Santet merupakan metode ritual penyerangan jarak jauh dengan perantara media tertentu. Media itu bisa berupa : bunga-bunga, tanah kuburan, telur, paku, rambut, cermin, tujuh ayam untuk sesajen.
BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM
Untuk membuktikan adanya santet buÂkan perkara mudah. Karena biasanya anÂtara pelaku (dukun santet/dukun teluh) dengan korÂban tidak saling mengenal. Juga hubungan sebab akibat (causaal verband) antara perbuatan meÂnyantet dengan jatuhnya korban sulit ditelaah secara ilmiah.
Norma hukum tidak akan masuk ke wilayah yang gaib atau penyebab yang gaib. Norma huÂkum hanya menelaah untuk hal – hal yang nyata sepanjang dapat dijangkau oleh akal sehat manusia. Antara santet dengan norma hukum memiliki ruang dimensi yang berbeda. Norma Hukum bekerja dengan pembukÂtian konkrit dan terukur, sedangÂkan santet berada di ranah mistis yang tidak nyata. Alat bukti sepÂerti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) masih sulit untuk membuktikan entitas santet.
Mengingat berbagai kesulitan tadi, maka jika perkara santet masuk ke ranah hukum pidana, biasanya hakim tidak memfokusÂkan pada santet itu sendiri, meÂlainkan pada jatuhnya korban sebagai akibat kejahatan. SeÂhingga setiap perkara santet yang disidangkan di pengadilan bukan murni masalah santet, melainkan pembunuhan yang berawal mula oleh adanya isu santet. Para penÂegak hukum, termasuk hakim dan jaksa, lebih menekankan sebagai delik pembunuhan berencana atau penganiayaan yang direnÂcanakan. Hal ini dapat dipahami dari Putusan Mahkamah Agung No. 2296K/Pid/1989. Dalam puÂtusan ini lebih menekankan pada delik pembunuhan dan pengaÂniayaan, daripada perkara santet itu sendiri.
Memang Kitab Undang – UnÂdang Hukum Pidana (KUHP) terdapat pasal-pasal yang menÂgatur tindak pidana yang terkait dengan praktik ilmu gaib, yakni Pasal 545 – 547. Pada prinsipnya pasal tersebut mengatur tentang profesi sebagai tukang ramal atau penafsir mimpi, pelarangan penjualan dan penawaran benda-benda yang mempunyai kekuaÂtan gaib, dan upaya mempengaÂruhi jalannya sidang pengadilan dengan menggunakan jimat atau mantra. Namun, diantara ketenÂtuan pasal di atas tidak ada yang menyinggung secara khusus dan tegas tentang santet.
Dalam ranah hukum terdapat asas nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali, bahwa perbuatan seorang baru dapat dipidana setelah ada aturan huÂkum yang mengaturnya. Sejalan dengan hal tersebut Pasal 1 ayat (1) KUHP, telah merumuskan : “Tiada suatu perbuatan boleh diÂhukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari pada perbuatan ituâ€. Sehingga orang yang dituduh melakukan perbuatan santet, tidak dapat dipidana karena memang perÂaturan tentang hal tersebut beÂlum ada.
Baru dalam Rancangan UnÂdang – Undang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) persoalan santet ini akan dimasukkan ke dalam salah satu perbuatan pidana. Pasal 293 RUU KUHP ayat (1) : “Setiap orang yang menyatakan dirinya memÂpunyai kekuatan gaib, memberiÂtahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, keÂmatian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Ayat (2) “Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) melakukan perbuatan terseÂbut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu pertiga)â€.
Sedangkan Penjelasan Pasal 293 RUU KUHP menyakan bahÂwa, ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditÂimbulkan oleh praktik ilmu hiÂtam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Juga diÂmaksudkan untuk mencegah seÂcara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakuÂkan oleh warga masyarakat terhaÂdap seseorang yang dituduh sebÂagai dukun teluh (santet).
Bila ditelaah lebih lanjut buÂnyi Pasal 293 RUU KUHP di atas, sesungguhnya tidak membukÂtikan perbuatan santetnya, naÂmun mempidanakan perbuatan penyerta sebelum santet itu diÂlakukan. Jadi, bisa disimpulkan santet (atau perbuatan menyanÂtet) itu sendiri masih sulit untuk bisa dimasukkan ke dalam raÂnah hukum pidana. Kecuali bila rumusan RUU KUHP, setidaknya berbunyi “Barang siapa melakuÂkan perbuatan menyantet orang dipidana dengan penjara seÂlama – lamanya sekian tahunâ€. Namun, bila rumusan tersebut “dipaksakan†dimasukkan ke dalam salah satu pasal RUU KUHP, niscaya hakim maupun jaksa akan sulit membuktikan menurut norma hukum yang diÂdasarkan kaidah ilmiah dan akal sehat.(*)