JAKARTA TODAY– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkaji seluk beluk dana kampanye pada gelaran pemilu kepala daerah (Pilkada) 2015 lalu. Melalui wawancara terhaÂdap ratusan calon kepala daerÂah yang kalah, KPK diceritakan bahwa ada biaya yang nilainya tak kalah signifikan dari biaya kampanye, yakni mahar dukunÂgan dari partai yang angkanya bisa dikisaran Rp2 miliar per partai.
Deputi Pencegahan KPK PaÂhala Nainggolan mengatakan, ongkos tersebut berupa biaya mahar kepada partai politik pengusung. Selain itu, ada pula biaya saksi yang nilainya tak sedikit.
“Menurut responden, lebih signifikan sebelum kampanye, itu mereka mengeluarkan biaya mahar ke Parpol, dan sesudah kampanye mereka mengeluÂarkan biaya saksi di TPS,†kata Pahala saat menggelar jumpa pers di KPK, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, kemarin.
“Biaya Pilkada di luar kamÂpanye. signifikan nilainya terÂhadap total biaya Pilkada yang dikeluarkan Cakada. Biaya saksi bisa mencapai Rp 2 miliar untuk tingkat kabupaten,†ujar Pahala menirukan pernyataan salah satu respondennya.
Pahala tak mengungkap kisaran besaran mahar yang diÂberikan respondennya kepada Parpol pengusung. Hanya saja ia menjelaskan bahwa besarnya mahar calon yang meminang partai dan yang dipinang, akan berbeda. “Biaya terbesar adalah mahar partai yang dihitung berÂdasarkan jumlah kursi di DPRD. Biaya yang dikeluarkan sangat berbeda antara paslon yang dipÂinang partai, atau paslon yang meminang partai,†jelasnya.
KPK melakukan wawancara terhadap 286 kepala daerah yang kalah saat maju di Pilkada 2015 lalu. Terkait dana kampaÂnye, beberapa responden menÂgaku tak melaporkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) ke KPUD. “20 persen responden tidak melaporkan LPPDK. (Atau) ada biaya-biaya lain yang nilainya signifikan besar tapi tidak dimasukkan dalam LPÂPDK,†tutur Pahala.
Hadir dalam jumpa pers adalah Komisioner KPU Ida BuÂdhiati, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Soni Sumarsono, dan Sekjen Bawaslu Gunawan Suswantoro.
Selain biaya saat kampanye, rupanya calon kepala daerah juga harus mengeluarkan biÂaya pra dan pasca kampanye berupa biaya saksi yang nilainya miliaran rupiah serta mahar ke partai politik pengusung. KPK pun meminta KPU untuk memÂperluas definisi biaya kampanye tak hanya saat kampanye saja.
Komisioner KPU Ida BuÂdhiati mengatakan, KPU harus mencari norma induk yang daÂpat mengatur hal tersebut. “KaÂlau mau ditafsirkan lebih luas, kami harus mencari norma inÂduk yang kemudian bisa menjaÂdi rujukan KPU untuk memperÂluas pengaturan terkait laporan dana kampanye tidak hanya mencakup tahapan kampanye saja termasuk pra dan pasca,†ujar Ida.
Ida kemudian menjelaskan mengenai biaya saksi yang dikeluarkan pasangan calon. Menurutnya, saat ini sudah ada satu orang penÂgawas yang dituÂgaskan negara untuk mengaÂwasi tempat pemungutan suara (TPS). Sedangkan terkait mahar poliÂtik, Ida berpendapat hal tersebut sudah ada pengaturan menÂgenai sanksi yang harus diberikan. “Negara sudah hadir di TPS, diwakili oleh 1 orang pengawas TPS. Kalau misalnya ada calon yang tidak mampu menghadirkan saksi, ada wakil negara,†kata Ida. “Mahar politik UU juga sudah ada mengatur mengenai sanksi administrasi. Bisa dibatalkan apabila terbukti ada mahar politik dalam proses rekrutÂmen bakal-bakal calon melalui mekanisme internal parpol,†tuturnya.
KPK juga mencari tahu apa motivasi para donatur ketika memberi sokongan dana keÂpada pasangan calon di Pilkada 2015. Hasilnya, diketahui bahÂwa motifnya mulai dari agar dimudahkan saat mengajukan perizinan hingga keamanan dalam menjalankan bisnis. “65 persen bilang kemudahan perÂizinan dalam bisnis, 65 persen kemudahan terlibat dalam penÂgadaan barang dan jasa,†kata Pahala NaingÂgolan.
“61,5 persÂen keamanan dalam menjalanÂkan bisnis, 60 persen kemudaÂhan akses unÂtuk menjabat di pemerintah daerah atau BUMD,†lanÂjutnya.
K P K menjelaskan, terkait dana kamÂpanye ini mayoritas kasusnya adalah donatur yang mendaÂtangi calon kepala daerah. Di mana hanya 8 persen dari 286 responden yang diwawancara KPK yang mengatakan mereka yang aktif mencari donatur. “42,3 persen ternyata donaturnÂya yang mendatangi calon. 29 persen responden memang tidak melakukan penggalangan dana. 19 persen mengaku komÂbinasi antara donatur yang aktif dan calon atau timsesnya yang menghubungi donatur. Hanya 8 persen yang mengaku calon yang aktif mencari sumbanÂgan,†jeÂl a s Pahala.
KPK kemudian merekoÂmendasikan kepada KPU agar definisi biaya kampanye diperÂluas. Misalnya saja juga dimasÂukkan mengenai biaya mahar sebelum kampanye dan biaya saksi pasca kampanye. “Untuk Bawaslu, Pawaslu, dan PanwaÂslu, memperkuat peran penÂgawas saat pilkada berjalan sehingga pengawasan TPS dari Bawaslu itu efektif, dan tidak perlu mengeluarkan biaya saksi calonnya,†ujar Pahala.
“Kita rekomendasikan unÂtuk pencantuman sanksi pada peraturan yang ada terutama sanksi administratif berupa disÂkualifikasi. Kita melihat bahÂwa laporan penerimaan sumbangan dana kamÂpanye dan penggunaan dana kampanye itu tidak efektif dijalankan. Itu kita duga karena sankÂsinya kurang keras, enÂforcement-nya belum konsisten,†paparnya.
Berdasarkan Peraturan KPU nomor 8 Tahun 2015 Tentang Dana Kampanye, ada beberapa batasan dana kampanye. Di antaranya perseÂorangan tidak boleh tidak boleh melebihi Rp 50 juta, kelomÂpok atau badan hukum swasta Rp 500 juta maksimal, dan dana kampanye bersifat kumuÂlatif selama penyelenggaÂraan kampaÂnye. (Yuska Apitya/ ed:Mina)
Bagi Halaman