JAKARTA TODAY– MahÂkamah Agung (MA) akhÂirnya mulai kepanasan. Royani, Sopir Sekretaris MA Nurhadi itu dipecat dari pegawai negeri sipil (PNS). Nasibnya pun sepenuhnya diserahkan ke Komisi PemberanÂtasan Korupsi (KPK). Lembaga tinggi negara pimpinan Hatta Ali itu tidak mau lagi dikaitkan denÂgan masalah Royani.
Pemecatan Royani disamÂpaikan lansung Juru Bicara ( Jubir) MA Suhadi. Menurut dia, Royani sudah melangÂgar disiplin PNS, karena tidak masuk kerja selama 42 hari. “Tidak masuk kerja tanpa ketÂerangan apa pun,†ungkapnya, dalam keterangan pers, MinÂggu(29/5/2016).
Pihaknya tidak memgetaÂhui kenapa staf MA itu tidak masuk kerja. Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53/2010 tentang displin PNS, perbuatan Royani sudah meÂlanggar displin. Lembaganya menjatuhi sanksi pemecatan dari jabatan sebagai PNS. SuÂrat Keterangan (SK) pemecatan sudah ditandatangi Ketua MA, seÂhingga secara resmi Royani bukan pegawai negeri lagi. Mulai sekarang RoyÂani sudah tidak ada hubunÂgannya lagi dengan MA, karena dia bukan lagi p e g awa i M a h k a Âmah.
Apakah pemecatan Royani terkait dengan kasus suap di PengaÂdilan Negeri (PN) JaÂkarta Pusat yang mencatut nama Sekretaris MA Nurhadi? Suhadi mengatakan, pihaknya hanya berwenang dalam memberikan sanksi displin PNS. Terkait dengan dugaan suap yang menyeret nama Royani, pihaknya tidak mempunÂyai kewenangan. MA menyerahÂkan sepenuhnya pengusutan kaÂsus tersebut kepada KPK.
Terkait dengan keberadaan Royani, Suhadi mengatakan, piÂhaknya tidak megetahuinya. Jika lembaganya mengetahuinya, piÂhaknya pasti akan meminta Royani
memenuhi panggilan Komisi antiraÂsuah. Tersiar kabar bahwa Royani kaÂbur ke luar negeri, Suhadi sendiri beÂlum mengetahuinya. “Saya baru tahu dari Anda,†tuturnya.
Suhadi menegaskan, pihaknya meÂnyerahkan sepenuhnya penanganan kasus suap kepada KPK. Begitu juga tentang status Nurhadi. MA tidak akan mengintervensi kasus tersebut. Dia mempersilahkan KPK mengusut kaÂsus itu. “Kami tidak akan ikut campur. Sejak awal kami terbuka. Ketika KPK melakukan penggeledahan di ruang Pak Nurhadi, kami juga mempersilahÂkan,†paparnya.
Sementara itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga ikut terjun mengusut kasus terseÂbut. Lembaga intelijen keuangan itu sedang mengusut transaksi keuangan Nurhadi dan Royani. “Kami diminta KPK untuk menelusurinya,†ungkap Ketua PPATK Muhammad Yusuf, kemaÂrin.
Penelusuran rekening Nurhadi suÂdah selesai dilakukan. Laporan hasil analisis (LHA) sudah diserahkan ke KPK. Namun Yusuf enggan menjelasÂkan isi hasil analisis itu. Dia menÂgatakan, sebelumnya sudah dilakukan penggeledahan di rumah Nurhadi dan ditemukan uang sebesar Rp 1,7 miliar. Ia tidak bisa memastikan apakah uang itu hasil korupsi. Namun, semua orang bisa menilai uang sebanyak itu kenapa disimpan di rumah. “Anda bisa meÂnilainya sendiri,†terangnya.
