WASHINGTON, TODAY — OtoriÂtas Amerika Serikat (AS) memaÂsukkan teroris asal Indonesia, Santoso, ke dalam daftar teroris global. AS juga memblokir seÂluruh aset milik Santoso yang disebut sebagai pendukung keÂlompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) ini.
Dalam pernyataannya, seperti dilansir Reuters, Rabu (23/3/2016), Departemen Luar Negeri (Deplu) AS menyatakan Santoso telah dimasukkan ke dalam daftar teroris global atau Specially Designated Global TerÂrorists (SDGT). Santoso yang berasal dari Poso, Sulawesi Tengah, ini sudah 3 tahun terakhir diburu polisi.
“Sebagai dampak dari penunjukan ini, seluruh propÂerti dalam yurisdiksi AS yang terkait dengan Santoso diblokir dan semua warga AS dilarang terlibat transaksi apapun dengan Santoso,” demikian pernyataan Departemen Luar Negeri AS.
Dalam daftar SDGT itu, SanÂtoso disebut sebagai pemimpin Mujahidin Indonesia Timur (MIT), yang bertanggung jawab atas sejumlah pembunuhan dan penculikan di Indonesia dalam beberapa tahun teraÂkhir. MIT sendiri sudah masuk dalam daftar SDGT otoritas AS. “Langkah ini menjadi pemberiÂtahuan kepada publik AS dan komunitas internasional bahwa Santoso secara aktif terlibat terÂorisme,” demikian disampaikan Deplu AS. Disebutkan juga bahwa dengan maÂsuknya nama Santoso ke dalam SDGT, maka terbuka jalan bagi penegak huÂkum AS untuk menindak Santoso. “Ini memungkinkan adanya tindakan terÂkoordinasi dari pemerintah AS dan berÂsama mitra internasional untuk menceÂgah aktivitas teroris, termasuk dengan menolak akses bagi mereka ke dalam sistem keuangan AS dan memungkinkÂan tindakan tegas penegak hukum AS,” imbuh Deplu AS dalam statemennya.
Sementara itu, Markas Besar Polri menyebut pemerintah Amerika Serikat memasukkan Santoso ke dalam daftar teroris berdasarkan inisiatif sendiri.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Inspektur Jenderal Anton Charliyan, mengatakan Polri tidak mengusulkan nama pemimpin MIT itu untuk dimaÂsukkan ke dalam daftar teroris Paman Sam.
Karena itu, menurut Anton, penetaÂpan Santoso sebagai teroris di Amerika Serikat membuktikan ancamannya suÂdah berskala internasional. “Buktinya di tempat Santoso (Poso, Sulawesi TenÂgah) ada warga asing dari Uighur. Selain itu ada pendanaan juga dari ISIS,” kata Anton di Mabes Polri, Rabu (23/3/2016).
Santoso memang sudah lama diseÂbut polisi sudah berafiliasi kepada ISIS atau Negara Islam Irak dan Suriah. Hal itu juga nampak dalam video ancaman Santoso terhadap istana negara yang menyertakan bendera hitam khas ISIS.
Video tersebut diunggah oleh akun Facebook bernama Bahrun Naim AngÂgih Tamtomo, akhir 2015 lalu. Bahrun diyakini Polri berada di Suriah, menjadi petinggi ISIS yang mengotaki seranÂgan teror di Thamrin, Jakarta, sebulan setelahnya.
Anton mengatakan pemerintah Indonesia, termasuk Polri, memang bekerjasama dalam pertukaran inforÂmasi dengan Amerika Serikat dalam penanggulangan terorisme. Karena itu, kata Anton, wajar saja jika Amerika Serikat memasukkan nama Santoso ke dalam daftar teroris. “Mungkin merÂeka punya data sendiri. Karena terorÂisme ini kan kejahatan internasional,” ujarnya.
Penetapan status ini, kata Anton, adalah kewenangan masing-masing negara. Karena itu, tidak mungkin Polri meminta Amerika untuk menetapkan Santoso sebagai terduga teroris.
Kementerian Luar Negeri AS meÂnyatakan Santoso dimasukkan dalam daftar Specially Designated Global Terrorists (SDGT). Semua orang yang masuk dalam SDGT akan dibekukan asetnya di AS. Selain itu, AS melarang warganya untuk berhubungan denÂgan orang-orang dalam daftar ini serta memberikan mandat bagi aparat untuk melakukan tindakan hukum. “Sebagai hasil dari penetapan ini, semua propÂerti dalam yurisdiksi AS yang memiliki kepentingan dengan Santoso diblokir dan warga AS secara umum dilarang bertransaksi dengan Santoso,” bunyi pernyataan Kemlu AS.
Saat ini Santoso sendiri belum berÂhasil ditangkap dan masih bersembuÂnyi di Pegunungan Biru, Poso, Sulawesi Tengah. Pria yang diduga bertanggung jawab atas serangkaian serangan terorÂis itu kini diburu lewat operasi bersandi Tinombala, setelah operasi Camar MaÂleo yang digelar sepanjang 2015 gagal menangkapnya.
Tak Butuh Bantuan Asing
Meski belum juga berhasil menangÂkap Santoso, Anton mengatakan Polri tidak berencana meminta bantuan pasukan Amerika Serikat yang sudah mengakui ancaman si teroris.
Buktinya, petugas belakangan terus menerus terlibat dalam baku tembak dengan kelompok Santoso. “Bantuan pasukan tidak, karena kita masih mamÂpu. Kerjasama cukup pertukaran data saja, masalah bangsa dan negara kita selesaikan sendiri,” kata Anton.
Dia mengatakan, keberhasilan menangkap Santoso hanya soal waktu. Kini, teroris berjulukan Pak Bos itu suÂdah terdesak di pegunungan yang berÂmedan berat. “Orang luar negeri malah tidak akan mampu dihadapkan medan berat seperti ini,” kata Anton.
Soal ini, Ketua DPR Ade KomaruÂdin menilai, simpatisan ISIS Santoso alias Abu Wardah wajar masuk dalam daftar teroris yang harus diwaspadai dan diburu Amerika Serikat. Pemimpin Mujahidin Indonesia Timur itu dinilai membahayakan. “Mungkin Amerika melihat sudah di tingkat sangat berbaÂhaya makanya dimasukkan dalam salah satu orang yang mengancam keamanan internasional,” kata Ade di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (23/3/2016).
Ade menuturkan, Pemerintah Joko Widodo serius menangani perkara Santoso. Dia juga meyakini adanya gebrakan dari Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang baru, Inspektur Jenderal Tito Karnavian. “Tito di BNPT akan ada geÂbrakan. Kelompok Santoso tidak seperÂti yang didengungkan. Mereka bisa diaÂtasi pemerintah, kepolisian dan TNI,” tandasnya.
(Yuska Apitya Aji)