BANYAK orang tetap merasa gelisah setelah semalaman berdzikir dan mengagungkan asma Allah. Mengapa? Menurut Dr H. Ahmad Imam Mawardi, mungÂkin mereka berdzikirnÂya hanya disampaikan dengan bahasa mulut. Sementara dzikir itu bahasa rasa, bahasa kalbu. Ketika kalimat dzikir diucapkan denÂgan bahasa rasa, sirna sudah kepenatan, keÂsedihan, penderitaan, dan kegalauan.
Kemahasucian Allah, keterpujian AlÂlah, keesaan Allah dan kebesaran Allah menghalangi akal untuk berlarut dalam keputusasaan karena tidak mampunya akal mengatur dan melogikakan kehidupan. KetÂerpujian Allah mengantarkan akal dan hati kita untuk tak mau menyalahkan aturan dan ketetapan Allah. Takdir yang terjadi adalah sesuatu yang terindah yang seringkali tak bisa langsung dipahami dan diketahui hikÂmahnya. Kemahaesaan Allah menjadikan kita tak perlu sibuk menghama kepada selain Allah. Sementara kemahabesaran Allah menÂjadikan semua masalah menjadi kecil dan tak perlu membuat kita stress dan depresi.
Jadikan dzikir kita bukan hanya bahasa mulut, melainkan pula dzikir hati dan dzikir rasa. Jadikan pujian kita kepada Allah adaÂlah pujian yang total setotal sifat keterpuÂjian yang melekat kepada-Nya. Dzikir seperti inilah yang akan menjadikan kita benar-beÂnar berada dalam jaminan pengaturan Allah.
