47Ikut-Politik-Pilkada-PNS-dipecatJAKARTA TODAY– Mah­kamah Agung (MA) akh­irnya mulai kepanasan. Royani, Sopir Sekretaris MA Nurhadi itu dipecat dari pegawai negeri sipil (PNS). Nasibnya pun sepenuhnya diserahkan ke Komisi Pemberan­tasan Korupsi (KPK). Lembaga tinggi negara pimpinan Hatta Ali itu tidak mau lagi dikaitkan den­gan masalah Royani.

Pemecatan Royani disam­paikan lansung Juru Bicara ( Jubir) MA Suhadi. Menurut dia, Royani sudah melang­gar disiplin PNS, karena tidak masuk kerja selama 42 hari. “Tidak masuk kerja tanpa ket­erangan apa pun,” ungkapnya, dalam keterangan pers, Min­ggu(29/5/2016).

Pihaknya tidak memgeta­hui kenapa staf MA itu tidak masuk kerja. Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53/2010 tentang displin PNS, perbuatan Royani sudah me­langgar displin. Lembaganya menjatuhi sanksi pemecatan dari jabatan sebagai PNS. Su­rat Keterangan (SK) pemecatan sudah ditandatangi Ketua MA, se­hingga secara resmi Royani bukan pegawai negeri lagi. Mulai sekarang Roy­ani sudah tidak ada hubun­gannya lagi dengan MA, karena dia bukan lagi p e g awa i M a h k a ­mah.

Apakah pemecatan Royani terkait dengan kasus suap di Penga­dilan Negeri (PN) Ja­karta Pusat yang mencatut nama Sekretaris MA Nurhadi? Suhadi mengatakan, pihaknya hanya berwenang dalam memberikan sanksi displin PNS. Terkait dengan dugaan suap yang menyeret nama Royani, pihaknya tidak mempun­yai kewenangan. MA menyerah­kan sepenuhnya pengusutan ka­sus tersebut kepada KPK.

Terkait dengan keberadaan Royani, Suhadi mengatakan, pi­haknya tidak megetahuinya. Jika lembaganya mengetahuinya, pi­haknya pasti akan meminta Royani

memenuhi panggilan Komisi antira­suah. Tersiar kabar bahwa Royani ka­bur ke luar negeri, Suhadi sendiri be­lum mengetahuinya. “Saya baru tahu dari Anda,” tuturnya.

Suhadi menegaskan, pihaknya me­nyerahkan sepenuhnya penanganan kasus suap kepada KPK. Begitu juga tentang status Nurhadi. MA tidak akan mengintervensi kasus tersebut. Dia mempersilahkan KPK mengusut ka­sus itu. “Kami tidak akan ikut campur. Sejak awal kami terbuka. Ketika KPK melakukan penggeledahan di ruang Pak Nurhadi, kami juga mempersilah­kan,” paparnya.

BACA JUGA :  Tanggal Tua Masak yang Sederhana Dengan Tumis Sawi Putih Jagung Muda yang Lezat dab Sedap

Sementara itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga ikut terjun mengusut kasus terse­but. Lembaga intelijen keuangan itu sedang mengusut transaksi keuangan Nurhadi dan Royani. “Kami diminta KPK untuk menelusurinya,” ungkap Ketua PPATK Muhammad Yusuf, kema­rin.

Penelusuran rekening Nurhadi su­dah selesai dilakukan. Laporan hasil analisis (LHA) sudah diserahkan ke KPK. Namun Yusuf enggan menjelas­kan isi hasil analisis itu. Dia men­gatakan, sebelumnya sudah dilakukan penggeledahan di rumah Nurhadi dan ditemukan uang sebesar Rp 1,7 miliar. Ia tidak bisa memastikan apakah uang itu hasil korupsi. Namun, semua orang bisa menilai uang sebanyak itu kenapa disimpan di rumah. “Anda bisa me­nilainya sendiri,” terangnya.

