MUDIK di Indonesia bukanlah sekadar fenomena sosial-budaya semata, melainkan telah menjadi kegiatan spiritual yang sakral. Bagi masyarakat miÂgran, mudik adalah kegiatan “wajib†yang pantas ditebus dengan biaya berapa pun, bahkan hingga bertaruh nyawa. Ratusan nyawa melayang setiap tahunnya selama musim mudik dalam ribuan kaÂsus kecelakaan, terutama di jalan raya.
Meninggalnya belasan orang karena kemacetan parah (gridlock) di ruas Tol Brebes pada puncak arus mudik tahun ini, bukan karena kecelakaan lalu lintas, merupakan yang pertama kali dan menÂjadi catatan kelam dalam sejarah mudik Indonesia. Bahkan, sebuah media asing, the Daily Mail, meÂnyebut macet di ruas ‘Brexit’ ini, yang baru saja diresmikan Presiden Joko Widodo pada 16 Juni 2016 dan digadang-gadang akan memperlancar mudik, sebagai kemacetan terparah di dunia.
Mudik adalah fenomena Jawa. Jawa menjadi pusat migrasi nasional, yang berakar dari dispariÂtas pembangunan yang lebar antara Jawa dan luar Jawa. Dengan posisi sebagai pusat kegiatan ekoÂnomi, pemerintahan, pendidikan, teknologi, hingÂga sosial dan budaya, meski memiliki luas hanya tujuh persen dari total wilayah, Jawa hingga kini menjadi tempat tinggal bagi 57 persen penduduk Indonesia.

Jabodetabek, dengan perkiraan penduduk kini lebih dari 33 juta orang, menjadi magnet utama, dengan menguasai 24 persen PDB nasional. DaeÂrah pedesaan Jawa menjadi pengirim migran perÂmanen, yang membuat kota inti terus meluas ke wilayah sekitarnya, terutama Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Semarang.
Tahun ini, terdapat potensi 32,2 juta pemudik di 20 wilayah aglomerasi di seluruh Indonesia, di mana 69,4 persennya diproyeksikan terjadi di delaÂpan wilayah aglomerasi di Jawa (22,4 juta orang), yaitu 693 ribu di Serang Raya, 15,1 juta di JabodeÂtabek ( Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), 1,63 juta di Bandung Raya, 795 ribu di KedungseÂpur (Kendal, Ungaran, Semarang, Purwodadi), 775 ribu di Solo Raya, 976 ribu di Kartamantul (YogÂyakarta, Sleman, Bantul), 2,11 juta di GerbangkerÂtasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan), dan 277 ribu di Malang Raya.