PERMASALAHAN lingkungan sosial kita sedang terancam, anak-anak yang berperilaku brutal, anak yang suka tauran, anak yang suka narkoba, dan anak yang melawan orang tua serta anak yang melawan guru disekolah menjadi hal biasa. Bahkan, anak-anak sebentar lagi berani melawan gurunya disekolah.
Oleh: Bahagia, SP., MSc
Permasalahan itu haÂÂrus dilihat secara jeli dan mendasar. Histori keluarga sangat memÂÂpengaruhi hal ini. Keluarga bisa dikatakan sebagai organisasi sosial non formal yang tidak dilegalkan secara hukum. Fungsinya nampak saat fungsi peran ayah dan ibuk untuk anak-anaknya. Ada transfer nilai moral mulai dari rumah yang terlupakÂÂan. Hingga akhirnya anak-anak berperilaku tidak wajar.
Apa yang harus ditransfer. Pertama nilai kasih sayang. NiÂÂlai kasih sayang ini sederhana. Orang tua mencontohkan pemÂÂbagian porsi makanan yang seimÂÂbang untuk semua anak-anaknya. Secara langsung akan diperakÂÂtekkan oleh anak-anak itu saat dirumah dengan adik-adiknya. Begitu sebaliknya. Kita akan meÂÂlihat apakah kemudian anak tadi memperlakukan adiknya dengan porsi makanan yang sama atau tidak. Kedua, ajarkan komunikasi yang baik. Ia diajarkan komuniÂÂkasi yang berjenjang. Berbeda ucapan kepada orang tua dan adik-adikanya. Etika berkomuÂÂnikasi itu harusnya terbangun dalam keluarga inti dan sedarah. Ketiga, kebersamaan.
Kebersamaan ini harus dibanÂÂgun dari rumah. Misalkan, saat liburan bersama untuk bersih-bersih rumah. Semua anggota keÂÂluarga bertanggungjawab untuk membersihkan. Keempat, ajarÂÂkan tanggungjawab. TanggungÂÂjawab disini bisa diperaktekkan saat bersih-bersih rumah. Hari ini giliran anak yang satunya dan besok giliran anak yang satunya. Dengan cara ini anak-anak akan belajar tanggungjawab. Kelima, ajarkan disiplin dalam waktu. Waktu harus terporgram dengan baik. Orang tua membagi waktu anak-anaknya. Waktu buat berÂÂmain, waktu buat menonton teleÂÂvisi, waktu tidur, waktu bangun, dan waktu untuk sekolah, serta waktu untuk ibadah.
Secara langsung anak-anak akan terbentuk perilaku disiplin. Keenam, ajarkan untuk menyapa tetangga. Hal ini untuk membanÂÂgun perilaku komunikasi sosial dengan yang lain. Bawa ia saat arisan, bawa ia saat beribadah dan usahakan sekali-kali bawa ia saat perkumpulan RT dan RW. Ketujuh, ajarkan protektif. ProÂÂtektif untuk menghindarinya perilaku jahat dari orang lain. Akhirnya ia akan menyeleksi terÂÂlebih dahulu apa yang dilihatnya dan tidak langsung ia percaya begitu saja. Kedelapan, ajarÂÂkan kesabaran. Kesabaran akan menuntun manusia tidak mudah emosi. Perilaku sabar bisa dilakuÂÂkan oleh orang tua dengan cara tidak memberikan keinginannya langsung. Menunda terlebih daÂÂhulu hingga beberapa hari. Saat ia sabar menunggu maka sudah terbentuk perilaku sabarnya.
Perilaku diatas bisa terbenÂÂtuk sangat bergantung kepada keluarga. Ada hak dan kewajiban Ibu dan ayahnya untuk menjaÂÂmin anak-anaknya untuk tumbuh menjadi insan yang bermoral. Akibat hak tadi ayahnya akan berperan penting. Tentu tetap ada bedanya anak yang lahirnya ketemu dengan ayahnya dengan anak yang tidak ketemu denÂÂgan ayahnya. Dari keluargalah semuanya bermula dan dari keluÂÂargalah modal sosial itu bisa terÂÂbangun dengan baik. Tentu ada korelasi yang positif antara keluÂÂarga dan perilaku anak. Perilaku jahat baik yang muda dan tua tiÂÂdak lepas dari lemahnya kontrol keluarga saat dirinya kecil hingga dewasa.
Fungsi keluarga tidak sebatas membimbingnya waktu ia masih kecil hingga dewasa namun juga sebagai pengontrol saat dirinya sudah menikah dan mempunyai anak. Pada saat ia lahir ke dunia maka jelas bimbingan keluarga tidak lepas darinya. Ada transfer nilai seperti diatas yang harus dilakukan oleh keluarga kepada anak-anak mulai dari kecil hingga dewasa. Tentu sosialisasi nilai itu akan terhambat pada saat keÂÂluarga inti tidak berfungsi. KeluÂÂarga inti itu terdiri dari ayah dan ibunya serta anak-anaknya. SeÂÂdangkan keluarga sedarah yaitu keluarga karena pernikahannnya dengan istrinya. Keluarga istrinya akhirnya menjadi keluarganya.