Sebelumnya, dia juga pernah men­elusuri Kejaksaan istri Nurhadi. Hasil­nya ia serahkan ke Kejaksaan Agung. Namun, Kejagung berkesimpulan, uang itu bukan hasil korupsi, tapi hasil dari bisnis burung walet keluarga Nurhadi. Yusuf menambahkan, sekarang dia ma­sih mendalami kekayaan Royani. Tidak lama lagi lama akan selesai. Pihaknya akan secepatnya menyerahkannya ke KPK.

Sementara itu, KPK sendiri tam­paknya tak proaktif menindaklanjuti orang-orang yang berupaya merintangi penyidikan, termasuk sejumlah pihak yang berkaitan dengan Nurhadi.

Nama Nurhadi kerap dikaitkan den­gan perkara suap di lembaga peradilan. Untuk kasus-kasus tersebut, Nurhadi juga telah diperiksa sebagai saksi oleh penyidik KPK. Nurhadi diperiksa seb­agai saksi dalam kasus suap penundaan pengiriman salinan kasasi dalam perka­ra korupsi pembangunan pelabuhan di Nusa Tenggara Barat, tahun 2007-2008 dengan Direktur PT Citra Gading Asri­tama, Ichsan Suaidi, sebagai terdakwa.

Dalam kasus tersebut, KPK menang­kap tangan Kasubdit Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna. Sementara itu, Nurhadi juga diduga mengetahui perkara suap yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Ia pun telah diperiksa KPK dan dicegah agar tidak bepergian ke luar negeri.

Jokowi Diminta Terbitkan Perppu

BACA JUGA :  Pj. Bupati Bogor Ingatkan PPPK untuk Melayani Masyarakat Kabupaten Bogor Secara Optimal

Presiden Joko Widodo (Jokowi) didesak turun tangan mengatasi mara­knya praktik mafia peradilan di MA.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitu­si (MK) Mahfud MD menyerukan perlu dibuatnya Peraturan Pemerintah Peng­ganti Undang-undang (Perppu) untuk menyelamatkan kondisi peradilan In­donesia. Ide ini rupanya juga disambut positif kalangan dalam MA.

“Saya pikir, perppu sudah saatnya dikeluarkan. Kondisi peradilan di Indo­nesia saat ini dibutuhkan pembenahan menyeluruh,” kata pihak internal MA, hakim agung Gayus Lumbuun, kepada wartawan, Minggu (29/5/2016).

Dalam dua bulan terakhir, KPK berhasil mengungkap berbagai modus dagang perkara di peradilan. Dimulai dengan ditangkapnya Kasubdit Per­data MA Andri Tristianto Sutrisna saat menerima suap Rp 400 juta pada ten­gah Februari 2016. Dari penangkapan ini, KPK kemudian membuka percaka­pan BBM Andri dengan anggota staf kepaniteraan MA yang bernama Kosi­dah, percakapan itu menyebut nama-nama hakim agung dalam pusaran praktik dagang perkara.

Dilanjutkan dengan operasi KPK yang menangkap Panitera PN Jakpus Edy Nasution yang mengantar pe­nyidik KPK ke rumah Sekretaris MA Nurhadi. Dari rumah itu, KPK men­emukan sejumlah uang, termasuk yang ada di kloset. Kejutan terakhir yaitu KPK menangkap dua hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu awal pekan lalu yaitu Janner Purba dan Toton. Janner yang juga Ketua PN Kepahiang sedang dipro­mosikan menjadi Ketua PN Kisaran, Su­matra Utara.

“Perppu ini harus memuat pola promosi dan mutasi para hakim. Kasus Janner menunjukkan promosi dan mu­tasi MA bermasalah,” ujar Gayus.

Menurut data yang dipegang Ga­yus, saat ini MA membawahi 8.042 orang hakim, 50-an hakim agung di tingkat MA, 9.291 panitera dan 14.869 PNS yang tersebar di seluruh Indone­sia. Mereka tersebar di 30 pengadilan tingkat banding, dan 352 pengadilan tingkat pertama. Untuk mengubah aparat pengadilan yang sangat gemuk itu, diperlukan perppu yang mengatur perubahan di pengadilan secara rev­olusioner.

(Yuska Apitya Aji)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================