Gedung-KPK-17-11-2015-10JAKARTA TODAY– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkaji seluk beluk dana kampanye pada gelaran pemilu kepala daerah (Pilkada) 2015 lalu. Melalui wawancara terha­dap ratusan calon kepala daer­ah yang kalah, KPK diceritakan bahwa ada biaya yang nilainya tak kalah signifikan dari biaya kampanye, yakni mahar dukun­gan dari partai yang angkanya bisa dikisaran Rp2 miliar per partai.

Deputi Pencegahan KPK Pa­hala Nainggolan mengatakan, ongkos tersebut berupa biaya mahar kepada partai politik pengusung. Selain itu, ada pula biaya saksi yang nilainya tak sedikit.

“Menurut responden, lebih signifikan sebelum kampanye, itu mereka mengeluarkan biaya mahar ke Parpol, dan sesudah kampanye mereka mengelu­arkan biaya saksi di TPS,” kata Pahala saat menggelar jumpa pers di KPK, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, kemarin.

“Biaya Pilkada di luar kam­panye. signifikan nilainya ter­hadap total biaya Pilkada yang dikeluarkan Cakada. Biaya saksi bisa mencapai Rp 2 miliar untuk tingkat kabupaten,” ujar Pahala menirukan pernyataan salah satu respondennya.

Pahala tak mengungkap kisaran besaran mahar yang di­berikan respondennya kepada Parpol pengusung. Hanya saja ia menjelaskan bahwa besarnya mahar calon yang meminang partai dan yang dipinang, akan berbeda. “Biaya terbesar adalah mahar partai yang dihitung ber­dasarkan jumlah kursi di DPRD. Biaya yang dikeluarkan sangat berbeda antara paslon yang dip­inang partai, atau paslon yang meminang partai,” jelasnya.

KPK melakukan wawancara terhadap 286 kepala daerah yang kalah saat maju di Pilkada 2015 lalu. Terkait dana kampa­nye, beberapa responden men­gaku tak melaporkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) ke KPUD. “20 persen responden tidak melaporkan LPPDK. (Atau) ada biaya-biaya lain yang nilainya signifikan besar tapi tidak dimasukkan dalam LP­PDK,” tutur Pahala.

BACA JUGA :  Kebakaran Hanguskan Warung Nasi Padang di Bandung, Diduga Gara-gara Bakar Ayam

Hadir dalam jumpa pers adalah Komisioner KPU Ida Bu­dhiati, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Soni Sumarsono, dan Sekjen Bawaslu Gunawan Suswantoro.

Selain biaya saat kampanye, rupanya calon kepala daerah juga harus mengeluarkan bi­aya pra dan pasca kampanye berupa biaya saksi yang nilainya miliaran rupiah serta mahar ke partai politik pengusung. KPK pun meminta KPU untuk mem­perluas definisi biaya kampanye tak hanya saat kampanye saja.

Komisioner KPU Ida Bu­dhiati mengatakan, KPU harus mencari norma induk yang da­pat mengatur hal tersebut. “Ka­lau mau ditafsirkan lebih luas, kami harus mencari norma in­duk yang kemudian bisa menja­di rujukan KPU untuk memper­luas pengaturan terkait laporan dana kampanye tidak hanya mencakup tahapan kampanye saja termasuk pra dan pasca,” ujar Ida.

Ida kemudian menjelaskan mengenai biaya saksi yang dikeluarkan pasangan calon. Menurutnya, saat ini sudah ada satu orang pen­gawas yang ditu­gaskan negara untuk menga­wasi tempat pemungutan suara (TPS). Sedangkan terkait mahar poli­tik, Ida berpendapat hal tersebut sudah ada pengaturan men­genai sanksi yang harus diberikan. “Negara sudah hadir di TPS, diwakili oleh 1 orang pengawas TPS. Kalau misalnya ada calon yang tidak mampu menghadirkan saksi, ada wakil negara,” kata Ida. “Mahar politik UU juga sudah ada mengatur mengenai sanksi administrasi. Bisa dibatalkan apabila terbukti ada mahar politik dalam proses rekrut­men bakal-bakal calon melalui mekanisme internal parpol,” tuturnya.

KPK juga mencari tahu apa motivasi para donatur ketika memberi sokongan dana ke­pada pasangan calon di Pilkada 2015. Hasilnya, diketahui bah­wa motifnya mulai dari agar dimudahkan saat mengajukan perizinan hingga keamanan dalam menjalankan bisnis. “65 persen bilang kemudahan per­izinan dalam bisnis, 65 persen kemudahan terlibat dalam pen­gadaan barang dan jasa,” kata Pahala Naing­golan.

BACA JUGA :  Polisi Ungkap Angka Kecelakaan Tahun Ini Menurun 18 Persen

“61,5 pers­en keamanan dalam menjalan­kan bisnis, 60 persen kemuda­han akses un­tuk menjabat di pemerintah daerah atau BUMD,” lan­jutnya.

K P K menjelaskan, terkait dana kam­panye ini mayoritas kasusnya adalah donatur yang menda­tangi calon kepala daerah. Di mana hanya 8 persen dari 286 responden yang diwawancara KPK yang mengatakan mereka yang aktif mencari donatur. “42,3 persen ternyata donaturn­ya yang mendatangi calon. 29 persen responden memang tidak melakukan penggalangan dana. 19 persen mengaku kom­binasi antara donatur yang aktif dan calon atau timsesnya yang menghubungi donatur. Hanya 8 persen yang mengaku calon yang aktif mencari sumban­gan,” je­l a s Pahala.

KPK kemudian mereko­mendasikan kepada KPU agar definisi biaya kampanye diper­luas. Misalnya saja juga dimas­ukkan mengenai biaya mahar sebelum kampanye dan biaya saksi pasca kampanye. “Untuk Bawaslu, Pawaslu, dan Panwa­slu, memperkuat peran pen­gawas saat pilkada berjalan sehingga pengawasan TPS dari Bawaslu itu efektif, dan tidak perlu mengeluarkan biaya saksi calonnya,” ujar Pahala.

“Kita rekomendasikan un­tuk pencantuman sanksi pada peraturan yang ada terutama sanksi administratif berupa dis­kualifikasi. Kita melihat bah­wa laporan penerimaan sumbangan dana kam­panye dan penggunaan dana kampanye itu tidak efektif dijalankan. Itu kita duga karena sank­sinya kurang keras, en­forcement-nya belum konsisten,” paparnya.

Berdasarkan Peraturan KPU nomor 8 Tahun 2015 Tentang Dana Kampanye, ada beberapa batasan dana kampanye. Di antaranya perse­orangan tidak boleh tidak boleh melebihi Rp 50 juta, kelom­pok atau badan hukum swasta Rp 500 juta maksimal, dan dana kampanye bersifat kumu­latif selama penyelengga­raan kampa­nye. (Yuska Apitya/ ed:Mina)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================