bambangsDalam berbagai kitab peraturan pidana tidak dikenal istilah saksi mahkota (crown witness), sehingga penjelasan resmi istilah tersebut tidak ada. Hanya Pasal 168 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memberikan dasar pengaturan terkait saksi mahkota.

BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM

Ketentuan pasal di atas pada prinsipnya mengatur, bahwa para pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dalam kapasitasnya sebagai saksi, kare­na itu ia dapat mengundurkan diri bila dijadikan saksi. Dalam kajian teori hukum, saksi mah­kota sering dimaknai sebagai saksi yang berasal dari terdakwa sendiri, yang biasanya me­miliki peran paling kecil dalam perkara tindak pidana yang di­lakukan secara bersama-sama (tindak pidana penyertaan).

Sebenarnya penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti untuk membuktikan perkara tindak pidana bertentangan dengan hak asasi terdakwa. Hal ini didasari atas pertimbangan, bahwa orang yang didengar keterangannya sebagai saksi di muka sidang pengadilan wajib mengangkat sumpah, sehingga konsekuensinya ia harus mem­berikan keterangan yang se­benar-benarnya tidak lain dari­pada yang sebenarnya. Padahal sebagai terdakwa ia mempunyai hak ingkar absolut untuk meny­embunyikan sesuatu atau tidak mengatakan yang sebenarnya tindak pidana yang dilakukan­nya sendri dan tindak pidana yang dilakukan terdakwa lain yang turut serta. Namun demiki­an, dalam kasus tertentu, saksi mahkota masih dipergunakan dalam sidang perkara pidana, khususnya saat acara pembuk­tian. Ini semua disebabkan su­litnya memperoleh saksi yang benar-benar melihat, menden­gar dan mengalami sendiri adanya peristiwa tindak pidana.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Mengingat kesaksian terda­kwa ini dinilai sangat rawan dan membahayakan baik bagi saksi itu sendiri maupun keluarganya, maka sebagai upaya untuk me­lindungi mereka dari intimidasi dan pembalasan pihak-pihak yang merasa dirugikan, telah diundangkan UU No. 13 / 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Aturan tersebut masih diperkuat lagi dengan PP No. 57 / 2003 dan Peraturan Kapolri No.17 / 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pel­apor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Disamping mendapatkan per­lindungan, tersangka/terdakwa yang bersedia memberikan kes­aksiannya dalam perkara pidana yang dilakukan secara bersama-sama, bisa dipertimbangkan hakim untuk diringankan hu­kumannya. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (2) UU Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan, seorang saksi yang juga tersang­ka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata ter­bukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan ha­kim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. (*)

============================================================
============================================================
============================================================