Untitled-16Pemerintah secara resmi telah mengajukan Rancan­gan Undang-undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pembahasan tahap awal pun telah dibahas.

Pengajuan RUU merupakan salah satu yang dipersyaratkan oleh anggota dewan, sebelum pemba­hasan RUU pengampunan pajak atau tax amnesty. Ini dianggap penting, mengingat harus ada pe­rubahan mendasar dalam sistem perpajakan di Indonesia. Salah satu subtansi dari RUU KUP adalah soal kelembagaan. Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) akan berubah menjadi lembaga sendiri, yang be­rarti lepas dari struktur Kementeri­an Keuangan (Kemenkeu).

“Ke depan masalah lebih kom­pleks, seperti jumlah wajib pajak akan meningkat, dan dibutuhkan lembaga tersendiri,” kata Suryo Utomo, Staf Ahli Menteri Keuan­gan Bidang Kepatuhan Pajak, Senin

bukan barang baru. Tadinya ren(13/6/2016). Hal ini sebenarnya cana tersebut sempat muncul kepermukaan pada masa pemer­intahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tepatnya di akhir-akhir masa pemerintahan. ­

Ditjen Pajak dianggap perlu kekuatan untuk menopang tu­gas yang dianggap sangat berat. Terutama dalam pengumpulan pajak dengan nilai ribuan triliun. Apalagi sejak 2008, Ditjen Pajak tidak pernah lagi mencapai target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kekuatan yang dimaksud, an­tara lain terkait dengan penam­bahan jumlah Sumber Daya Ma­nusia (SDM), peningkatan sarana dan prasarana, pengumpulan data, aktivitas penyidikan dan se­bagainya.

Berdasarkan RUU KUP, pada Bab XXIII tertulis lembaga pa­jak mulai beroperasi efektif pal­ing lambat 1 Januari 2018. Selisih waktu sekitar 1,5 tahun akan di­pergunakan untuk transformasi. Meliputi tugas, fungsi dan we­wenang yang selama ini berada pada Ditjen Pajak.

BACA JUGA :  Potato Wedges ala Kafe, Cemilan Renyah dan Gurih yang Bikin Nagih

Di samping itu transfor­masi juga akan meliputi semua kekayaan negara yang dikelola, dokumen negara yang diadmin­istrasikan, dimiliki serta digu­nakan, dan semua aparatur sipil negara.

Nama Dirjen Pajak akan ber­ganti menjadi Kepala Lembaga. Kemudian, kewenangan Menteri Keuangan untuk meminta data, informasi, bukti dan atau ket­erangan yang berkaitan dengan perbankan beralih menjadi ke­wenangan Kepala Lembaga Pajak.

Rancangan Undang-undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang dia­jukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meling­kupi gagasan ketentuan pidana bagi pembayar pajak yang tidak memenuhi kewajibannya.

Pasal 107 berbunyi, orang yang tidak mendaftarkan diri untuk memiliki Nomor Identi­tas Pembayar Pajak (NIPP), ti­dak melaporkan usaha dan tidak mendaftarkan objek, maka diang­gap menimbulkan kerugian nega­ra. Pidana penjara paling lambat 4 tahun dan dengan minimal satu kali sesuai kerugian negara.

Tidak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) atau me­nyertakan keterangan yang tidak benar, maka akan dikenakan pidana penjara maksimal enam tahun dan denda minimal satu kali dari jumlah kerugian keuan­gan negara. Bagi setiap orang yang tidak atau kurang menyetor­kan pajak yang telah dipotong dikenakan pidana penjara maksi­mal 7 tahun dan denda minimal satu kali dari jumlah kerugian keuangan negara.

Sementara bagi setiap orang yang dengan sengaja menerbit­kan atau menggunakan faktur pajak, bukti pemotongan pajak dan bukti pembayaran yang ti­dak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, maka dikenakan pidana penjara maksimal 15 ta­hun dan denda paling sedikit satu kali dari jumlah kerugian keuan­gan negara.

BACA JUGA :  Makan Siang dengan Ayam Suwir Bumbu Pedas Asam yang Bikin Menggugah Selera Keluarga

Lembaga pajak yang diran­cang berdasarkan Rancangan Un­dang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) diperbolehkan untuk melakukan penyidikan terhadap pembayar pajak. Termasuk melakukan tin­dakan penangkapan.

Proses penyidikan merupak­an tindak lanjut dari pemeriksaan bukti permulaan yang cukup atas suatu peristiwa tindak pidana pa­jak. Penyidikan dilakukan oleh penyidik pajak. Kewenangan penyidik cukup luas, mulai dari menerima, mencari, mengum­pulkan dan atau meneliti keteran­gan atau laporan mengenai orang pribadi atau badan. Selanjutnya meminta keterangan, pemer­iksaan buku, catatan dan atau dokumen, penggeledahan, peny­itaan serta pencekalan.

Tambahan kewenangan dalam pengajuan regulasi terse­but adalah penyidik pajak berhak untuk melakukan penangkapan dan atau penahanan.

Dalam pasal 102 dijelaskan, penangkapan dan penahanan berkaitan dengan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan atau bukti pembayaran yang tidak ber­dasarkan transaksi yang sebena­rnya. “Setiap pegawai lembaga berhak menangkap pelaku dan mengamankan barang bukti un­tuk segera diserahkan kepada pe­nyidik pajak atau penyidik pajak wajib menangkap pelaku, men­gamankan barang bukti, melaku­kan pemeriksaan dan melakukan tindakan lain sesuai kewenangan­nya,” tulis pasal 102 ayat 1.

Penangkapan dapat dilakukan tanpa surat penangkapan. Pem­bayar pajak yang tertangkap akan diserahkan kemudian kepada pengadilan untuk putusan perka­ra. Ketentuan lebih lanjut akan diatur dengan peraturan Kepala Lembaga. (Yuska Apitya/dtk)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================

1 KOMENTAR

  1. kok kaya gini..sementara koruptor..pengedar narkoba kaga dihukum mati..gila ini…bisa disalahgunakan nich..hadehh…