MASALAH impor sapi menjadi sebuah isu politik saat pimpinan sebuah partai ditangÂkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat perkara suap dalam penentuan kuota daging impor. Ingar-bingar pemberitaan mengenai hal itu pada akhirnya mengarah pada politisasi impor sapi karena dikait-kaitkan dengan prospek partai bersangÂkutan dalam konteks kontestasi politik beberÂapa waktu lalu.
Masalah impor sapi pada galibnya meÂmang sebuah masalah politik, namun dalam lingkup yang lebih besar dibanding sekadar soal kemelut sebuah partai seperti titik fokus selama ini. Impor sapi adalah bagian dari ProÂgram Swasembada Daging Sapi (PSDS) sebagai bagian dari upaya mewujudkan ketahanan pangan.
Tren positif PSDS 2017 pada intinya berisi idealisme terpenuhinya kebutuhan daging yang bersumber dari potensi lokal sebesar 90 persen. Dengan konsep itu, peningkaÂtan produksi sapi di dalam negeri didorong hingga menekan kebutuhan impor sapi hanya pada kisaran 10 persen saja. Latar belakangÂnya adalah fakta menyedihkan betapa di tenÂgah potensi besar pengembangan produksi sapi dalam negeri, ketergantungan Indonesia pada sapi impor malah justru membesar.
Setelah bergulir selama dua tahun sejak tahun 2010, tren ke arah sukses PSDS tamÂpaknya menggembirakan. Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan KerÂbau (PSPK) tahun 2011 dari BPS, jumlah sapi potong nasional adalah 14,8 juta ekor. Jumlah ini sudah melampaui target populasi ternak sapi 2014 sebanyak 14,2 juta ekor guna terwuÂjudnya swasembada daging sapi.
Terlepas dari keraguan sejumlah pihak pada hasil pendataan itu, tren peningkatan populasi sapi tanah air memang terlihat. Ada dua masalah dalam upaya mewujudkan sukÂses PSDS 2017, yaitu produksi dan distribusi. Dari sisi produksi, tidak semua populasi sapi dalam negeri bersifat ready stock. Hal itu terÂjadi karena peternakan rakyat individual tidak sepenuhnya berorientasi komersial dan menÂjadikan sapi sebagai aset yang tidak mudah dijual.
Hampir 90 persen peternakan sapi rakyat di Indonesia adalah peternak yang menjalankÂan usaha peternakan sebagai usaha sambilan. Perlu ada intervensi pemerintah menyiasati upaya ketersediaan sapi ready stock yang berÂsumber dari peternakan rakyat.
Meningkatkan populasi sapi ready stock juga bisa dilakukan dengan memacu peterÂnakan sapi komersial. Hal itu bisa dilakukan dengan mendorong BUMN lebih terlibat di investasi produksi sapi. Di tengah keterbaÂtasan sapi ready stock di tingkat nasional, keterlibatan BUMN dalam `bisnis sapi’ tentu saja merupakan sebuah peluang bisnis menÂjanjikan. Belum lagi, jika bisnis itu bisa dikemÂbangkan tidak semata untuk memenuhi stok daging nasional, namun juga untuk produk-produk olahan seperti sosis dan baso.
Daerah penyangga Kesan `kelangkaan’ daging sapi di tengah tingginya populasi sapi nasional juga terkait dengan masalah distriÂbusi. Kalaupun stok sapi ada, masih dirasakan kendala di sisi transportasi pengangkutan dari sentra-sentra produsen sapi di Jawa dan luar Jawa. Karena itu, saya menilai wajar jika ada ide agar swasembada sapi tidak langsung ber skala nasional dulu, namun ditetapkan per zona.
Pemerintah bisa menciptakan daerah-daerah penyangga pasokan sapi per zona berdasarkan jumlah populasi sapi yang ada. Daerah penyangga menjadi tumpuan ketÂersediaan pasokan daging di zonanya, meski tentu saja secara fleksibel bergerak pada prinÂsip supply and demand. Jika pasokan dagÂing di zonanya aman atau ketika demanddari provinsi di wilayahnya minim, tetap terbuka kemungkinan daerah penyangga memasok daging sapi ke luar zona wilayahnya.
Dengan mengatur adanya daerah peÂnyangga berdasarkan zona ini, jalur distribusi daging sapi antarwilayah niscaya akan lebih mudah, efisien dan irit biaya.
Mengungkap kasus suap kuota impor sapi dan memberantas kartel yang mengendalÂikan harga daging di pasaran memang suatu hal penting yang perlu dilakukan. Namun, merumuskan `politik impor sapi’ yang bisa memutus ketergantungan bangsa ini pada koÂmoditas daging bangsa lain juga tidak kalah strategis dan urgennya. (*)
Bagi Halaman