AR-140719818.jpgmaxw800q90PERMASALAHAN lingkungan sosial kita sedang terancam, anak-anak yang berperilaku brutal, anak yang suka tauran, anak yang suka narkoba, dan anak yang melawan orang tua serta anak yang melawan guru disekolah menjadi hal biasa. Bahkan, anak-anak sebentar lagi berani melawan gurunya disekolah.

Oleh: Bahagia, SP., MSc

Permasalahan itu ha­rus dilihat secara jeli dan mendasar. Histori keluarga sangat mem­pengaruhi hal ini. Keluarga bisa dikatakan sebagai organisasi sosial non formal yang tidak dilegalkan secara hukum. Fungsinya nampak saat fungsi peran ayah dan ibuk untuk anak-anaknya. Ada transfer nilai moral mulai dari rumah yang terlupak­an. Hingga akhirnya anak-anak berperilaku tidak wajar.

Apa yang harus ditransfer. Pertama nilai kasih sayang. Ni­lai kasih sayang ini sederhana. Orang tua mencontohkan pem­bagian porsi makanan yang seim­bang untuk semua anak-anaknya. Secara langsung akan diperak­tekkan oleh anak-anak itu saat dirumah dengan adik-adiknya. Begitu sebaliknya. Kita akan me­lihat apakah kemudian anak tadi memperlakukan adiknya dengan porsi makanan yang sama atau tidak. Kedua, ajarkan komunikasi yang baik. Ia diajarkan komuni­kasi yang berjenjang. Berbeda ucapan kepada orang tua dan adik-adikanya. Etika berkomu­nikasi itu harusnya terbangun dalam keluarga inti dan sedarah. Ketiga, kebersamaan.

Kebersamaan ini harus diban­gun dari rumah. Misalkan, saat liburan bersama untuk bersih-bersih rumah. Semua anggota ke­luarga bertanggungjawab untuk membersihkan. Keempat, ajar­kan tanggungjawab. Tanggung­jawab disini bisa diperaktekkan saat bersih-bersih rumah. Hari ini giliran anak yang satunya dan besok giliran anak yang satunya. Dengan cara ini anak-anak akan belajar tanggungjawab. Kelima, ajarkan disiplin dalam waktu. Waktu harus terporgram dengan baik. Orang tua membagi waktu anak-anaknya. Waktu buat ber­main, waktu buat menonton tele­visi, waktu tidur, waktu bangun, dan waktu untuk sekolah, serta waktu untuk ibadah.

Secara langsung anak-anak akan terbentuk perilaku disiplin. Keenam, ajarkan untuk menyapa tetangga. Hal ini untuk memban­gun perilaku komunikasi sosial dengan yang lain. Bawa ia saat arisan, bawa ia saat beribadah dan usahakan sekali-kali bawa ia saat perkumpulan RT dan RW. Ketujuh, ajarkan protektif. Pro­tektif untuk menghindarinya perilaku jahat dari orang lain. Akhirnya ia akan menyeleksi ter­lebih dahulu apa yang dilihatnya dan tidak langsung ia percaya begitu saja. Kedelapan, ajar­kan kesabaran. Kesabaran akan menuntun manusia tidak mudah emosi. Perilaku sabar bisa dilaku­kan oleh orang tua dengan cara tidak memberikan keinginannya langsung. Menunda terlebih da­hulu hingga beberapa hari. Saat ia sabar menunggu maka sudah terbentuk perilaku sabarnya.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Perilaku diatas bisa terben­tuk sangat bergantung kepada keluarga. Ada hak dan kewajiban Ibu dan ayahnya untuk menja­min anak-anaknya untuk tumbuh menjadi insan yang bermoral. Akibat hak tadi ayahnya akan berperan penting. Tentu tetap ada bedanya anak yang lahirnya ketemu dengan ayahnya dengan anak yang tidak ketemu den­gan ayahnya. Dari keluargalah semuanya bermula dan dari kelu­argalah modal sosial itu bisa ter­bangun dengan baik. Tentu ada korelasi yang positif antara kelu­arga dan perilaku anak. Perilaku jahat baik yang muda dan tua ti­dak lepas dari lemahnya kontrol keluarga saat dirinya kecil hingga dewasa.

Fungsi keluarga tidak sebatas membimbingnya waktu ia masih kecil hingga dewasa namun juga sebagai pengontrol saat dirinya sudah menikah dan mempunyai anak. Pada saat ia lahir ke dunia maka jelas bimbingan keluarga tidak lepas darinya. Ada transfer nilai seperti diatas yang harus dilakukan oleh keluarga kepada anak-anak mulai dari kecil hingga dewasa. Tentu sosialisasi nilai itu akan terhambat pada saat ke­luarga inti tidak berfungsi. Kelu­arga inti itu terdiri dari ayah dan ibunya serta anak-anaknya. Se­dangkan keluarga sedarah yaitu keluarga karena pernikahannnya dengan istrinya. Keluarga istrinya akhirnya menjadi keluarganya.

