Oleh: Wisnu Prabowo
Pemerhati Keagamaan dan Sosial
Seluruh dakwah Nabi dan Rasul bersifat radiÂkal (Latin: Akar), menÂcabut akar kesyirikan dan menggantinya denÂgan kekokohan Tauhid. Radikal tidak sama dengan radikalisme, apalagi dengan ekstrimisme. IsÂlam pada dasarnya tidak mengeÂnal “ismeâ€. Namun dewasa ini kata radikal telah terkesan angÂker, intoleran, anarkis, dan kerap dikaitkan dengan Islam
Islam Dan Isme
Kata “radikal†sudah tidak lagi bermakna netral disebabkan penyematan persepsi yang dibenÂtuk oleh kelompok tertentu. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan, radikal bermakna mendasar [fundamental], atau prinsipal, dan/atau progresif dalam berpikir dan bertindak.
Radikal bisa bermanifestasi dalam pemikiran atau tindakan, dan tidak selalu bersinggungan dengan radikalisme, anarkisme, terlebih ekstrimisme. Dalam perÂspektif islam, ekstrimisme atau tindakan berlebihan-di luar baÂtas, disebut dengan ghuluw [QS. al-Maidah-77].
Sikap dan pemikiran eksÂtrem dengan tegas dilarang syarÂiat. Rasulullah pernah bersabda, “Celakalah orang-orang yang ekstrim!†Beliau mengucapkanÂnya tiga kali.†(HR. Muslim). Maka secara naluriah, ekstrimisme tidak mendapat tempat dalam syariat.
Pasca peristiwa 9/11, istilah Islam moderat dibentuk setelah tertuduhnya umat Islam sebagai pihak yang bertanggung jawab. “Sehingga, diciptakanlah istilah ‘Islam radikal’ untuk menggiring kaum Muslim agar menerima istiÂlah ‘Islam moderat.†(Yan S. PraÂsetiadi, M.Ag)
Masih dalam konteks 9/11, linÂguistik, filsuf, dan ahli psikologi bahasa berdarah Yahudi, Noam Chomsky, menyimpulkan bahwa istilah ekstrimis dan Islam Moderat digunakan untuk memetakan siaÂpa yang berpihak dengan Amerika Serikat dan siapa yang berseberanÂgan. (Pirates and Emperors, Old and New International Terrorism in The Real World 2002).
Islam Dan Radikalisme
Definisi Islam Radikal berkaiÂtan erat dengan intoleransi, garis keras, bahkan terorisme. Padahal Islam dengan tegas menolak seÂgala bentuk aksi terorisme, baik itu melalui pergerakan yang menÂgatasnamakan Islam, maupun dalam bungkus Zionisme, ImpeÂrialisme, Trump-isme, dan prakÂtek neo-apartheid.
Penyematan Islam Radikal dan Islam Moderat menggiring umat Islam ke dalam dua kelomÂpok. Ini sejalan dengan metode pemikir barat dalam memahami Islam. Tujuannya adalah, “Barat menginginkan orang Islam meÂmahami Islam sebagaimana mereka memahami Islamâ€, (Prof. Dr. Syamsuddin Arif ).
Jikalau istilah Islam Moderat disematkan kepada penolakan tinÂdakan kekerasan dan ekstrimisme, maka tanpa promosi pihak mana pun konsep semisal itu telah diÂcontohkan secara purna oleh RaÂsulullah lebih dari 14 abad silam.
Rasulullah pernah mengingatkan para sahabatnya akan ancaÂman neraka bagi mereka yang mengurung seekor kucing hingga mati karena tidak berkesempatan mencari makan. Jika buruknya adab kepada binatang dapat berujung pada ancaman serius, bagaimana persoalannya dengan peberbuatan zalim dan aniaya kepada manusia lainnya, terlepas warna kulit, ras, dan agama mereka?
Apanya Yang Dimoderatkan?
Idealnya, memaknai moderat dalam konteks Islam semestinya dikembalikan kepada bagaimana Rasulullah dan para sahabatnya dalam memaknai sikap moderat (pertengahan) atau wasatha (kata “wasit†diserap dari wasatha, bermakna penengah, semisal dalam perlombaan).
