JAKARTA, TODAY—Gejolak harga daging sapi masih terjadi di pasar. Bahkan harga dagÂing ternak yang satu ini masih bertahan Rp 120.000 per kilogram (kg) sejak beberapa peÂkan lalu.
Usaha pemerintah dengan melakukan impor daging sapi beku dan operasi pasar di berbagai daeÂrah juga belum membuahkan haÂsil. Selain itu yang perlu dilakukan adalah memastikan ketersediaan pasokan daging sapi aman saat puasa hingga Lebaran sehingga tidak membuat lonjakan harga di pasar.
“Kalau daging kan pemerintah telah melakukan operasi pasar besar-besaran. Memang bagus untuk menekan harga dan ini diÂtunggu sama warga dan ini ngÂgak cukup selama puasa saja, haÂrus berkelanjutan. Harus dibarengi dengan saat yang sama mengidenÂtifikasi akar permasalahannya itu apa. Karena selama ini yang belum terselesaikan itu permasalahan pasokan di Indonesia,†jelas Ketua Asosiasi Pedagang Pasar IndoneÂsia (APPSI), Sandiaga Uno saat diÂhubungi detikFinance di Jakarta, Minggu (12/6/2016).
Menurut pengusaha nasional ini, pemerintah perlu bekerja sama dengan mengimpor sapi bakalan dari beberapa negara proÂdusen untuk kemudian digemukÂkan pada perusahaan feedloter (penggemukan sapi) di Indonesia.
Hal ini, lanjut Sandi, dinilai ampuh untuk menekan gejolak harga sapi di pasar. “Indonesia nggak memiliki daya saing untuk memproduksi sapi bakalan, tapi untuk penggemukan kita bagus. Jadi gini aja kita kerja sama denÂgan sesama produsen sapi bakalan seperti Australia, Brasil mengirim sapi bakalan digemukkan di sini karena nilai tambahnya besar banÂget di sini,†katanya.
Selain itu, lanjut Sandi, para pejabat daerah seperti Gubernur dan Bupati juga harus mengetahui kebutuhan daging sapi di daerah mereka masing-masing, sehingga tidak ada celah masuk bagi para spekulan yang ingin memainkan harga. Beberapa langkah ini diÂjamin dapat menekan harga dagÂing sapi di bawah Rp 100.000 per kilogram (kg) untuk setahun ke depan.
“Bisa banget, perlu jangka waktu yang panjang untuk ini mungkin satu tahun ke depan kita fokus di pengamanan pasokan dan feedloternya juga. Terus kedua adalah distribusinya diperpendek supaya nggak terlalu banyak. Dari feedloter ke pedagang pasar atau bisa pakai teknologi yang bisa dipakai supaya daging-daging segar itu bisa ke konsumen,†tuÂtupnya.
Sandi menilai melonjaknya permintaan produk pangan saat puasa karena angka belanja maÂsyarakat meningkat untuk memÂbeli persediaan makanan. Hasrat masyarakat untuk membelanjakan uangnya secara berlebihan juga diikuti dengan perilaku pedagang yang meningkatkan jumlah pasoÂkan di tokonya.
“Kita lihat dari tahun ke taÂhun biasanya peningkatan 20%. Problemnya itu karena ada penÂingkatan kebutuhan sampai 20% rata-rata konsumen itu menyetok berlebih. Karena mereka menyÂetok berlebih, supplier menyÂetoknya berlebih juga, jadi ada multiplier effect,†tambahnya.
Selain itu tingginya konsumsi masyarakat saat puasa juga diÂlatarbelakangi oleh membludaÂknya acara berbuka puasa bersaÂma di setiap daerah. Tuan rumah juga cenderung mempersiapkan makanan melebihi jumlah tamu yang datang sehingga menyebabÂkan banyak makanan yang terÂbuang sia-sia.
“Karena psikologis kan dia puasa terus dia mengundang orang berbuka puasa secara kumÂpul keluarga terus mereka antiÂsipasi kalau puasa konsumsinya banyak, tapi banyak sekali yang terbuang jadi mubazir. Aku meÂlihat di banyak acara buka puasa makanannya nggak abis, yang yaÂtim piatu nggak mendapat makanÂan sementara yang ini dibuang-buang,†kata Sandi.
Sandi juga menambahkan bahwa bukan hanya pedagang saja yang perlu dipastikan ketÂersediaan pangannya, perilaku konsumen juga harus dibenahi agar tidak perlu konsumtif dalam membeli makanan saat puasa. “Jadi yang harus diingatkan bukan hanya supplier untuk memastikan pasokan, tapi juga konsumennya juga nggak perlu berlebihan,†imÂbuhnya. (*)
Bagi Halaman