JAKARTA, TODAY—Kemacetan di Jakarta diyakini menghilangkan potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Bank Dunia mengaku keberatan dan mengeluhkan terbatasnya infrastruktur jalan di IndoÂnesia, terutama di Jabodetabek.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chaves menuturkan, masyarakat DKI Jakarta umumnya menghabiskan waktu minimal 3,5 jam di keÂmacetan.
Menurutnya waktu yang terbuang itu bisa digunakÂan untuk melakukan kegiatan produktif yang bila diaÂkumulasi dalam setahun bisa mendatangkan pendapaÂtan kota hingga USD 3 miliar atau Rp 39,9 triliun (kurs Rp 13.300/ dolar AS).
“Kalau kita bicarakan mengenai biaya yang di JaÂkarta saja tidak menghitung untuk yang lainnya, nilai ekonomi yang hilang dalam setahun sama dengan USD 3 miliar,†kata dia dalam sambutannya pada acara InÂdonesia Sustainable Urbanization Multi Donor Trust
Fund Discussion Forum di KanÂtor Kementerian PUPR, Jakarta, Selasa (14/6/2016).
Dengan dana sebesar itu, banyak pembangunan infrastruktur yang bisa didanai untuk mempercepat laju pertumÂbuhan ekonomi kota itu sendiri. “Rekan saya dalam penelitiannya mengatakan bahwa dana ini bisa digunakan untuk membangun MRT,†sambung dia.
Untuk itu, menurutnya, sangat penting keseriusan pemerintah dalam menangani permasalahan perkotaan dengan cara melakukan pembangunan infrastruktur strategis. Ketersediaan inÂfrastruktur yang baik tentu bakal memÂberikan dampak yang lebih baik lagi bagi perekonomian sebuah kota bahkan negara di atasnya. “Melalui infrastruktur strategis seperti penyediaan air bersih, sanitasi, transportasi umum yang efisien dan perumahan terjangkau, kota-kota di Indonesia dapat mempercepat pertumÂbuhan dan mengangkat jutaan orang keÂluar dari kemiskinan,†pungkas dia.
Rodrigo juga menuturkan, masyaraÂkat DKI Jakarta kurang produktif karena lebih banyak menghabiskan waktunya di jalan. “Anda tahu, terbang dari Jakarta ke Bangkok cukup hanya 3,5 jam. Tapi orang di Jakarta habiskan waktu itu hanya untuk kemacetan,†sindir Rodrigo dalam sambuÂtannya pada acara Indonesia Sustainable Urbanization Multi Donor Trust Fund Discussion Forum di Kantor Kementerian PUPR, Jakarta, Selasa (14/6/2016).
Bila dilihat dari kacamata ekonomi, hilangnya waktu di jalan membuat kesÂempatan meraih peluang pertumbuhan ekonomi ekonomi yang lebih tinggi ikut hilang. Bandingkan saja, bila di China 1% pertumbuhan urbanisasi bisa berkontriÂbusi pada peningkatan PDB hingga 10% karena urbanisasinya bisa dikelola denÂgan baik.
Di Indonesia, karena urbanisasinya belum dikelola dengan baik, kontribusÂinya terhadap pertumbuhan PDB hanya sebesar 4%. “Indonesia hanya menikÂmati sebagian kecil dari potensi manfaat kota yang seharusnya menjadi pusat inoÂvasi perubahan dan pertumbuhan yang tinggi,†kata Rodrigo Chaves.
Namun demikian, bukan berarti JaÂkarta khususnya dan Indonesia pada umÂumnya tidak bisa keluar dari permasalaÂhan akibat urbanisasi tersebut.
Agar Indonesia bisa keluar dari maÂsalah tersebut, pemerataan pembanguÂnan menjadi salah satu kuncinya. Ada banyak kota besar di Indonesia yang baik untuk ditinggali dan memberikan peluang untuk ekonomi yang lebih besar. “Investasi pembangunan infrastruktur belum mengimbangi laju urbanisasi, yang mengakibatkan kemacetan, polusi dan risiko bencana seperti banjir. Ini yang haÂrus diatasi,†pungkas dia.
Sementara kerugian atas macet di Kota Bogor diestimasi Rp150 miliar per buÂlan. “Kira-kira Rp5 miliar per hari. Ini terÂjadi di jalur sentra ekonomi, seperti Tajur dan Jalan Sholeh Iskandar,†kata Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Bogor, Erik Suganda, Selasa (14/6/2016).
Sementara, estimasi kerugian keÂmacetan di Sukabumi, tembus Rp246 miliar. Data Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Sukabumi memperlihatkan tingkat kemacetan arus lalu-lintas harian rata-rata (LHR) mencapai 20 ribu sampai 40 ribu satuan mobil penumpang (SMP).Kerugian yang ditimbulkan akibat kemacÂetan per hari bisa mencapai Rp 675 juta dari kerugian bahan bakar.
Estimasi itu muncul dari jarak tempuh Sukabumi-Bogor. Padahal, jarak tempuh antara Sukabumi-Bogor sepanjang 49 km normalnya satu jam. Jadi kalau mau ke Bogor pengendara terbuang waktu tiga jam dan bisa menghabiskan bahan bakar sekitar 5 liter. Jadi kalau setiap kendaraan misalkan yang lewat tiap harinya 30 ribu kendaraan bisa mencapi Rp 675 juta. KaÂlau setahun bisa mencapai kerugian Rp 246 miliar. (Yuska Apitya Aji)
Bagi Halaman