SEORANG jamaah berÂtanya kepada ustadz, “Apa yang paling muÂrah dalam kehidupan ini?” Ustadz tampaknya tak mudah menemuÂkan jawabannya. MuÂrah mahal itu sangat relatif karena berkaitan dengan ketersediaan dana atau kemampuan finansial. Menyatakan murah atas sesuatu juga sangat sensitif seÂcara psikologis. Lebih dari itu, murah dan mahal adalah berkaitan dengan asumsi, persepsi dan apresiasi atas sesuatu. BukanÂkah cincin imitasi tanda cinta pertama selalu dirasa lebih bermakna dibandingkan cincin asli yang dibelikan secara terpaksa?
Setelah berfikir keras, ustadz berkata, ‘’Di dunia ini tak ada yang murah. SemuanÂya mahal, walau mahal itu tak mesti diukur dengan harga nilai uang. Menanti senyuman isteri ketika lagi galau adalah sesuatu yang mahal. Menanti kebersamaan wisata ke suatu tempat indah adalah sesuatu yang maÂhal. Bahkan duduk bersama keluarga seperti waktu berbuka dan sahur bersama adalah mahal. Namun ada yang tidak terikat murah dan mahal, yaitu sedih dan derita. Ia hadir dengan kegratisan yang semakin membuat sedih dan menderita.
Karena itu, tak usah memamerkan kesÂedihan dan penderitaan. Tak akan ada yang membayar kesedihan dan penderitaanmu. Karenanya, jalani saja walau harus ditangÂgung sendiri. Imam Syafi’i menyatakan: “Kalau tak ada lagi yang peduli akan sedih deritamu, yakinlah bahwa itu karena Allah sendirilah yang akan menyelesaikannya dengan caraNya sendiri.” Tersenyumlah karena senyuman itu mahal. (*)