Aprian juga merasa ada bersikuÂkuh dari JPU terhadap dasar locus delicti di Bogor yang merupakan Yuridiksi PN Tipikor Bandung. “Kan agak gak nyambung, karena kita tidak mempermasalahkan locus delicti dan kewajiban PN Tipikor mana yang berwenang mengadili. Kita permasalahkan adalah peradilan TUN yang berÂwenang mengadili perkara ini,†tandasnya.
Sebelumnya para pengamat hukum di Kota Bogor juga menÂgatakan bahwa dakwaan JPU Kejari Kota Bogor masih kurang kuat dan perlu menyiapkan dua alat bukti untuk memperkuat dakwaannya dalam sidang lanjutan nanti.
Seperti diketahui, kasus korupsi lahan Pasar Jambu Dua ini mencuat setelah adanya kejanggalan dalam pembelian lahan seluas 7.302 meÂter persegi milik Angkahong oleh Pemkot Bogor pada akhir 2014. Ternyata didalamnya telah terjadi transaksi jual beli tanah eks garaÂpan seluas 1.450 meter persegi. Dari 26 dokumen tanah yang disÂerahkan Angkahong kepada PemÂkot Bogor ternyata kepemilikanÂnya beragam, mulai dari SHM, AJB hingga tanah bekas garapan.
Dengan dokumen yang berbeda itu, harga untuk pembebasan laÂhan Angkahong seluas 7.302 meter persegi disepakati dengan harga Rp 43,1 miliar.
Saat ini, tiga orang terdakwa, yakni Hidayat Yudha Priatna (KeÂpala Dinas Koperasi dan UMKM), IrÂwan Gumelar (Camat Bogor Barat) dan Roni Nasrun Adnan (dari tim apraissal tanah) tengah menjalani persidangan.
Didalam surat dakwaan, ketiga nama disebut-sebut ikut terlibat dalam skandal korupsi ini oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni, WaÂlikota Bogor, Bima Arya Sugiarto, Wakil Walikota Bogor, Usmar HariÂman dan Sekertaris Daerah (Sekda) Kota Bogor, Ade Sarip Hidayat.
Berkas kasus korupsi ini juga suÂdah masuk dan turut didalami oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tercium kuat adanya aktor intelektual dalam perkara ini. (AbÂdul Kadir Basalamah)