Alphanya keluarga inti mem­pengaruhi sering atau tidaknya ia berperan dalam mendidik anak-anaknya. Jika keluarganya utuh yaitu ayah dan ibunya ada sampai ia dewasa. Anak akan mendapat­kan transfer nilai moral yang leb­ih baik. Keluarga yang bercerai akan mempengaruhi banyak atau tidaknya transfer nilai moral. Sang ayah akan kesulitan untuk mentransfer nilai moral kepada anak hasil pernikahannya yang pertama. Tentu intensitas untuk bersama juga tidak mungkin. Jika anak tadi ingin bertemu juga ti­dak semudah keluarga yang utuh. Ketiga, realita yang sering juga di­mana ayah dan ibunya masih ada namun ayahnya beristrikan lagi yang kedua dan yang ketiga. Saat pemutusan untuk menikah sua­sana sebenarnya semakin rumit.

Anak-anak bisa terkatung-ka­tung dan bahkan menimbulkan konflik yang tidak sebentar. Istri pertama atau yang tua bisa ribut dan konflik dengan istri muda. Lingkungan ini secara langsung akan mempengaruhi perilaku anak. Ia akan tumbuh menjadi anak yang terbiasa dengan kon­flik sosial. Sesuai pula dengan kenyataan yang ia lihat. Syukur-syukur jika anaknya laki-laki ti­dak membalas dendam sehingga ia mengikuti jejak langkah ayahn­ya. Belum lagi konflik sosial anak istri pertama dan yang kedua. Biasanya sang suami menikah lagi karena harta yang berlim­pah padanya. Konlifk harta akan muncul. Ibuk-ibuk yang muda akan menyiapkan secara diam-diama anak laki-lakinya untuk merbut harta ayahnya.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Sama halnya juga dengan istrinya yang kedua. Jika sudah begini maka nampak sulit untuk membuat anak itu berperilaku baik. Masalah transfer moral ber­masalah saat anak tadi hasil per­nikahan siri, hasil dari hubungan gelap dimana keabsahannnya tidak diakui. Nikah siri menjadi alasan agar terbebas dari zina. Memang begitu adanya namun nikah siri ini justru melemahkan tranfer nilai moral. Perempuan yang nikah siri tidak tercatat se­cara jelas. Anak-anaknya akan kesulitan untuk dapat akses fasili­tas sosial. Pihak laki tidak punya fungsi secara sosial untuk terlibat dalam mendidik anak. Ayah dan ibunya juga tidak maksimal. Pi­hak yang peremuan juga bisa saja tidak tau.

Anak akan minder dan sulit untuk menunjukkan identitas dirinya. Berpengaruh terhadap kepercayaan dirinya dalam adap­tasi lingkungan sosial. Bagaimana dengan kasus perzinaan. Meng­hasilkan anak dan anak itu sama sekali tidak dapat pengakuan. Bahkan ayah dan ibunya enggan untuk bertanggungjawab. Jika­pun ada tanggungjawab laki na­mun karena keterpaksaan saja. Akhirnya ia mau menikahinya meski sudah hamil. Anak hasil itu akan beda dengan anak hasil menikah biasa. Yang penting sah secara hukum negara namun hu­kum agama tidak akan pernah sah. Mengapa demikian rusaknya perilaku manusia kini.

Terakhir, bagaimana dengan anak yang ditinggal oleh ibu nya karena ibunya meninggal dunia. Ia akan dibesarkan oleh ayah saja. Atau ia dibesarkan oleh Ibu saja karena ayahnya sudah meninggal dunia. Namun tetap akan lebih baik dibandingkan dengan anak yang ditinggal karena poligami dan bercerai. Setidaknya anak tadi bebas ganguan dari pihak lain. Jika kita lihat kini banyaknya perilaku brutal anak, perilaku brutal orang dewasa dan yang tua maka bisa kita pertanyakan kelu­arga yang mana kini ia. Pastinya ada masalah pada keluarganya sehingga anak tadi justru melaku­kan pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, begal, judi dan mi­num minuman keras serta makan makanan yang tidak halal.

Didikan ayah dan ibu dan ke­luarga sedarah tadilah yang perlu dipertanyakan dan diperbaiki. Kedepannya, pemerintah harus membentuk lembaga konseling keluarga. Lebaga ini dimungkink­an untuk memberikan bimbingan kepada keluarga yang mempu­nyai kasus seperti diatas. Gratis dan pemerintah yang menjamin. Lembaga bimbingan konseling dan keluarga inilah yang belum terbentuk. Padahal harusnya ada hal ini. (*)

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================