NILAI tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat menguat dalam beberapa hari ini. Kemarin, rupiah juga sempat menguat 57 poin menjadi Rp 13.212 per dolar Amerika Serikat dalam transaksi antarbank di Jakarta.
Oleh : Yuska Apitya
[email protected]
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo pun tidak menampik, penguatan rupiah tersebut disebabkan sentimen mengenai keputusan bank sentral AS, Federal Reserve, terkait suku bunga acuan
Menurut Agus, awalnya pasar menduga, The Fed akan segera menaikkan suku bunga acuan. Akan tetapi, berkaca dari data perekonomian dan tenaga kerja terakhir yang dirilis Pemerintah AS dan cenderung mengecewakan, tamÂpaknya The Fed mengurungkan niat untuk segera menaikkan suku bunga acuan.
“Ini murni karena sentimen, karena eksternal,†kata Agus di Gedung DPR/MPR, kemarin.
Agus berpendapat, penguaÂtan rupiah kali ini bersifat tempoÂrer. Kuartal II, kata Agus, memang menjadi perhatian lantaran banyak korporasi yang memiliki kewajiban pembayaran utang ke luar negeri. Dengan demikian, pergerakan uang tersebut banyak berpengaruh pula terhadap pergerakan nilai tukar. Meski demikian, Agus memprediksi, kondisi akan normal kembali pada kuartal III 2016.
Berdasarkan kurs tengah BI, poÂsisi nilai tukar berada pada level Rp 13.478 per dollar AS pada tanggal 6 Juni 2016. Selanjutnya, rupiah kemÂbali bergerak ke titik penguatan pada posisi Rp 13.375 per dollar AS sehari kemudian, yakni tanggal 7 Juni 2016
Akhirnya, nilai tukar rupiah kemÂbali melanjutkan penguatan hingga berada pada posisi Rp 13.241 per dolÂlar AS pada 8 Juni 2016.
Ekonom dari Samuel Sekuritas, Rangga Cipta, mengatakan harga minyak mentah dunia yang kembali naik menjadi salah satu faktor penoÂpang rupiah. Harga minyak mentah jenis WTI Crude pagi ini naik 0,66 persen menjadi 51,57 dolar Amerika per barel dan Brent Crude menguat 0,44 persen di posisi 52,74 dolar Amerika per barel.
Rangga menjelaskan, ruang penguatan nilai tukar rupiah masih tersedia dengan adanya sentimen positif dari dalam negeri. Naiknya indeks keyakinan konsumen pada Mei 2016 membuka peluang pertumÂbuhan ekonomi yang lebih baik pada kuartal kedua 2016.
Selain itu, ucap dia, pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan yang cukup lancar antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat turut mengangkat optimisme penyelesaÂian kebijakan mengenai pengampuÂnan pajak.
Di sisi lain, ujar dia, pelemahan berbagai data ekonomi Amerika yang secara umum masih belum baik menambah tekanan pada nilai tukar dolar Amerika terhadap mayoritas mata uang utama dunia.
Analis Platon Niaga Berjangka, Lukman Leong, menjelaskan, seÂcara umum, sentimen positif masih menyelimuti rupiah mengingat funÂdamental ekonomi di dalam negÂeri cenderung membaik di tengah gejolak ekonomi global. “DPR dan pemerintah yang sepakat pertumÂbuhan ekonomi tahun 2016 sebesar 5,2 persen juga cukup dinilai realisÂtis oleh pelaku pasar,†tuturnya.
Sementara itu, Gubernur FederÂal Reserve Janet Yellen mengatakan, pada Senin, 6 Juni 2016, bahwa keÂnaikan suku bunga AS berikutnya mungkin dalam perjalanan. Tapi ia tidak menyebutkan tentang waktu kenaikannya, demikian dilaporÂkan Xinhua. “
Jika data yang masuk konsisten dengan kondisi penguatan pasar tenaga kerja dan inflasi membuat kemajuan menuju target 2,0 persÂen kami, seperti yang saya harapÂkan, kenaikan bertahap lebih lanjut suku bunga federal fund cendÂerung tepat,†kata Yellen dalam pidato publik terakhirnya sebelum pertemuan kebijakan Fed pada peÂkan depan.