Sebelumnya, dia juga pernah menÂelusuri Kejaksaan istri Nurhadi. HasilÂnya ia serahkan ke Kejaksaan Agung. Namun, Kejagung berkesimpulan, uang itu bukan hasil korupsi, tapi hasil dari bisnis burung walet keluarga Nurhadi. Yusuf menambahkan, sekarang dia maÂsih mendalami kekayaan Royani. Tidak lama lagi lama akan selesai. Pihaknya akan secepatnya menyerahkannya ke KPK.
Sementara itu, KPK sendiri tamÂpaknya tak proaktif menindaklanjuti orang-orang yang berupaya merintangi penyidikan, termasuk sejumlah pihak yang berkaitan dengan Nurhadi.
Nama Nurhadi kerap dikaitkan denÂgan perkara suap di lembaga peradilan. Untuk kasus-kasus tersebut, Nurhadi juga telah diperiksa sebagai saksi oleh penyidik KPK. Nurhadi diperiksa sebÂagai saksi dalam kasus suap penundaan pengiriman salinan kasasi dalam perkaÂra korupsi pembangunan pelabuhan di Nusa Tenggara Barat, tahun 2007-2008 dengan Direktur PT Citra Gading AsriÂtama, Ichsan Suaidi, sebagai terdakwa.
Dalam kasus tersebut, KPK menangÂkap tangan Kasubdit Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna. Sementara itu, Nurhadi juga diduga mengetahui perkara suap yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Ia pun telah diperiksa KPK dan dicegah agar tidak bepergian ke luar negeri.
Jokowi Diminta Terbitkan Perppu
Presiden Joko Widodo (Jokowi) didesak turun tangan mengatasi maraÂknya praktik mafia peradilan di MA.
Mantan Ketua Mahkamah KonstituÂsi (MK) Mahfud MD menyerukan perlu dibuatnya Peraturan Pemerintah PengÂganti Undang-undang (Perppu) untuk menyelamatkan kondisi peradilan InÂdonesia. Ide ini rupanya juga disambut positif kalangan dalam MA.
“Saya pikir, perppu sudah saatnya dikeluarkan. Kondisi peradilan di IndoÂnesia saat ini dibutuhkan pembenahan menyeluruh,†kata pihak internal MA, hakim agung Gayus Lumbuun, kepada wartawan, Minggu (29/5/2016).
Dalam dua bulan terakhir, KPK berhasil mengungkap berbagai modus dagang perkara di peradilan. Dimulai dengan ditangkapnya Kasubdit PerÂdata MA Andri Tristianto Sutrisna saat menerima suap Rp 400 juta pada tenÂgah Februari 2016. Dari penangkapan ini, KPK kemudian membuka percakaÂpan BBM Andri dengan anggota staf kepaniteraan MA yang bernama KosiÂdah, percakapan itu menyebut nama-nama hakim agung dalam pusaran praktik dagang perkara.
Dilanjutkan dengan operasi KPK yang menangkap Panitera PN Jakpus Edy Nasution yang mengantar peÂnyidik KPK ke rumah Sekretaris MA Nurhadi. Dari rumah itu, KPK menÂemukan sejumlah uang, termasuk yang ada di kloset. Kejutan terakhir yaitu KPK menangkap dua hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu awal pekan lalu yaitu Janner Purba dan Toton. Janner yang juga Ketua PN Kepahiang sedang diproÂmosikan menjadi Ketua PN Kisaran, SuÂmatra Utara.
“Perppu ini harus memuat pola promosi dan mutasi para hakim. Kasus Janner menunjukkan promosi dan muÂtasi MA bermasalah,†ujar Gayus.
Menurut data yang dipegang GaÂyus, saat ini MA membawahi 8.042 orang hakim, 50-an hakim agung di tingkat MA, 9.291 panitera dan 14.869 PNS yang tersebar di seluruh IndoneÂsia. Mereka tersebar di 30 pengadilan tingkat banding, dan 352 pengadilan tingkat pertama. Untuk mengubah aparat pengadilan yang sangat gemuk itu, diperlukan perppu yang mengatur perubahan di pengadilan secara revÂolusioner.
(Yuska Apitya Aji)
Bagi Halaman