JAKARTA, Today  – Rencana pemerinÂtah untuk menaikkan iuran BPJS KesÂehatan per tanggal 1 April 2016 masih menimbulkan banyak kontroversi dari berbagai pihak. Pasal 16A Perpres No 19 Tahun 2016 tentang Jaminan KesÂehatan menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan untuk peserta PBI (PeneriÂma Bantuan Iuran) dari Rp 19.225 menÂjadi Rp 23.000 per orang per bulan atau sekitar 19 persen.
Sementara itu, Pasal 16F menetapÂkan kenaikan hingga lebih dari 30 persÂen untuk peserta mandiri dari golongan Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja.
Perkumpulan Prakarsa menilai, arÂgumen BPJS Kesehatan bahwa kenaikan iuran harus dilakukan sebagai akibat dari defisit berjalan sebesar Rp 4 triliun sebenarnya tidak adil.
Direktur Eksekutif Perkumpulan PraÂkarsa, Ah Maftuchan menjelaskan, denÂgan menaikkan iuran, BPJS Kesehatan sesungguhnya tengah menutup mata atas praktik inefisiensi dan kebocoran yang terjadi dalam pelayanan BPJS Kesehatan.
“Pemerintah, baik presiden, waÂpres, maupun menteri kesehatan haÂrus berani mendorong BPJS Kesehatan lebih transparan dan akuntabel dalam mengelola dana iuran BPJS sehingga berbagai kecurigaan dan kemungkiÂnan defisit bisa dicegah,†ujar MafÂtuch dalam keterangan resmi, Selasa (22/3/2016).
Selain terkait dengan hal efisiensi dan akuntabilitas, pemerintah bersaÂma dewan jaminan sosial nasional harÂus memastikan bahwa BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan dikelola secara terbuka dan non-profit.
Menurut perkumpulan Prakarsa, perlu ada ‘revolusi mental’ di kalangan petinggi BPJS. BPJS Kesehatan adalah lembaga wali amanat yang sifatnya non-profit. Sehingga, menurutnya tidak etis jika petinggi dan karyawan BPJS mendapatkan gaji yang sama dengan mereka yang bekerja di BUMN profit.
“Peninjauan ulang standar gaji dan remunerasi di BPJS Kesehatan perlu dilakukan agar lebih sejalan dengan semangat gotong royong dan nirlaba,†jelas Maftuch.
 (Winda/NET)