Implementasinya, RasuÂlullah melarang seorang muslim beribadah di luar kesanggupan diri, meninggalkan dunia secara total, dan mengabaikan hak biÂologis, meskipun didorong oleh semangat ketakwaan. Karena jika dilanggar, maka hal itu bukan lagi dianggap sebagai jalan untuk mendekatkan kepada Allah, jusÂtru menjauhkan seseorang dari upaya menuju ketakwaan dalam kaitannya dengan menyelisihi acuan Rasulullah (sunnah).
“Moderat†dalam Islam juga berarti bersikap pertengahan dalam bekerja, sehingga mencari nafkah tidak boleh melalaikan seÂseorang dari beribadah, baik itu berlaku baik terhadap keluarga, tetangga, sesama, dan juga tidak melalaikan dari menuntut ilmu bermanfaat.
Salah satu tujuan penyemaÂtan Islam Moderat adalah memÂpromosikan toleransi antar umat beragama. Sehingga, memegang teguh kaidah al wala wal bara, atau loyalitas sesama Muslim, dianggap menyalahi prinsip keruÂkunan antar umat beragama (inÂtoleransi). Padahal loyalitas yang dilarang adalah kesetiaan dalam perkara akidah, bukan muamalah atau interaksi sosial. Adapun maÂsalah kepemimpinan termasuk ke dalam ranah akidah, dan memilih pemimpin dikembalikan kepada ideologi yang dianut individu.
Bekerja, berdagang, saling mengunjungi saat sehat maupun sakit, gadai-menggadai, memberi makan, dan meringankan keÂsulitan orang lain, meski berbeda keyakinan, justru perwujudan akhlak mulia seorang Muslim. Sudah terlampau banyak contoh dari Rasulullah mengenai sisi huÂmanis ini.
Islam Menolak Terorisme
Ketika seorang muslim menÂdahulukan kaki kanan dalam mengenakan sandal, dan mengeÂtahui tindakan tersebut bernilai ibadah berdasarkan contoh dari Rasulullah (sunnah), maka apa yang mendasari perilaku musÂlim tersebut berbasis pada nilai keagamaan, atau fundamentalis (landasan) religius (agama).
Berbeda misalnya ketika seorang yang diajarkan untuk mendahulukan kaki kanan dalam mengenakan sandal (hanya) berÂdasarkan faktor budaya atau kebiasaan semata. Sekali lagi, ketika dikemas dalam “ismeâ€, maka maknanya berubah menÂjadi suatu paham dengan konoÂtasi diarahkan pada pergerakan bernuansa anarkisme.
Jikalau suatu tindakan diklaim sebagai pengagungan terhadap syariat, padahal syariat sendiri menolaknya, maka hal itu seharusnya tidak dapat dikatakan berlandaskan dari syariat dimakÂsud. Aksi pembunuhan, baik terÂhadap non-Muslim dan sesama Muslim di negara damai seperti di Indonesia secara tegas ditolak oleh syariat. Lantas, penyematan fundamentalisme religius kepada aksi terorisme itu ditujukan oleh nilai religius mana? Karena Islam tegas menolaknya.
Bara Api Dan Andil Media
Rasulullah pernah bersÂabda, “Akan datang kepada maÂnusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggengÂgam bara api.â€
“Bara api†saat ini salah satuÂnya berupa penyematan istilah-istilah kepada umat Islam yang berupaya untuk memegang teguh akidah untuk menggoyahkan rasa percaya diri, melemahkan sendi-sendi ideologi (akidah) sehingga merasa teralienasi (ghuraba).
Tidak semua umat Islam berkeinginan menggenggam “bara api†ini. Sebagian intelektual MusÂlim lebih condong merujuk pada analisa orientalis dan metodologi barat dalam karya ilmiah mereka mengenai Islam. Sedangkan rujuÂkan ilmiyah sesuai metodologi IsÂlam semisal sumber dari Al Quran, Hadis, dan para sahabat Nabi pun dikesampingkannya, seakan menÂgutip dari rujukan-rujukan terseÂbut sudah usang dan terkesan kurang ilmiah.
Selain institusi pendidikan Islam, media adalah salah satu garda terdepan dalam membendÂung pembiasan makna. Media haÂrus teguh untuk tidak terjatuh ke dalam keberpihakan oleh pemÂbentukkan persepsi pihak tertenÂtu terkait prinsip kenetralan dan non-partisan. Atau dalam istilah yang lebih “radikalâ€, mengusung kaidah musaddid, yakni sebagai pelurus informasi. Semoga. WalÂlahu a’lam. (*)