Untitled-1BANDUNG, TODAY—Selain bensin RON 88 Premium, kini Solar bersubsidi juga akan di­hapus secara bertahap, tidak dilakukan secara tiba-tiba. Seperti halnya Premium yang akan digantikan oleh Pertalite (RON 90) dan Perta­max (RON 92) di 2019, Solar bersubsidi akan dialihkan secara bertahap ke Dexlite.

Dexlite, Solar jenis baru yang diluncurkan Pertamina pada April 2016 lalu, kini telah tersedia di 180 SPBU. Di SPBU yang menjual dexlite, rata-rata penjualan solar sub­sidi berkurang 15%.

“Dexlite ada di 180 SPBU, mengambil porsi 15% solar. Dexlite banyak juga dipakai oleh yang sebelumnya pakai solar nonsubsidi, misalnya kapal 50 Gross Ton (GT),” kata Direktur Pemasaran Per­tamina, Ahmad Bambang, di Terminal BBM Ujung Berung, Bandung, Jumat (24/6/2016).

Konsumsi dexlite rata-rata sehari 4 kiloliter (KL) di setiap SPBU, totalnya sekitar 720 KL per hari. “Konsumsin­ya sekarang rata-rata sehari per SPBU 4 KL, kalau dika­likan 180 jadi 720 KL,” ucap Bambang.

Dexlite didorong untuk menggantikan solar subsidi karena harganya tak ditetap­kan pemerintah, bisa mengi­kuti pasar. Pertamina kerap ‘nombok’ akibat subsidi BBM tak bisa menutup selisih antara harga pasar den­gan harga yang ditetapkan pemerintah. “Kalau jual solar rugi nggak ada janji diganti di APBN. Nggak ada fleksibili­tas,” tukasnya.

BACA JUGA :  Membahas Koalisi, Golkar Ajak Demokrat Bernostalgia di Pilkada 2024

Namun, sampai saat ini, Pertamina masih kesulitan mendorong masyarakat, trans­portasi umum, dan sebagainya untuk beralih dari solar subsidi ke dexlite. Sebab, disparitas harga dexlite dan solar subsidi masih cukup jauh.

Sebenarnya dexlite bisa saja dijual di bawah Rp 6.000/liter. Namun, campuran bio­diesel (FAME) untuk dexlite lebih mahal dibanding untuk solar subsidi. “Saya bisa jual dexlite di bawah Rp 6.000/li­ter kalau ada toleransi harga FAME. Tapi prosesnya pan­jang. Kalau harganya rendah pasti konsumsinya bisa me­ningkat banyak seperti per­talite,” paparnya.

Hingga akhir tahun ini, dexlite ditargetkan bisa menggantikan 10% solar sub­sidi yang kebutuhannya men­capai 15 juta KL per tahun. “Sampai akhir tahun 10% (so­lar subsidi) atau 1,5 juta KL bisa gantikan solar subsidi,” tutupnya.

Produksi Tetap Digenjot

Meski harga minyak an­jlok 69% dalam 18 bulan terakhir, produksi minyak PT Pertamina (Persero) tetap meningkat. Pada 2014 lalu, produksi minyak Pertamina tembus 270.000 barel per hari (bph) dan pada 2015 naik 3% menjadi 278.000 bph, lalu pada Januari-April 2016 ini rata-rata produksi menca­pai 307.000 bph.

Direktur Hulu Pertamina, Syamsu Alam, mengungkap­kan bahwa kenyataan ini menunjukkan daya tahan Pertamina. Sekalipun harga minyak anjlok sampai kisa­ran USD 20/barel, Pertamina masih dapat bertahan. “Sam­pai harga berapa kita masih bisa hidup? Kalau sekarang USD 20/barel, kita masih bisa hidup,” kata Alam, di Jakarta, kemarin.

BACA JUGA :  Wajib Coba! Semur Ayam Saus Tiram yang Lezat untuk Menu Makan Bareng Keluarga

Penyebabnya, biaya produksi minyak Pertamina sangat rendah, buah dari efisiensi. Pada 2013, biaya produksi per barel USD 22,1. Pada 2014 naik sedikit menjadi USD 23,8/barel, kemudian 2015 turun sam­pai USD 20,7/barel. “Ta­hun 2016 ini sampai April rata-rata biaya produksi hanya USD 15,6/barel,” Alam menjelaskan.

Terus menurunnya biaya produksi minyak Pertamina ini, sambungnya, merupak­an hasil dari upaya-upaya efisiensi. Tapi efisiensi tidak sampai mengurangi produk­si karena yang dilakukan adalah membuat program yang efektif, tepat sasaran.

“Yang kita lakukan bukan hanya efisiensi, kita kombi­nasi efektif dan efisien. Efek­tif adalah melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan. Misalnya produksi, kita melakukan dengan cara yang benar, jangan over budget, waktunya jangan terlambat, dan sebagainya. Jadi memilih program yang pas kita laku­kan,” ujarnya.

Berkat efisiensi dan pelak­sanaan program yang efektif ini, biaya produksi Pertamina dapat ditekan rendah tapi produksi terus merangkak naik. Sementara mayori­tas perusahaan-perusahaan migas di dunia mengalami penurunan pendapatan se­cara besar-besaran, pendapa­tan bersih Pertamina pada 2015 masih tumbuh 1,4%, salah satunya ditunjang oleh kinerja di bisnis hulu.(Yuska Apitya/dtk/ed:Mina)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================