Namun Yellen tidak memberikan kerangka waktu untuk menaikkan suku bunga seperti yang dia lakukan pada Mei lalu, yang ditafsirkan banÂyak pengamat pasar sebagai “dovÂishâ€.
Indeks dolar Amerika, yang menÂgukur greenback terhadap enam mata uang utama, turun 0,25 persen menjadi 93,591 pada akhir perdaganÂgan.
Pada akhir perdagangan New York, euro naik menjadi 1,1400 doÂlar dari 1,1365 dolar pada sesi sebeÂlumnya dan pound sterling Inggris turun menjadi 1,4508 dolar dari 1,4564 dolar. Dolar Australia naik ke 0,7472 dolar dari 0,7455 dolar. Dolar dibeli 106,86 yen Jepang, lebih renÂdah daripada 107,29 yen pada sesi sebelumnya. Dolar jatuh ke 0,9587 franc Swiss dari 0,9650, dan turun tiÂpis menjadi 1,2711 dolar Kanada dari 1,2767.
Harga minyak dunia naik ke tingkat tertinggi baru 2016 untuk hari ketiga berturut-turut pada Rabu atau Kamis pagi WIB, 9 Juni 2016, akibat gangguan pasokan di Nigeria dan data yang menunjukkan perseÂdiaan minyak Amerika Serikat turun.
Delta Niger Avengers, sebuah kelompok pemberontak yang telah menyerang sejumlah fasilitas minyak di Nigeria, menolak tawaran gencatÂan senjata dengan para pejabat dan mengklaim mereka menyerang seÂbuah target baru, lapor AFP dan XiÂnhua.
Gangguan-gangguan telah meÂmangkas produksi minyak di anggota OPEC Nigeria dari 2,2 juta barel per hari menjadi 1,6 juta barel per hari. Patokan AS, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk penÂgiriman Juli naik 87 sen menjadi beÂrakhir di US$ 51,23 per barel di New York Mercantile Exchange.
Sementara itu, patokan Eropa, minyak mentah Brent North Sea unÂtuk pengiriman Agustus bertambah US$ 1,07 menjadi US$ 52,51 per barel di perdagangan London.
Data persediaan Amerika Serikat menegaskan gambaran pengetatan pasar, dengan stok komersial AS jatuh sebanyak 3,2 juta barel untuk pekan yang berakhir 3 Juni menjadi 532,5 juta barel, menurut DeparteÂmen Energi AS (DoE).
Persediaan minyak mentah di Cushing, Oklahoma, titik pengiriman minyak berjangka AS dan pusat peÂnyimpanan minyak terbesar di negaÂra itu, juga turun 1,36 juta barel. Para analis mengatakan persediaan AS bisa jatuh lebih jauh karena ekonomi terbesar dunia itu bergerak menuju puncak musim mengemudi musim panas dan kilang-kilang meningkatÂkan produksi bensin.
“Peningkatan pemanfaatan kilang di AS kini mulai berdampak pada persediaan karena kita meÂlihat penarikan-penarikan,†kata konsultan energi Houston, Andy Lipow. “Saya perkirakan tren ini akan berlanjut selama sisa musim panas ketika para penyuling telah berakhir dengan musim pemeliÂharaan mereka, meningkatkan perÂmintaan untuk minyak mentah,†sambungnya.
Harga minyak mentah telah melonjak lebih dari 90 persen dari tingkat terendah multi-tahun pada Februari, karena dolar AS yang lebÂih lemah, berlanjutnya penurunan produksi di AS, dan adanya gangÂguan-gangguan tak terduga.(*)
Bagi Halaman