KEMENTERIAN Keuangan telah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan bank atau lembaga jasa keuangan penerÂbit kartu kredit untuk melaporÂkan setiap data dan transaksi kartu kredit kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Oleh : Yuska Apitya
[email protected]
Kewajiban tersebut tertuÂang dalam Peraturan MenÂteri Keuangan Nomor 39/ PMK.03/2016 tentang rincian jenis data dan informasi serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan. Beleid tersebut merupakan perubaÂhan kelima atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2013 tentang rincian jenis data dan inforÂmasi serta tat cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.
Aturan tersebut ditetapkan seÂjak 22 Maret dan telah berlaku sejak PMK tersebut diundangkan. Dalam beleid itu disebutkan, bank atau lemÂbaga penerbit kartu kredit diwajibkan melaporkan data transaksi nasabah kartu kredit yang bersumber dari billÂing statement yag memuat data-data berupa nama bank penerbit kartu kredit, nomor rekening kartu kredit, nomor ID dan nama merchant (pedaÂgang), nama pemilik kartu, alamat peÂmilik kartu, NIK/Nomor paspor pemiÂlik kartu, NPWP pemilik kartu, bulan tagihan, tanggal transaksi, rincian transaksi, nilai transaksi dalam rupiah serta limit atau batas niÂlai kredit yang diberikan untuk setiap kartu.
Data tersebut harus segera dilÂaporkan dalam bentuk langsung ke Direktorat Jenderal Pajak maupun seÂcara elektronik (online) paling lambat 31 Mei 2016. Adapun bank atau lemÂbaga penyelenggara kartu kredit yang diwajibkan melapor antara lain:
– Pan Indonesia Bank Ltd Tbk – PT Bank Bukopin, Tbk – PT Bank Central Asia Tbk – PT Bank CIMB Niaga Tbk – PT Bank Danamon Indonesia Tbk – PT Bank MNC Internasional – PT Bank ICBC Indonesia – PT Bank Maybank Indonesia Tbk – PT Bank Mandiri (Persero) Tbk – PT Bank Mega Tbk – PT Bank Negara Indonesia 1946 (Persero) Tbk – PT Bank Negara Indonesia Syariah – PT Bank OCBC NISP Tbk – PT Bank Permata Tbk – PT Bank Rakyat Indonesia (PerÂsero) Tbk – PT Bank Sinarmas – PT Bank UOB Indonesia – Standard Chartered Bank – The Hongkong & Shanghai Banking Corp. – PT Bank QNB Indonesia – Citibank N.A – PT AEON Credit Services – PT Bank ANZ Indonesia
Sebelumnya Menteri Keuangan Bambang P.S Brodjonegoro menÂgatakan data perbankan merupakan data potensial yang bisa digunakan Ditjen Pajak dalam ekstensifikasi objek pajak. “Mengumpulkan pajak tanpa data yang cukup ya istilahnya berperang tanpa menggunakan senjata. Senjatanya untuk mengumÂpulkan pajak adalah data. Jadi kita masih butuh akses data yang lebih banyak,†kata Bambang di kantor pusat DJP, Jakarta, kemarin.
Pasalnya saat ini mengakses data sektor perbankan masih sulit dilakuÂkan mengingat saat ini sektor terseÂbut dilindungi oleh Undang-undang Perbankan yang menjamin kerahaÂsiaan data para nasabah. Padahal, menurut Bambang sektor tersebut merupakan yang paling potensial dijadikan objek pajak. “Perbankan tidak harus rekeningnya. Pemakaian kartu kredit, misalkan. Itu kan sesÂuatu yang bisa kita akses sebenaÂrnya,†jelasnya.
Sejumlah nasabah perbankan mengaku resah setelah mengetahui adanya peraturan yang memperboÂlehkan petugas pajak mengintip data transaksi kartu kredit yang mereka miliki selama ini. Pasalnya, kini keraÂhasiaan harta pribadi bisa diketahui oleh pihak di luar bank itu sendiri.
“Sangat keberatan. Itu bertenÂtangan dengan Undang-undang Perbankan yang mengatakan data nasabah itu rahasia perbankan. KeÂnapa diintip-intip?,†ujar Hillo Silvia (35) seorang nasabah kartu kredit PT Bank Central Asia (BCA) Tbk, Rabu (30/3).
Silvia mengatakan dengan mengintip data transaksi kartu kredit, Ditjen Pajak juga dinilai mampu melacak daftar kekayaan nasabah tanpa izin.
Kecuali nasabah tersebut melakukan pelanggaran tindak pidana maupun perdata yang merugikan. Untuk hal tersebut ia merelakan data pribadinya dikuÂlik oleh pihak berwenang seperti PPATK maupun KPK. “Dan seharusÂnya dibuka oleh harus otoritasnya. Kalau begini Ditjen Pajak sudah over power ketimbang UU. Masa Ditjen Pajak melanggar Undang-UnÂdang,†katanya.
Kekhawatiran lainnya diungkapÂkan oleh nasabah kartu kredit lainÂnya Yosi Winosa (26). Yosi merasa khawatir dengan ancaman kejahatÂan cyber berupa pembocoran data ke pihak luar. “Itu bisa berpotensi ada fraud, kalau datanya bocor dan disebarkan ke pihak lain, memangÂnya ada jaminan?,†ujar pengusaha muda tersebut. (*)