Bulan Ramadan diidentikkan dengan kegiatan religius. Bukan hanya dengan kegiatan sembahyang saja yang menjadi kegiatan religius, melainkan juga kegiatan berwisata yang mengandung unsur keagamaan yang menjadi kegiatan umat muslim. Salah satunya ialah kegiatan ziarah ke makam Al Habib Abdullah bin Mukhsin Al-Athas—seorang yang diyakini sebagai Walliyah—yang berada di Kampung Arab di Jalan Lolongok, Empang.
Oleh : Herza
Al Habib Abdullah bin Mukhsin Al-Athas atau Habib Abdullah atau Habib Keramat merupakan ulama yang beÂrasal dari Yaman. Pada saat berada di Mekkah, beliau mendapatkan wangsit untuk pergi Ke Indonesia. Habib Abdullah sudah mengalami berbagai macam perjalanan hingga akhirnya menetap di daerah Empang, Bogor dan menikah dengan seorang gaÂdis di sana. Jasadnya pun diÂmakamkan di Masjid An-Nur atau yang lebih dikenal denÂgan sebutan Masjid Keramat Empang bersama jasad istri, anak-anaknya, dan seorang murid kebanggaannya.
Sabtu kemarin, warga KamÂpung Arab tengah disibukkan dengan pembuatan nasi kebuÂli yang menjadi ciri khas warga Arab di Bogor. Tradisi nasi keÂbuli terjadi ketika bulan RamaÂdan, perayaan Isra Mi`raj, dan juga Maulid Nabid Muhammad SAW. Di malam ke-21 Ramadan kemarin, Kampung Arab dipaÂdati oleh beberapa tamu yang berasal dari keluarga Habib Abdullah.
“Diyakini bahwa 10 malam terakhir malam lailatul qadar, maka keluarga Habib AbdulÂlah Mukhsin Al-Athas yang berasal dari luar kota datang ke sini sesuai tradisi,†ungkap Bapak Ahyat, seorang pekerja Masjid An-Nur.
Nasi yang semula berasal dari India ini terbuat dari camÂpuran nasi dengan bumbu khas Timur dan juga bumbu khas India. Akan tetapi, pada saat para ulama Yaman hijrah ke Indonesia, racikan nasi keÂbuli pun berubah sesuai denÂgan citra rasa khas Indonesia. Bahan-bahan pun ditambah dengan delapan belas jenis rempah asli Indonesia. Itulah sebabnya nasi kebuli lebih dikenal berasal dari IndoneÂsia bukan dari India. Nasi keÂbuli pun sudah mengalami beragam variasi, seperti diÂcampurkan daging kambing atau daging ayam sesuai selera penyantap nasi kebuli.
“Tradisi bermula dari salat Magrib berjamaah, makan nasi kebuli bersama, lalu diÂtutup dengan salat Isya bersaÂma. Bahkan, keesokan harinya akan ada sahur bersama di sini†lanjut Bapak dari dua orang anak tersebut.
Bapak Ahyat mengatakan bahwa para tamu pun tidak seÂluruhnya makan nasi kebuli di Masjid Keramat Empang saja. Ada beberapa tamu yang meÂmilih menikmati nasi kebuli di rumah warga. Itulah alasan mengapa setiap rumah juga menyajikan nasi kebuli ketika akan melaksanakan tradisi. Para tamu yang berasal dari luar kota pun diimbau untuk menginap di rumah-rumah warga setempat ataupun di masjid sebab tradisi yang seleÂsai hingga larut malam. “TradiÂsi nasi kebuli sudah menjadi ciri khas Kampung Arab dan Empang,†tutup Bapak Ahyat. (Herza/Mgg/ed:Mina
Bagi Halaman