setelah puluhan tahun masih diselimuti misteri, tak terkecuali MH370. NTSB sendiri telah menangani lebÂih dari 100.000 kasus kecelakaan atau insiden (tanpa jatuhnya korÂban) pesawat terbang.
Ketika mencermati komplekÂsnya kasus kecelakaan pesawat, kita mendapati rentetan meleÂlahkan seputar proses evakuasi, analisa flight data recorder dan voice data recorder (kotak hiÂtam), analisa puing pesawat, data perawatan dan perbaikan, proÂfil penerbang dan penumpang, proses perakitan manufaktur, hingga analisa cuaca pada hari kejadian. Proses tersebut melibatÂkan para ahli untuk melihat dari berbagai spektrum. Tidak jarang manufaktur pesawat bersangkuÂtan terlibat dalam penyelidikan, sebagaimana keterlibatan FAA dan Boeing dalam kasus Adam Air yang jatuh di Selat Makassar sembilan tahun lalu.
Lebih jauh lagi, demi keakuÂratan sebuah penyelidikan dan presisi sebuah kesimpulan, tim penyelidik kerap menggunakan flight simulator sebagai media reka ulang dalam menterjemahÂkan kondisi dan situasi sedekat mungkin dengan kronologis suatu penerbangan nahas.
Pesawat Sepuh
Mengenai usia pesawat yang kerap menjadi kambing hitam, sadar atau tidak kita mengasoÂsiasikannya dengan kendaraan roda empat. Ketahanan struktur dan masa guna komponen peÂsawat memiliki perbedaan sigÂnifikan dengan mobil. Melewati 10 tahun, sebuah mobil terbilang uzur. Sedangkan dalam ranah aviasi, melampaui seperembat abad pun sebuah pesawat secara umum masih layak beroperasi.
Ukuran layak atau tidaknya sebuah pesawat terbang tidak hanya berdasarkan rentang wakÂtu sejak pesawat keluar dari proÂduction line hingga pergerakan terakhir, melainkan dari siklus pengecekan, perawatan, sertifiÂkasi dan peremajaan.
Tidak hanya itu, selain jadÂwal perawatan dan pemeriksaan berkala yang ketat, pilot dituntut melakukan external check (walk around) untuk memeriksa apakÂah ada kebocoran bahan bakar, oli, cairan hidrolik, keretakan atau kerusakan airframe akibat benda asing (foreign object deÂbris). Hal ini wajib dilakukan seÂtiap hari operasional.
Embraer EMB 314 Super TuÂcano milik TNI AU tergolong belia. Pun halnya dengan KAI T-50 GoldÂen Eagle yang jatuh pada bulan Desember silam. Usia kedua peÂsawat tidak melampaui 10 tahun.
Cuaca Dan Manufaktur Abal
Cuaca saat jatuhnya Super TuÂcano pada hari Rabu, 10 Februari 2016 silam juga dilaporkan baik secara umum, begitu pun cuaca di langit Yogyakarta saat T-50 Golden Eagle buatan Korea mengÂhujam bumi Desember silam.
Penerbang Mayor (Pnb) Ivy Safatillah telah mengantungi sekiÂtar tiga ribu jam terbang, tujuh ratus jam di antaranya berada di kokpit Super Tucano. Pecinta musik melayu ini terbang langÂsung ke Embraer Defence SysÂtem, Brasil, untuk mengenyam program pelatihan pengoperasiÂkan Super Tucano. Berdasarkan kualifikasi dan jam terbangnya, Mayor Ivy memiliki airmanship yang mumpuni, termasuk menÂgenal pesawatnya luar dalam langsung dari sumbernya. SebeÂlum adanya bukti kuat, dugaan faktor manusia sebagai contributÂing factor masih sangat prematur.
Embraer bukanlah pemain baru di kancah manufaktur peÂsawat. Produk-produknya meÂmiliki daya dobrak untuk turut meramaikan pasar yang didomiÂnasi oleh Airbus, Boeing, dan Bombardier. Badan penerbanÂgan sipil AS (FAA) telah mengeÂluarkan sertifikasi Super Tucano pada 2011 silam. Tidak hanya itu, United States Air Force pun memesan 20 unit Super Tucano untuk menopang pelatihan pilot di Afghanistan. Tidak kurang dari 190 unit telah dikirimkan kepada kostumer. Sulit untuk melabeli Super Tucano sebagai produk abal-abal.
Lantas……apa penyebab jatuhnya Super Tucano maut beÂberapa waktu silam? Kita tidak sendiri. Pihak penyelidik, TNI AU, pemerintah, Embraer, dan dunia pun menanyakan hal serupa.
Selain meyakini ini Takdir TuÂhan Yang Maha Kuasa, tidak ada jawaban instan dan sebaiknya meÂmang tidak boleh instan. Mari kita belajar menerima ini dan menaÂhan diri saat berekspresi di ruang publik. Tentunya bukan bermakÂsud membatasi kebebasan berekÂspresi, saudara. Kita semua ingin menjadi bagian dari solusi. SehingÂga spekulasi, analisa, atau opini kita dapat mencerahkan. Minimal, tidak menambah beban psikis keÂluarga dan kerabat korban yang sedang menjalani masa-masa sulit.
Maka, pesawat militer tidak selalu jatuh karena kontak dengan musuh. Seseorang pernah berkelaÂkar kepada saya, “Belum sempet tabrakan, kok sudah ganti mobil?†Saya bergeming, karena itu hanya kelakar belaka… semoga…