PENGHAPUSAN Beras Miskin (Raskin) menÂjadi voucher pangan sepertinya membawa anÂgin segar bagi warga kurang mampu. Model ini sedianya bisa dijadikan parameter baru pemÂbagian beras murah agar bantuan pusat tepat sasaran.
Pun berubah, tapi penggunaannya, alokasi, distribusi dan semuanya masih sama. Masih tetap bertumpuk di Bulog, menunggu Surat Permintaan Alokasi (SPA) dari Bupati/Walikota terkait, lalu baru didistribusikan.
Raskin selama ini dibawa ke Kantor KecaÂmatan, sebelum akhirnya dibawa ke setiap Desa atau Kelurahan, oleh masing-masing perangkat desa.
Harga Raskin per-kilogram adalah Rp 1.600. Harga tersebut tidak berubah, meskipun jarak dari kantor Bulog menuju kantor Camat sangat dekat, hingga sangat jauh. Dari yang hanya berjarak 100 meter, sampai yang berjaÂrak ribuan tahun cahaya (eh!) harganya tetap Rp 1.600 dan tidak berubah. Kenyataannya, keÂtika Penerima Raskin atau sering disebut denÂgan Rumah Tangga Sasaran (RTS) menerima, maka jarang diantara mereka yang membeli Raskin dengan harga tersebut. Nah, dimana harga Raskin mulai berubah?
Harga Raskin ada yang tetap dijual Rp 1.600 oleh perangkat desa, ada juga yang Rp 1.800, bahkan ada yang Rp 3.000. Ternyata, urusan penambahan harga, ada beberapa diantaranÂya yang melalui Musyawarah Desa (Musdes), karena mengingat jarak desa dari Kantor KecaÂmatan sangat jauh.
Daripada RTS dari sudut bumi datang jauh-jauh, turun gunung untuk mengambil 15 Kg Raskin, lebih baik perangkat desa yang menyeÂwa truck atau mobil gerobak untuk mengangÂkut beras tersebut.
Selain harga, ada lagi masalah yang sering ditemui terkait Raskin ini. Paling sering, penerÂima Raskin adalah orang yang sangat berbeda dengan RTS yang berada di data. Kenapa seperti itu?
Ada dua kemungkinan, pertama pihak desa sudah diminta tagihan pembelian Raskin, seÂdangkan ada sekitar 5-10 orang yang terdaftar di RTS tapi tidak punya uang. Alhasil, perangÂkat desa mengambil kesimpulan, siapapun yang mau membeli beras ini silahkan, dengan catatan harga ditingkatkan sedikit. Keuntungan dari penjualan beras tersebut, diberikan sebÂagai bentuk bantuan atau sedekah untuk RTS tersebut. Sampai saat ini, masih dianggap wajar.
Kemungkinan kedua, ketika tengah melakuÂkan survey pihak desa tidak bertemu dengan RTS. Mungkin ke kebun, kerja, keluar kota atau mungkin jalan-jalan. Bertanya dengan tetangÂga, tapi tidak bisa meminta administrasi, sepÂerti KTP dan KK. Hasilnya, beberapa RTS yang angkanya sudah tercatat, tidak ikut terdaftar. Untuk memenuhi angkanya, masuklah nama-nama lain untuk menggantikan RTS tersebut.
Kalau yang masuk adalah warga lain yang tidak termasuk kategori miskin, tapi termasuk ke rawan kemiskinan, maka keputusan Kades atau lurah tersebut masih bisa dikatakan (lagi) wajar. Tapi, kalau yang masuk adalah keluarÂganya sendiri, dan tidak begitu miskin, malah masuk kategori menengah, maka keputusan kades tersebut bisa dikatakan salah.
Raskin sebaiknya tidak untuk terus-teruÂsan. Tapi, selama Raskin masih disalurkan, maÂsyarakat perlu ikut memantau agar tidak ada permasalahan dalam distribusinya, hingga ke tangan RTS. Jika masyarakat tidak kritis, beras bantuan dari pemerintah pusat itu akan terus-terusan blunder karena salah sasaran.(*)
Bagi Halaman