Untitled-18MEMAHAMI batas-batas kewenangan, otoritas, dan kepemilikan merupakan bagian indah dalam keseluruhan konteks etika sosial kesundaan. Sanghyang Singksakandang Kareasian, memadukan ba­hasa simbolis dan bahasa terang dalam menguraikan hal tersebut.

Bang Sem Haesy

HAK dan kewajiban, tugas – tanggungjawab dan kewenangan, je­las relasi korelasinya. Paribasa yang dipa­kai, mengisyaratkan kebun dengan batas, serta segala yang hidup di dalamnya. Kemudian, bagaimana cara kita men­jaganya. Tetapi, secara esen­sial, etika yang diajarkan adalah bagaimana menghormati batas-batas hak kita dan hak orang lain.

Sanghyang Siksakandang Ka­resian mengisyaratkan: Salang ke­bon ning alas, kayu batri nangtu, bwah beunang nga-rara(ng)gean, tanggeuhkeun suluh, turuban supa, cangreudan tewwan, odeng, nyeruan, engang, ulam, para­kan, sing sawatek babayan, ulah urang barang ala. Sanguni nurunk­eun sadapan sakalih, ulah eta di­piguna kenana puhun ning dosa, tamikal ning papa kalesa. (Batas kebun di hutan adalah kayu yang ditandai tali, pohon buah yang ditandai ranting, kayu bakar yang disandarkan, cendawan yang ditu­tupi, sarang tiwuan, odeng, lebah engang, ulat kayu, parakan atau apapun yang telah diberi simpul babayan jangan diambil. Demikian pula menurunkan sadapan orang lain jangan sekali-kali dilakukan ka­rena merupakan sumber dosa dan pangkal kenistaan dan noda.)

BACA JUGA :  Bahas Koalisi Jelang Pilkada 2024, PKB Jadi Parpol Pertama Yang Disambangi Golkar

Bila kita memperhatikan dengan seksama esensi dari apa yang tertuang dalam Sanghyang Siksa­kandang Karesian, ini segera dapat tergambar, bagaimana sebenarnya kita harus berbuat. Secara harafiah, misalnya bagaimana kita mengatur tentang hak atas tanah. Terutama karena kita mewarisi suatu sistem yang mengenal tentang hak milik dalam konteks pertanahan.

Dalam suatu percakapan ringan saya dengan Menteri Agrar­ia dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional, Ferry Mur­sidan Baldan, mengemuka berba­gai rencana aksi dan aksi penataan sistem yang memungkinkan orang memperoleh haknya secara wajar dan proporsional. Tugas negara, menurut Ferry adalah memberikan kejelasan kepada rakyat, hak dan kewajibannya, sekecil apapun hak itu. Karena itulah, pelayanan yang diberikan Kementerian / Badan yang dipimpinnya dengan seksama memperhatikan aspek-aspek keari­fan lokal.

Menurutnya, bila rakyat sudah mengetahui hak dan kewajiban­nya, serta memahami esensinya, maka rakyat dapat menggunakan apa yang telah menjadi haknya secara optimumum. Ujungnya ada­lah kesejahteraan. Terutama dalam konteks tanah yang mengandung begitu banyak hal di dalamnya.

BACA JUGA :  Rahasia Orang Jepang Miliki Kulit Mulus dengan Konsumsi Makanan Sehat Ini

Tanah tidak hanya merupakan sarana prasarana hidup, melainkan juga sebagai sarana untuk memulia­kan dirinya dengan kemauan dan kemampuan mengolah tanah itu. Dalam konteks isyarat Sanghyang Siksakandang Karesian, tanah terkait langsung dengan hubungan manu­sia dengan sesama, manusia dengan makhluk lain (termasuk flora dan fauna), dan manusia dengan Tuhan.

Hubungan-hubungan itu bila disertai dengan etika atau akhlak terhadap alam, pasti akan mem­berikan manfaat yang sangat be­sar bagi kehidupan manusia itu sendiri. Karena itu, dalam konteks hak dan kewajiban, di sebaliknya terdapat kemanfaatan yang terus menerus harus dieksplorasi.

Secara sederhana, boleh di­katakan, terkait dengan hak atas sarana dan prasarana kehidupan yang diberikan Tuhan, kata kuncin­ya bukan kecil atau besar, luas atau sempit sarana itu. Melainkan, se­berapa intens kita mengolahnya sehingga manfaatnya menjadi sangat besar.

============================================================
============================================================
============================================================