PRESIDEN Joko Widodo telah menunjuk Komisa­ris Jenderal Tito Karnavian sebagai calon kapolri menggantikan Jenderal Badrodin Haiti yang akan segera memasuki usia pensiun. Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 27 Juni 2016 telah secara aklamasi menerima pencalonan Kom­jen Tito sebagai kapolri untuk segera dilantik oleh Presiden.

Dalam misinya, Komjen Tito menyebutkan secara eksplisit komitmennya dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Hal tersebut layak diapresiasi karena salah satu tantangan besar bagi Polri adalah melaksanakan tugas dan wewenang­nya dalam koridor menghormati, melindungi, dan menegakkan HAM.

Berdasarkan data pengaduan yang diterima Komnas HAM, Polri adalah lembaga yang paling banyak diadukan selama beberapa tahun terakhir, terutama terkait dengan dugaan pelanggaran-pelanggaran hak atas keadilan (right to justice).

Besarnya pengaduan atas Polri tersebut tidak lepas dari kewenangan dan otoritas yang sangat besar dan luas yang dipegang oleh institusinya. Dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 16 Undang-Un­dang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri memiliki 48 tugas dan wewenang.

Tugas dan wewenang tersebut meliputi pen­egakan hukum, pemeliharaan keamanan, dan ket­ertiban masyarakat, serta pelayanan masyarakat (public service). Kewenangan yang luas tersebut diduga sebagai faktor pemicu banyaknya pengad­uan dugaan pelanggaran hak atas keadilan oleh Polri. Kewenangan yang besar tanpa diimbangi dengan kapasitas, integritas, dan pengawasan akan bermuara pada penyalahgunaan wewenang.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Materi yang diadukan oleh masyarakat ke Komnas HAM, selain persoalan administratif dan teknis, adalah terkait dengan dugaan pelanggaran due process of law. Di antaranya, berbagai dugaan yang meliputi penangkapan dan penahanan secara semena-mena, tersangka yang tidak disediakan pendamping hukum, penyelidikan/penyidikan yang diskriminatif, dan tindakan semena-mena dalam proses pemeriksaan untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka.

Terpenuhinya hak atas keadilan adalah fon­dasi bagi terwujudnya masyarakat yang berbasis pada tatanan yang berdasarkan pada hukum (rule of law). Dalam bangunan rule of law, kepolisian adalah aktor penting dalam criminal justice sys­tem. Kepolisian berada di garda terdepan dalam criminal justice system, selain kejaksaan, advo­kat, pengadilan, Mahkamah Agung, dan lembaga pemasyarakatan yang berada di bawah Kement­erian Hukum dan HAM.

Hal itu diakui oleh Komjen Tito, di mana salah satu tantangannya sebagai kapolri, sebagaimana ia tuliskan di dalam program prioritas penegakan hukum yang profesional dan berkeadilan, adalah belum optimalnya sinergitas Polri dengan lembaga penegak hukum lain dalam criminal justice system.

Sebagai lembaga yang berada di hulu penan­ganan kasus, kepolisian dituntut profesional se­hingga selektif dalam menyelidiki/menyidik kasus berdasarkan pada fakta yuridis, sosiologis, dan memenuhi asas keadilan. Jadi, bukan berdasarkan atas interpretasi hukum secara sepihak sehingga bisa melanggar hak atas keadilan.

Kualitas dan akuntabilitas penegakan hukum dari awal yang diemban oleh Polri akan menentu­kan proses penegakan hukum selanjutnya hingga putusan pengadilan. Polri memegang kewenan­gan dan tanggung jawab yang sangat besar untuk mewujudkan harapan masyarakat akan penegakan hukum yang berkualitas dan profesional.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Sebagai penegak hukum yang terdepan, polisi menjadi wajah dari negara dalam penegakan hu­kum sehingga baik dan buruknya hukum dari per­spektif masyarakat akan dilihat dari bagaimana Polri berhadapan dengan masyarakat, khususnya ketika menjalankan tugas penyidikan. Polisi di­tuntut untuk humanis dan menjadi pelayan publik yang bersahabat dengan masyarakat dan melind­ungi hak-hak tersangka, bukan sebaliknya.

Riuhnya apresiasi masyarakat dan pejabat pub­lik atas fenomena “polisi baik” seperti dilakukan oleh Bripka Seladi, anggota Polres Malang, yang rela untuk mengumpulkan sampah sebagai tam­bahan penghasilan adalah ekspresi kerinduan ma­syarakat akan adanya polisi yang jujur dan rendah hati (humble).

Kerinduan masyarakat akan polisi yang baik dan jujur ini adalah tantangan bagi Kapolri baru untuk mewujudkannya baik secara top down dan bottom up. Secara top down, para pejabat Polri dari tingkat pusat sampai di daerah harus mampu menjadi contoh bagi anak buahnya. Teladan ini selain dalam bentuk perilaku yang sederhana dan humanis, juga dalam bentuk kebijakan yang mam­pu menekan potensi penyalahgunaan wewenang setiap anggota Polri pada setiap tingkatan. (*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================