Alphanya keluarga inti memÂÂpengaruhi sering atau tidaknya ia berperan dalam mendidik anak-anaknya. Jika keluarganya utuh yaitu ayah dan ibunya ada sampai ia dewasa. Anak akan mendapatÂÂkan transfer nilai moral yang lebÂÂih baik. Keluarga yang bercerai akan mempengaruhi banyak atau tidaknya transfer nilai moral. Sang ayah akan kesulitan untuk mentransfer nilai moral kepada anak hasil pernikahannya yang pertama. Tentu intensitas untuk bersama juga tidak mungkin. Jika anak tadi ingin bertemu juga tiÂÂdak semudah keluarga yang utuh. Ketiga, realita yang sering juga diÂÂmana ayah dan ibunya masih ada namun ayahnya beristrikan lagi yang kedua dan yang ketiga. Saat pemutusan untuk menikah suaÂÂsana sebenarnya semakin rumit.
Anak-anak bisa terkatung-kaÂÂtung dan bahkan menimbulkan konflik yang tidak sebentar. Istri pertama atau yang tua bisa ribut dan konflik dengan istri muda. Lingkungan ini secara langsung akan mempengaruhi perilaku anak. Ia akan tumbuh menjadi anak yang terbiasa dengan konÂÂflik sosial. Sesuai pula dengan kenyataan yang ia lihat. Syukur-syukur jika anaknya laki-laki tiÂÂdak membalas dendam sehingga ia mengikuti jejak langkah ayahnÂÂya. Belum lagi konflik sosial anak istri pertama dan yang kedua. Biasanya sang suami menikah lagi karena harta yang berlimÂÂpah padanya. Konlifk harta akan muncul. Ibuk-ibuk yang muda akan menyiapkan secara diam-diama anak laki-lakinya untuk merbut harta ayahnya.
Sama halnya juga dengan istrinya yang kedua. Jika sudah begini maka nampak sulit untuk membuat anak itu berperilaku baik. Masalah transfer moral berÂÂmasalah saat anak tadi hasil perÂÂnikahan siri, hasil dari hubungan gelap dimana keabsahannnya tidak diakui. Nikah siri menjadi alasan agar terbebas dari zina. Memang begitu adanya namun nikah siri ini justru melemahkan tranfer nilai moral. Perempuan yang nikah siri tidak tercatat seÂÂcara jelas. Anak-anaknya akan kesulitan untuk dapat akses fasiliÂÂtas sosial. Pihak laki tidak punya fungsi secara sosial untuk terlibat dalam mendidik anak. Ayah dan ibunya juga tidak maksimal. PiÂÂhak yang peremuan juga bisa saja tidak tau.
Anak akan minder dan sulit untuk menunjukkan identitas dirinya. Berpengaruh terhadap kepercayaan dirinya dalam adapÂÂtasi lingkungan sosial. Bagaimana dengan kasus perzinaan. MengÂÂhasilkan anak dan anak itu sama sekali tidak dapat pengakuan. Bahkan ayah dan ibunya enggan untuk bertanggungjawab. JikaÂÂpun ada tanggungjawab laki naÂÂmun karena keterpaksaan saja. Akhirnya ia mau menikahinya meski sudah hamil. Anak hasil itu akan beda dengan anak hasil menikah biasa. Yang penting sah secara hukum negara namun huÂÂkum agama tidak akan pernah sah. Mengapa demikian rusaknya perilaku manusia kini.
Terakhir, bagaimana dengan anak yang ditinggal oleh ibu nya karena ibunya meninggal dunia. Ia akan dibesarkan oleh ayah saja. Atau ia dibesarkan oleh Ibu saja karena ayahnya sudah meninggal dunia. Namun tetap akan lebih baik dibandingkan dengan anak yang ditinggal karena poligami dan bercerai. Setidaknya anak tadi bebas ganguan dari pihak lain. Jika kita lihat kini banyaknya perilaku brutal anak, perilaku brutal orang dewasa dan yang tua maka bisa kita pertanyakan keluÂÂarga yang mana kini ia. Pastinya ada masalah pada keluarganya sehingga anak tadi justru melakuÂÂkan pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, begal, judi dan miÂÂnum minuman keras serta makan makanan yang tidak halal.
Didikan ayah dan ibu dan keÂÂluarga sedarah tadilah yang perlu dipertanyakan dan diperbaiki. Kedepannya, pemerintah harus membentuk lembaga konseling keluarga. Lebaga ini dimungkinkÂÂan untuk memberikan bimbingan kepada keluarga yang mempuÂÂnyai kasus seperti diatas. Gratis dan pemerintah yang menjamin. Lembaga bimbingan konseling dan keluarga inilah yang belum terbentuk. Padahal harusnya ada hal ini. (*)
Bagi Halaman